Hari jumat itu, baru pertama bagi pak Haji –sebut saja begitu—menjadi khatib sekaligus Imam di Masjid kampung saya. Ia dipilih menjadi khatib dan imam baru menambah dua orang lain yang sudah ada. Selesai mengimami, pak Haji berdiri. Saya pikir akan mengumumkan sesuatu. Atau miminta kesediaan jama’ah untuk menyalat-ghaibkan orang yang wafat. Dugaan saya salah.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”
“Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh”, jama’ah kompak menjawab.
“Tugas ditunjuk menjadi khatib dan imam bagi saya sangat berat. Jauh lebih berat dari memimpin organisasi apapun”, kata pak Haji dengan nada pelan tetapi serius.
”Ini menyangkut sah-nya shalat kita. Jika Imam –baik dari segi qira’ah maupun tata laksananya—tidak benar, maka akan merembet pada tidak sahnya shalat makmum. Karena itu saya mohon dengan ikhlas agar jama’ah menegur dan memberi masukan, bahkan kritik, terutama kepada para ahli agama, dan para sepuh”.
Mendengar penyampaian Khatib sekaligus Imam baru, saya terharu. Menyusup ke dalam batin. Mencerahkan. Daya magnitnya luar biasa. Pada hal pak Haji menyampaikan dengan nada biasa dan sangat datar. Saya kenal betul, pak haji memang tidak memiliki kemampuan berorasi.
Tapi keikhlasan di balik penyampaiannya membuat batin saya bergetar. Keikhlasan itu saya lihat jelas di wajahnya. Tidak cuma di wajah, keikhlasan pak haji menyejarah. Kehidupan beliau sehari-hari sering disibukkan oleh keikhlasannya berbagi. Selalu membantu sesama. Inilah mungkin kekuatan di balik penyampaian pak Haji. Sama antara laku dan kata. Bukan sekedar di dunia citra.
Hal lain yang saya catat adalah sikap tawadlu’ (rendah hati)-nya. Ia siap menerima masukan dan kritik. Pada hal beliau lulusan sebuah pesantren terkenal di Sumenep. Artinya, menjadi khatib dan imam bukan sesuatu yang sulit bagi beliau. Tetapi sikap rendah hatinya mengalahkan keakuannya. Ia siap menerima masukan. Bahkan pun terhadap kelakuan beliau di ”ruang publik” yang tak patut dilakukan seorang imam masjid.
Rendah hati adalah sikap yang mau belajar terus-menerus. Dari siapapun. Suatu sikap yanng jauh dari kesombongan. Apalagi menganggap diri paling benar. Yang Maha Benar hanyalah Allah. Inilah yang saya pelajari dari pak Haji, khatib dan imam yang baru di daulat di kampung kami.
Sungguh berbeda dengan kelompok tertentu yang biasanya merebut atau pindah dari masjid ke masjid. Baru satu hari di masjid itu sudah berani manawarkan diri menjadi khatib dan Imam. Pada hal jama’ah tahu qira’ahnya kalah bagus dengan anak MTs yang ada di kampung.
Atau seperti pengalaman saya shalat di suatu masjid di kota Sumenep, khatib menebar kebencian dalam khutbahnya. Yang diserang justru tokoh NU dan Muhammadiyah, dua organisasi terbesar di Indonesia. Gus dur dan Syafi’i Maarif ”dimakan” habis kayak kripik, meski saya yakin sang khatib belum membaca buku tokoh di atas, apalagi memahami pemikirannya. Saya sama sekali tidak melihat sikap tawadlu’ terpancar di wajahnya. Kecuali sikap garang dan kebencian.
Siapapun yang memiliki masalah dengan diri atau tidak mampu manaklukkan diri dari serangan keangkuhan, kepongahan dan kesombongan, tentu sulit memiliki sikap tawadlu’. Syarat utama tawadlu’adalah menaklukkan diri sendiri untuk selalu menganggap paling benar. Merendahhatikan diri untuk tidak selalu terancam oleh suara yang berbeda. Dan kesediaaan untuk belajar dari siapapun.
Itulah yang saya lihat di wajah pak Haji. Di wajah khatib dan imam masjid yang sangat sederhana. Yang tidak pernah mengkaji agama sejelimet para intlektual, cendikiawan, atau akademisi . Tidak berapi-api berceramah seperti ustadz gaul di TV. Tidak seperti khatib yang lebih besar semangat keagamaannya ketimbang kedalaman laku keagamannya. Tetapi mampu mengajari kami –jama’ahnya—nilai yang tidak sederhana. Tawadlu’, nilai yang sudah makin langka di republik ini.
Posting Komentar