Posted by rampak naong - -

beritajatim.com

Pertengahan bulan Desember 2014, Pemda Sumenep menutup paksa 5 tempat hiburan malam atau biasa disebut dugem. Alasannya, 5 tempat dugem itu menyalahi izin, dari tempat makan berubah menjadi tempat hiburan malam. Dalam tulisan ini saya tidak akan menyoroti masalah ini dari sudut hukum, tapi  dari sudut pandang kebudayaan Madura.

Sebagai warga tentu saya senang sekali dengan ditutupnya tempat hiburan malam.  Penutupan itu impian banyak orang, setidaknya orang yang saya temui. Bagi saya, hiburan malam yang merupakan produk kebudayaan modern dan lokus bertemunya hedonisne dan kebebasan “tanpa ampun”, jelas tidak menemukan pijakannya dalam kebudayaan Madura. Saat saya diwawancarai media lokal sebelum penutupan itu, dengan tegas saya mengatakan, “tempat hiburan malam tidak sesuai dengan kebudayaan Madura”.

Bagi urbanis–utamanya kaum muda—yang westernized tempat hiburan malam atau dugem dianggap tempat yang “gaul”. Gaul bisa bermakna “tidak jadul” alias tidak kuno, kolot, atau kampungan. Gaul mungkin juga bermakna bahwa dugem adalah tempat anak muda bersosialisasi atau lebih tepatnya berkumpul. 

Meski dalam kebudayaan Madura dikenal istilah “apolkompol”, tetapi maknanya tentu jauh berbeda dengan dugem. “Apolkompol” dalam tradisi Madura memiliki filosofi yang luar biasa dengan kedalaman makna yang hebat.

“Apolkompol” selalu diibaratkan dengan beras yang dalam masyarakat tradisional dulu bermula dari gabah yang ditumbuk. Beras menjadi putih ketika ditumbuk, bukan karena putih sendiri tetapi karena “bergesekan” dengan yang lainnya. Inilah hakekat “apolkompol”. Jadi dalam kebudayaan Madura, bergaul, berkumpul, atau bersosialisasi dengan orang lain dimaksudkan untuk saling “memutihkan diri”; menjadi manusia yang baik dan beradab.

Sebagai wujud dari “apolkompol” ini lahirlah “kompolan” yang biasanya menunjuk pada “komunitas” yang memiliki kegiatan yang relatif permanen dan umumnya bersifat keagamaan. Maka muncul nama-nama kompolan seperti kompolan sarwa (tahlilan), diba’ (barzanji), yasinan, darusan, dsb. Kompolan ini menjadi oase bagi masyarakat Madura dalam membangun hubungan dengan Sang Pencipta di satu sisi, dan sesama di sisi lain.

Secara sosiologis, kompolan memiliki fungsi kohesivitas sosial yang secara terus menerus mengupayakan kebersamaan, imagi, angan-angan, dan mimpi membangun kehidupan yang santun dan beradab dengan saling mengasihi antar sesama dalam ridla Allah.

Jelaslah, apolkompol bukan sosialisasi yang “material-hedonistik” dengan tawaran ketentraman semu dalam dentingan bir dan godaan erotik suara perempuan penggoda. Apolkompol dalam kebudayaan Madura menjangkarkan hakikat kemanusiaan dalam relasinya dengan Pencipta dan sesama sekaligus.

Itulah kenapa falsafah Madura dengan indah melukiskan perlunya sikap kehatian-hatian dalam bergaul, “mon ba’na akanca maleng, noro’ maleng (kalau kamu berteman dengan maling, maka bisa jadi maling). Ada lagi,  “mon ba’na akanca reng ajual mennyak, ba’na melo roomma, tape mon akanca reng ajual acan, ba’na melo bauna” (jika kamu berteman dengan penjual minyak wangi, kamu kebagian harumnya. Sebaliknya jika berteman dengan penjual terasi, kamu kebagian baunya).

Apakah orang Madura menolak dunia hiburan? Tentu tidak. Dalam tradisi orang Madura, ada “tetenggun” (tontonan). “Tetenggun” biasanya dilangsungkan di lapangan dan acaranya bersifat umum dan massal. “Tetenggun” bisa dalam bentuk lodruk, samrah, gambus, film keliling, atau tontonan drama seperti Albadar Mahajaya yang pernah ngetop di Sumenep pada era 80-an.

Soal “tetenggun” tentu ada yang kontroversial. Misalnya, lodruk adalah jenis “tetenggun” yang  kurang diapresiasi di komunitas santri. Saya tidak ingin berdebat tentang itu. Yang ingin saya catat di sini, pertama,  “tetenggun” itu berlangsung di ruang publik dan karena itu bersifat terbuka. Sifatnya yang terbuka memungkinkan antar-penonton melakukan kontrol untuk tidak mengotori “tetenggun” itu dengan tindakan-tindakan yang justru mengurangi maknanya. Apalagi penonton “tetenggun” ini datang bersama keluarga dan tetangga dan di tempat “tetenggun” itu membentuk kerumunan atas dasar kekeluargaan dan ketetanggan.  Kedua, konten “tetenggun” itu biasanya sangat edukatif karena berdasar atas cerita-cerita kenabian atau Raja-raja yang menjalankan  kekuasannya dengan bijak dan adil. 

Lalu, dugem? Bagi saya, ia adalah barang impor, yang dibawa ke Madura dengan tujuan murni kapitalisasi hiburan serta mewadahi segelintir  orang yang lupa akar. Ia menawarkan kebebasan “tanpa ampun” (dibalut HAM sekalipun), hedon, dan menampilkan simbol-simbol kega(lau/ul)-an yang tidak akan ditemukan akarnya dalam tradisi dan kebudayaan Madura. Dengan tegas saya ingin mengatakan bahwa, dugem tak akan banyak menyumbang bagi peradaban kemaduraan. Atas dasar inilah saya mengapresiasi kerja pemda Sumenep yang menutup tempat dugem itu [tulisan ini dimuat di Koran Madura, 29|12|2014]







   

3 Responses so far.

Moh. Azhari mengatakan...

Sungguh luar biasa pemikiran ajunan bapak kiai. Mungkin saja ketika budaya luar terekspansi ke madura karena dr saking awamnya org madura. Sehingga dalam pikiran mereka hanya berisi harta dn wanita yg identik dg perut dn kemaluan. Dalam konteks ini, tanpa disadari kehidupan hedon akan menjadi kebiasaan.

KADANG LANGIT ABU-ABU mengatakan...

Saya bahkan sebagai anak muda masih belum sepuhnya bisa melepas selimut modernisasi. Saya berharap nanti Bapak Kiai sang Guru Besar saya, bisa memberi gambaran terhadap saya tentang sebuah hukum adat yang baik yang bisa menjadi sumbangsi terhadap hukum nasional. Sebagaimana carok (kotemporer), yang sebelumnya sudah sampean bahas dalam buku Rahasia Perempuan Madura. Saya berharap nanti ada lagi hukum adat produk Madura yang bisa diperkenalkan terhadap Indonesia.

rampak naong mengatakan...

@ Mas Azhari : harus kita akui banyak orang Madura yang tidak lagi mau dan peduli sama kebudayaannya sendiri. soal ini sebenarnya bukan hanya kasus Madura, tapi juga daerah lain di nusantara ini. pada hal saya meyakini, tradisi bisa menjadi basis perlawanan terhadap mengguritanya pola pikir liberal di era globaiisasi saat ini.

@ Mas Wardhy : terimakasih mas, semoga yang saya tulis tentang Madura bisa memberikan manfaat meski kecil sekalipun, bagi orang Madura juga bagi saudara lain di nusantara ini. terimakasih