Posted by rampak naong - -

www.indonesia-tourism.com
Seorang sahabat baru asal Minang bertamu ke rumah saya. Ini adalah kunjungan kali pertama. Meski terasa singkat kunjungannya banyak membuka mata saya, justru pada Madura—pulau tempat saya lahir, besar, dan tinggal.

Ia awali ceritanya tentang pertemuannya dengan perkerja profesional perusahaan migas yang saat ini beroperasi di Madura, dalam seminar yang ia ikuti. Menurutnya, kebanyakan perusahaan migas melakukan eksplorasi di lepas pantai (offshore), karena resistensi orang Madura jika dilakukan di darat lebih tinggi. Belum lagi stereotip orang Madura yang keras membuat ciut nyali perusahaan migas. Makanya perusahaan migas lebih suka melakukan pengeboran di lepas pantai.

Ada keuntungan jika mengebor di lepas pantai. Migas didistribusikan melalui pipa bawah laut. Dan memang, tak banyak orang Madura yang tahu bahwa di bawah laut ada pipa yang ditanam membelah selat Madura dan Jawa sepanjang 450 km, sejak dari Pagerungan (Pulau Kangean) hingga Gersik (sebelah barat kota Surabaya). Artinya isu migas tidak akan menjadi isu mainstream pada masyarakat Madura. Dan ini tentu sesuai dengan harapan perusahaan.

Lalu, bagaimana dengan Jembatan Suramadu? Inilah awal (sekaligus akhir?) dari usaha ‘tangan tak nampak’ untuk melenyapkan peradaban maritim masyarakat Madura. Jembatan Suramadu pelan-pelan telah mengubah alam pikir masyarakat Madura pada peradaban continental , peradaban serba daratan. Tanah, industri yang dibayangkan, pendidikan yang dikembangkan, tradisi kesenian yang diawetkan, relasi social yang dibangun, dsb. selanjutnya merujuk pada peradaban daratan. Laut sudah jarang menjadi diskursus kebudayaan, bahkan sekedar untuk menyimpan dalam ingatan pun sulit. Tak ada lagi abantal omba’, asapo’ angin (berbantal ombak, berselimut angin) sebagaimana dahulu para pelaut Madura mendengungkannya.

Paska Jembatan Suramadu, kebudayaan komunal, guyub dan gotong-royong dengan laut sebagai porosnya pelan-pelan lenyap. Kekayaan laut yang tak mengenal hak milik dan mempersilahkan kepada siapa saja untuk mendayagunakannya, lambat laun bergeser ke kultur daratan yang memunculkan kultur saling rebut lahan, penguatan hak milik hingga kehidupan masyarakat Madura yang kian individualistik.

Jadi, jembatan Suramadu sebenarnya merupakan bagian dari desain besar memuluskan investasi masuk ke Madura, bukan melulu bertujuan untuk membuka akses Pulau Madura yang selalu didefinisikan terisolasi itu, katanya agar taraf ekonomi masyarakat Madura meningkat. Menurut saya, jembatan Suramadu ibarat permen yang diberikan kepada anak kecil agar diam dari nangisnya. Di saat yang sama, eksploitasi migas di lepas pantai makin massif saja dilakukan. Di Madura ada sekitar 24 Kontraktor dan Operator Migas, sebagian besar punya Asing.

Fakta ini makin menguatkan dugaan saya, bahwa pembangunan Jembatan Suramadu berbanding lurus dengan usaha untuk melenyapkan peradaban maritim masyarakat Madura ke peradaban kontinental. Di saat masyakat Madura lupa ingatan akan peradaban maritimnya, “penjarahan” kekayaan migas yang tersembunyi di bawah laut Madura pun berlangsung dengan massif. Tentu pada akhirnya tidak cuma laut, daratan juga akan diserbu oleh investor yang terus mengintip tanah sejak dari Bangkalan hingga Sumenep.

Pulau-pulau kecil di Madura bertebaran. Paling banyak di Kabupaten Sumenep yang memiliki 38 Pulau. Di saat kekayaan laut “dijarah”, warga kepulauan justru mengalami kemiskinan akut hingga mereka diaspora kemana-mana; ke Arab Saudi, Malaysia, Jakarta, Bali, dsb. Sekedar gambaran, di Desa Gapurana Pulau Poteran Sumenep, asal desa istri saya, sekitar 1.500 warganya bekerja di Jakarta, sebagai pekerja di sektor informal.

Lenyapnya peradaban maritim Madura yang –fenomenal—ditandai dengan pembangunan mercusuar Jembatan Suramadu telah menjadikan Madura tidak saja menggeser poros peradabannya dari maritim ke daratan, tetapi pada saat bersamaan makin memiskinnya warganya.

Matorsakalangkong

Pulau Garam | 24 September 2014