Posted by rampak naong - -

azimah-notes.blogspot.com
Orang Madura dikenal sangat teguh memegang prinsip agama. Begitulah persepsi orang luar yang sering saya dengar. Jika mengacu pada pengertian simbolik, mungkin persepsi orang luar benar adanya. Hingga saat ini masih bisa kita saksikan orang Madura shalat di sawah, dekat sungai, atau di atas perahu. Mereka tidak lupa menghadap Allah di tempat mereka mengais nafkah. Begitupun, orang naik haji terus meningkat. Simbol-simbol kegamaan, seperti sarung dan songkok bisa dengan mudah ditemui, sejak kita baru masuk jembatan Suramadu hingga ke ujung timur pulau Madura.

Bisa mengaji juga adalah keharusan. Orang tua di Madura akan malu jika anaknya tidak tahu mengaji. Orang yang tidak tahu mengaji dicap tak tao ka battonna langgar (arti harfiahnya, tidak tahu pinggirnya langgar, tempat mengaji). Meski tidak fasih, bisa dipastikan orang Madura bisa mengaji.

Ada kearifan lokal yang membingkai keberagamaan orang Madura dengan indahnya, abhantal syahadat, asapo’ iman (berbantal syahadat, berselimut iman). Ya, agama bagi orang Madura adalah sandaran hidup. Tak boleh lepas. Jika diabaikan, ketidakseimbangan hidup, bahkan goncangan, akan segera hadir. Semakin jauh orang dari agamanya, semakin jauh juga orang itu dari Tuhannya. Kearifan lokal Madura menyebut orang itu edina Pangeranna (secara harfiah, ditinggal Tuhannya).

Menjalankan agama sekuat tenaga harus dilakukan dengan ikhlas. Semua untuk Allah, bukan yang lain. Kata orang Madura, aebadah tak olle bedhe karanana (arti harfiahnya, beribadah tidak boleh ada “karena-nya” misalnya, karena ingin dipuji orang, atau niat lain yang bisa mengundang riya’). Keikhlasan adalah roh dalam beragama.

Dengan begitu, beragama tidak boleh sombong. Beragama butuh andhap asor (rendah hati atau tawadlu’). Meski rajin shalat hindari menganggap diri lebih baik dari orang lain, terhadap orang yang tidak shalat sekalipun. Dalam soal ini, secara internal atau kepada diri sendiri, orang Madura sering bilang padha tak nanto atau padha tak etemmo (arti harfiahnya, sama-sama tidak tentu atau sama-sama tidak pasti). Manusia itu relatif. Yang Maha Mutlak hanya milik Allah. Hanya Allah Yang Maha Tahu, apakah ibadah kita diterima atau tidak.

Jika orang bisa menjalankan agama dengan kuat, itu Rahmat Allah. Karena itu harus disyukuri, bukan membangggakan diri. Sekali lagi padha tak nanto. Orang yang kita anggap jahat, siapa tahu nanti justru dibalikkan oleh Allah menjadi baik? Dan orang yang baik, siapa tahu nanti malah menjadi jahat? Ya semua padhe tak nanto. Allah lah Yang Maha Tahu.

Jika begitu, apa yang harus dilakukan? Pabannya’ nyoon ka Pangeran, mandher dhaddiya oreng se teppa’ ben mate khusnul khatimah (Perbanyak berdo’a kepada Allah, semoga jadi orang yang benar dan lurus dan meninggal dalam keadaan khusnul khatimah). Jadi, beragama itu butuh keikhlasan. Amal kita tak perlu dibangga-banggakan. Karena semua padhe tak nanto []

Matorsakalangkong

Pulau Garam | 14 Mei 2013