Posted by rampak naong - -

adatipraktis.blogspot.com

Kancing. Apa istimewanya dengan benda ini? Entar dulu. Boleh Anda tak mengindahkan benda ini. Karena posisinya sebagai pelengkap dalam peradaban pakaian seringkali perannya tak terlihat. Jarang dipikirkan. Apalagi didiskusikan.

Meski saat ini bentuk kancing makin kreatif, toh kancing tetaplah kancing. Ia sekedar menjadi pemanis, misalnya dalam baju. Dalam peradaban mode, sesuai bentuknya yang kecil –meski ada juga yang besar—ia pun lebur dalam gemerlap pakaian. Ternyata, dalam hidup ini, memang nalar kita cenderung meminggirkan yang kecil.

Tapi coba sekali-kali lihat fungsinya. Kancing ibarat pintu rumah, berfungsi sebagai penutup dan pembuka pakaian. Bayangkan, kalau peradaban kita tak menemukan kancing. Kita akan mati kegerahan. Atau kita akan sulit memakai atau melepas baju.

Apalagi jika kancing diletakkan dalam dimensi etis atau budaya, persoalannya menjadi tidak sederhana. Dalam budaya Madura, kancing sudah masuk ke wilayah etika. Seseorang –umumnya anak muda—yang membiarkan kancing di bawah kerah terbuka, dan membiarkan dada bidangnya [apalagi kerempeng] terlihat, dianggap tak memenuhi kaidah kesopanan. Dengan segera orang tua atau guru akan bilang, “pobu kancengnga nak” [kancingkan bajumu nak].

Kenapa harus dikancingkan? Membiarkan kancing di bawah kerah terbuka dalam pandangan budaya Madura dianggap sebagai simbol kesombongan. Nah lu!. Dada ternyata problematik bukan? Tetapi kalau kita membaca budaya timur, orang sombong seringkali dilukiskan sebagai orang yang selalu menepuk dada.  Alasan ini mungkin yang menjadikan budaya Madura menganggap penting kancing agar sempurna menutup dada. 

Saya jadi ingat kisah masa lalu. Ketika saya sekolah di MTs, saya pernah keranjingan membuka kancing di bawah kerah agar dada saya kelihatan. Pada hal apa indahnya, wong saya kurus kerempeng. Maklum ketika itu trend-nya buka kancing di bawah kerah, nah saya jadi korbannya.

Melihat saya tidak memasang kancing, guru saya dengan bijak menyentil saya. “Lihat tuh Dardiri, tahu kenapa dia tidak memasang kancing? Dia berharap, ilmu yang saya ajarkan masuk melalui dadanya,” kata guru saya. Sontak teman sekelas tertawa riuh. Saya juga mesem, meski dengan rasa malu yang sangat. Sejak itu saya kapok membiarkan kancing di bawah kerah terbuka.   

Itulah kancing. Maknanya dalam budaya tertentu bukan sekedar pengait pakaian. Maknanya sudah masuk ke wilayah etika. Sebagai sebuah benda, kancing tentu belum bermakna apa-apa. Tetapi ketika Anda mendengar kalimat seorang suami kepada istrinya, “ayo, buka kancingmu”, maka kancing melampaui maknanya sebagai sebuah benda.

Pesan saya kepada anak muda, “dik, kancingkan bajumu!”.

2 Responses so far.

M. Faizi mengatakan...

Buka kancing di bawah krah biasanya berpasangan dengan ujung lengan baju yang digulung atau juga kalung emas.

rampak naong mengatakan...

Lerres Ra Faizi, pengalaman rupanya he..he..