google.com |
Sejak MI (setingkat SD) hingga Aliyah (setingkat SMA) saya sekolah di madrasah swasta yang dikelola oleh sebuah pesantren di desa saya. Karena rumah saya dekat dengan pesantren, saya tidak menetap di asrama. Saya pulang pergi yang diistilahkan dalam tradisi Madura sebagai “santri cologhan”. Meski pulang pergi, waktu saya sehari-hari banyak dihabiskan bersama santri yang menetap.
Perjumpaan dengan Nasionalisme
Pada awalnya, sebagaimana anak kecil lain di belahan Indonesia, perjumpaan saya dengan nasionalisme bersifat simbolik. Keharusan mengikuti upacara bendera menjadikan saya kenal sama “sang merah putih”. Bahkan setiap upaca saya harus menghormatinya. Seiring dengan usia saya di MI, di kelas 4,5,6 saya bertemu dengan guru yang selalu bercerita tentang pejuang-pejuang Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Imagi saya seakan dibawa dalam situasi perang melawan kolonialisme, dimana pejuang kita hanya bersenjatakan bambu runcing . Ya bambu runcing begitu menyihir saya. Bambu runcing ibarat kata magis yang membuat saya selalu merasakan kehebatan pejuang kita melawan penjajah.
Ketika di MTs saya diharuskan mengikuti pelajaran baris-berbaris (PBB). Tak tanggung-tanggung pelatihnya seorang TNI (dulu ABRI) dari koramil di kecamatan saya. Mendengar nama ABRI saja waktu itu kulit saya merinding. Namanya pak Nijan. Sebagaimana ummnya tentara, pak nijan orangnya keras, disiplin, suka bentak-bentak kalau ada yang salah. Pernah teman saya dimarahi habis-habisan karena duianggap “suka tertawa”. Pada hal teman saya ini meski mengkem, tetap saja seperti orang tertawa, karena memang (maaf) “gino” (giginya nongol).
Perjumpaan saya dengan nasionalisme semakin merasuk ketika guru-guru saya sering menyitir sebuah Hadits, “cinta tanah air adalah sebagai bagian dari Iman”. Hadis ini memberikan landasan teologis sehingga nasionalisme saya sebagai seorang santri semakin kuat menancap dalam batin. Apalagi dalam buku sejarah termaktub kisah-kisah heroic para ulama pesantren di era kolonialiseme yang gagah melawan penjajah. Sebut saja diantaranya KH. Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan fatwa jihad yang menyulut arek-arek Surabaya dalam peristiwa 10 november 1945 melawan tentara sekutu.
Ketika di bangku Madrasah Aliyah yang mengajar pendidikan moral pancasila (PMP) seorang guru lulusan FISIP yang luas pengetahuannya. Ia sering bercerita tentang tokoh-tokoh nasional semisal Soekarno-Hatta. Beberapa tahun kemudian, ia mengundurkan diri menjadi guru. Ia beralih profesi sebagai wartawan Kompas. Namanya, Mohammad Bakir.
Perjumpaan dengan “yang lain”
Dulu hidup di Sumenep, kabupaten di ujung timur pulau Madura, menjadikan saya kurang memiliki pengalaman berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis,suku, maupun agama. Meski begitu saya masih beruntung karena saya masih bisa berkomunikasi dengan beberapa keluarga etnis tiongha –kira-kira ada 8 KK—yang hidup di kampung saya. Itulah satu-satunya pengalaman berharga saya bergaul dengan orang yang berbeda. Sering juga saya bermain di dekat rumah orang tiongha. Apalagi orang tiongha rata-rata buka toko untuk kebutuhan sehari-hari.
Meski penduduk local tidak pernah punya pengalaman konflik dengan orang tiongha, tapi stereotype terhadap warga keturunan ini tertancap kuat dalam benak penduduk local. Misalnya, mereka dibilang “menjajah” ekonomi penduduk local, karena itu ada orang yang mengajak agar tidak beli di toko milik mereka. Tetapi secara umum, pergaulan social antara penduduk local dan keturuanan tiongha terjalin dengan baik. Di sinilah saya ikut mengalami pluralisme dipraktekkan dalam hidup saya. Meski saya melihat orang tiongha memang relative tertutup.
Khilaf Sesaat
Selesai menamatkan Madrasah Aliyah di pesantren, saya belajar di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Baru setahun di Ciputat, tepatnya tahun 1991) Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) lahir. Sebagaimana muslim lainnya, saya waktu itu juga larut dalam kegembiraan menyambut organisasi yang bisa menjadi saluran aspirasi umat Islam. Tetapi saya kaget, tokoh yang saya kagumi, Gus Dur, justru menentangnya. Ia bilang ICMI organisasi sectarian.
Ketika itu, saya sempat menulis surat pembaca di harian pelita, mengkritik sikap Gus Dur yang justru melawan arus itu. Maklum meski sejak di bangku Madrasah Aliyah, saya sudah membaca tulisan-tulisan Gus Dur di majalah prisma hasil pinjam sama kakak, ternyata pikiran Gus Dur terlalu rumit buat saya.
Ketika itu, saya sempat menulis surat pembaca di harian pelita, mengkritik sikap Gus Dur yang justru melawan arus itu. Maklum meski sejak di bangku Madrasah Aliyah, saya sudah membaca tulisan-tulisan Gus Dur di majalah prisma hasil pinjam sama kakak, ternyata pikiran Gus Dur terlalu rumit buat saya.
Ditambah lagi lingkungan Ciputat yang sangat “Islam modernis” dan butanya saya terhadap konsfigurasi kekuatan politik nasional, menambah saya jahlun murakkab alias bego bertingkat-tingkat. Saya sangat terpesona terhadap lahirnya ICMI ketika itu sebagai representasi kebangkitan Islam, agama mayoritas di negeri ini. Tanpa pernah berpikir bahwa “I” dalam huruf terahir ICMI adalah Islam Modernis.
Dua tahun kemudian pemahaman saya terbuka. Penolakan Gus Dur terhadap ICMI yang dilabeli sektarian pertama-tama harus dipahami sebagai konsistensi Gus Dur membela NKRI.
Kedua, representasi Islam (ketika itu memang getol memperjuangkan politik representasi) tidak ada sangkut pautnya dengan Islam tradisi(onal) tempat saya menambatkan referensi keagamaan dan kebudayaan saya. Dengan demikian, politik representasi sebenarnya berkehendak untuk menyingkirkan the others.
Kedua, representasi Islam (ketika itu memang getol memperjuangkan politik representasi) tidak ada sangkut pautnya dengan Islam tradisi(onal) tempat saya menambatkan referensi keagamaan dan kebudayaan saya. Dengan demikian, politik representasi sebenarnya berkehendak untuk menyingkirkan the others.
Ketiga, ICMI ketika itu lahir sebagai hasil dari perubahan konstelasi politik orba (baca: soeharto) setelah kubu militer tidak diyakini lagi mampu menjadi penopang kekuasaannya. Pembacaan saya yang agak lengkap tentang perubahan konstelasi politik nasional itu saya pelajari dari Gus Dur, orang yang justru saya “salah pahami”. Akhirnya, melalui Gus Dur saya semakin paham apa artinya menjadi Indonesia. Saya juga semakin mengerti arti membangun persaudaraan dengan yang lain, sesama anak bangsa, tanpa perlu ada diskriminasi.
Di Kampung yang Tidak Lagi Tenang
Sehabis kuliah, 1997, saya kembali ke kampung. Saat ini saya mengabdikan diri di pesantren tempat saya dulu sekolah. Perjalanan saya sejak dulu sekolah di pesantren, hingga kuliah, dan sekarang kembali ke pesantren ibarat perjalanan keiindonesiaan saya. Saya menuntaskan diri dalam sebuah episode yang manis dan happy ending: NKRI sudah final.
Tidak cukup itu, saya juga berkewajiban menyampaikan keyakinan saya tentang NKRI FINAL yang sebagian besar justru saya timba dari orang-orang pesantren. Saya juga tanamkan kecintaan terhadap Indonesia kepada murid-murid saya. Tentu dengan bahasa orang-orang pesantren.
Tetapi akhir-akhir ini, daerah saya mulai tidak tenang. Ada beberapa organisasi radikal yang mengkampanyekan perlunya mendirikan Negara Islam. Meski mayoritas di daerah saya tidak tertarik dengan isu ini, tetapi sudah ada yang ikut. Ketika ada teman yang mengajak saya untuk berjihad mengkampanyekan Islam yang rahmatal lil alamien, Islam yang ramah budaya dan tradisi, saya pun bergabung. Meski apa yang saya lakukan bersama teman-teman sangat kecil, tapi kami niati jihad kami untuk membendung kelompok radikal yang prakteknya ternyata lebih banyak meresahkan ketimbang menenangkan.