Posted by rampak naong - -

gemainsani.co.id


Beberapa hari lalu, saya membeli buku cerita anak di bazar buku yang diadakan menyambut Haflatul Imtihan. Haflatul Imtihan adalah perayaan yang rutin diadakan di akhir tahun pelajaran di madrasah tempat saya mengajar. Judul bukunya menarik bagi saya sebagai seorang Ayah, Ayahku Pahlawanku. Hitung-hitung buku ini untuk merebut simpati di hadapan anak dari sang istri.

Buku ini terbitan lama, 2008. Pengarangya seorang perempuan, Ninik Handrini. Diterbitkan oleh Gema Insani Press (GIP), sebuah penerbit buku-buku keislaman yang umumnya “rada” keras.

Seperti umumnya buku anak, buku ini dicetak dengan ilustrasi, gambar, warna, dan lay out yang sangat ciamik. Huruf-hurufnya ditulis dengan sangat besar, dengan bahasa yang sangat lugas, sederhana, tetapi memikat. Untuk usia anak saya yang baru menginjak tiga tahun, buku ini cukup mudah dipahami.

Buku ini diawali dengan sebuah hadits, “ Rasulullah berkata bahwa pekerjaan yang paling disenangi oleh Allah SWT adalah shalat tepat pada waktunya, menghormati kedua orang tua, dan berjihad di jalan Allah”. Thema buku cerita ini mengambil dari Hadits di atas; shalat, menghormat orang tua, dan (ber)jihad.

Kenapa buku ini menjadikan Ayah sebagai tokoh utama? Justru di sini saya pikir letak menariknya buku ini. Ayah dalam kehidupan sehari-hari dicitrakan sebagai sosok yang menggeluti kegiatan di luar rumah, sebagai pencari nafkah. Karena sibuk mencari nafkah, maka Ayah seringkali melupakan perannya sebagai pendidik anak. Pendidikan anak sepenuhnya diserahkan kepada istri. Buku ini, dari sisi Ayah, adalah pengingat bahwa kehadiran ayah dalam dunia anak secara riil diperlukan. Ayah wajib terlibat dalam mendidik anaknya. Sesibuk apapun.

Dalam buku ini ayah hadir dalam pengalaman keseharian anak. mengajari anak shalat, mengaji, mengenalkan buku, mengajari anak main sepeda, berenang, naik kuda, dsb. Termasuk hadir menyemangati anak ketika anak terpuruk dalam masalah. Mungkin bagi orang tua masalah anak terlihat sepele. Tapi tidak bagi anak.

Coba perhatikan bagaimana Ayah dalam buku cerita ini menyemangati anaknya ketika ia jatuh. “GEDEBUK! Bila aku jatuh, Ayah selalu bilang, “Mujahid tak suka menangis.” (hal. 30).

Di bagian lain, Sang Ayah juga hadir menyemangati anaknya. “Aku biasa berangkat sekolah sendiri. Kata Ayah, mujahid harus berani.” (hal. 18).

Cuma di sinilah masalahnya bagi saya. Kata “Mujahid” seperti mengganggu. Secara makna kata ini netral. Tak ada masalah. “Mujahid” berasal dari akar kata “jahada” yang berarti “berjuang”. “Mujahid” adalah isim fa’il-nya yang berarti, “pejuang”. Ini seakar dengan kata “jihad” yang belakangan seringkali dibengkokkan maknanya oleh kelompok-kelompok garis keras misalnya, pelaku bom diri menyebut “Mujahid” dan tindakannya disebut “jihad”.

Terus terang, ketika bercerita kepada anak, kata “Mujahid” saya tidak gunakan. Saya ganti menjadi begini, “GEDEBUK! Bila aku jatuh, Ayah selalu bilang, “anak pemberani tak suka menangis.”
Mungkin saya terjangkit phobia. Atau saya dicap sebagai paranoid. Lebih aneh lagi hanya kepada bahasa. Tetapi biarlah. Saya berpikir sederhana. Saya tidak ingin merecoki pikiran anak dengan istilah yang sudah dibengkokkan maknanya. Jika kata “Mujahid” ini tertanam di benak anak, dan ketika besar anak membaca tulisan bahwa tindakan “bom diri” dianggap “jihad” dan pelakunya dianggap “mujahid”, pasti pikiran anak tertawan oleh kata yang maknanya sudah dibengkokkan ini. Anggap saja kekhatiran saya sebagai “sedia payung sebelum hujan”.

Berangkat dari pengalaman buku ini, saya sarankan pilah-pilihlah mencari buku anak. Atau kalau sudah dibeli, bijaklah membacakan cerita pada anak. Jika ada kata, frasa, kalimat, paragraph, atau konten cerita yang tidak sesuai dengan usia anak misalnya terdapat konten porno, kekerasan, atau menanamkan ideologi tertentu yang tidak sesuai dengan ideologi Anda, sebaiknya dimodifikasi saja.

Tetapi lepas dari itu semua, buku ini tetap menarik. Buku ini tidak saja mendekatkan anak pada ayahnya, tetapi juga menjadi pengingat bahwa tanggung jawab Ayah tak boleh kalah dari ibunya.

Matorsakalangkong

Pulau Garam | 30 Juni 2013

3 Responses so far.

M. Faizi mengatakan...

sampai segitu, ya, kehati-hatian Sampeyan? Wah, salut. Ya, mari kita lebih awas dalam memilih

Wahyudi Kaha mengatakan...

Mator Sakalangkong, Pak. Tulisan di blog ini selalu menginspirasi..

rampak naong mengatakan...

@Ra Faizi : sekedar kehatian-hatian atau over hati-hati ya ra?

@Mas Wahyudi : terimakasih. semoga bermanfaat