Posted by rampak naong - - 0 komentar

dream.co.id
Sering kali kita sebagai warga NU berebut identitas, siapa yang disebut NU. Seringkali pula identitas ke-NU-an dipakai oleh orang yang justru memojokkan NU.  Ketika ada yang mencoba memberikan argumen soal sikap ke-NU-an seseorang/kelompok ini malah dicap sok paling NU, sok
paling aswaja, dsb. Fakta ini makin krusial saat politik memainkan identitas sebagai bagian dari cara meraih kekuasaan.

Apa yang menarik bagi saya  justru sesuatu di baliknya, kenapa perebutan identitas ini terjadi? Meski sulit mengukur genuin tidaknya identitas seaeorang, adakah parameter yang setidaknya cukup prinsipil untuk mengukurnya? Dua hal inilah yang saya akan coba jelaskan.

Pertama soal perebutan identitas ke-NU-an, dimana klaim muncul sebagai pengokohan identitas ke dalam dan secara berasamaan mendeligitimasi identitas pihak lawan. Misalnya ketika ada warga NU yang selalu bilang dalam ceramah politiknya, "saya ikut NU-nya KH. Asy'ari", ini berarti secara internal pengokohan bahwa ia asli NU atau NU asli, sementara yang tidak sama dengannya "KW-KW-an".

Fakta di atas sebenarnya menjelaskan bahwa tak ada identitas yang utuh. Ada "irisan", ada "belahan", atau ada "pecahan". Justru irisan inilah yang kadang jarang dilihat oleh orang yang selalu mengaku "NU asli" atau orang yang menganggap sama amaliahnya dengan NU tapi fikrah (siyasinya) justru akrab dengan kelompok yang jejak rekamnya menghantam NU.

Mari saya akan perjelas dengan ilustrasi berikut ini. Saya punya teman, warga NU atau setidaknya mengaku NU. Secara amaliah gak ada masalah. Sama persis dengan amaliah NU: dia tahlilan, qunut, yasinan, dan seterusnya. Tiba-tiba teman saya ini sangat "kritis" (lebih tepatnya suka marah) sama NU, termasuk sama pengurus NU, apalagi pengurus PBNU seperti kyai Said Aqil dan baru-baru ini sama Kyai Ma'ruf Amin. Macem-macem yang dikatakannya tentang NU, bahkan NU seolah tidak ada baiknya.

Jika dirunut, pikiran teman saya tidak mungkin tiba-tiba muncul. Pasti ada prosesnya. Salah satunya bisa dilihat "irisannya". Meski dia NU, ia juga aktif di organ yang selama ini berseberangan dengan NU (saya rasa pembaca tahu) dan terakhir teman saya aktif di #gantipresiden2019. Pergaulan teman saya ini dengan kelompok yang selama ini tidak ramah terhadap NU, justru telah membentuk pikiran yang anti-pati terhadap NU, meski dimana-mana ia masih bilang NU.

Dalam perkembangannya, irisan yang awalnya menjadi persimpangan jalan bertemunya identitas ke NU an dia dengan yang lain, malah makin membesar dan menguat. Idetnitas ke-NU-annya tertimbun. Sebaliknya, ia muncul sebagai orang lain, orang yang "baru" yang tiba-tiba tidak sama dengan pandangan masyarakat sekitarnya.

Ia balik menyuarakan kepentingan orang lain, organ lain, ideologi lain, juga partai lain yang sebenarnya tidak sejalan dengan NU. Bahkan untuk kasus tetentu kadang aneh, ia justru menjajakan kepentingan orang Jakarta di desanya atau di daerahnya yang masalah sosial-budayanya sangat jauh berbeda dengan Jakarta.

Terus terang saya kadang tidak tahu, alasan apakah yang secara substantif mendorongnya membenci NU? Pada hal jika dirunut mereka justru berteman dengan orang/kelompok yang selama ini memojokkannya (sekali jika ia memang warga NU). Coba saya ambil contoh gerakan #gantipresiden2019, bukankah di belakangnya ada PKS yang secara ideologis beda dengan NU dan pandangan hidup pesantren? Bukankah di belakangnya banyak ideologi yang selama ini menghantam NU meski kadang atas nama Islam?  Soal-soal ini seakan tak cukup menjadikan orang yang mengaku NU menyadari "irisannya".

Anehnya, orang yang mengaku NU asli ini hanya kritis terhadap NU. Sebut saja ketika ada jamaah umroh yang melagukan Ya Lal Wathon, sontak mereka teriak menghujat. Giliran ada gerakan #gantipresiden2019 yang membonceng ibadah haji mereka tiarap, seakan tak tahu-menahu.

Karena identitas NU seseorang tak akan utuh, maka "irisan" wajar. Aktif di organ atau ormas apapun tidak menjadi masalah dengan catatan selama organ atau ormas itu ada titik temu ideologisnya dengan NU. Tetapi jika tidak ya tak perlu mencari-cari alasan untuk menarik NU ke dalam "irisannya" atau mengenalkan organnya senafas dengan NU.

Jadi tentang pertanyaan kedua di atas soal, adakah parameter yang bisa dijadikan alat ukur untuk menilai ke-NU-an seseorang(?), ya ada. Tinggal lihat ideologinya, fikrahnya. NU telah merumuskan apa yang disebut fikrah nahdliyah. Menjadi NU dengan demikian tak hanya diukur dengan amaliah misalnya sama-sama tahlil, sama-sama yasinan dan seterusnya, tetapi secara substantif menyangkut fikrahnya juga seharus senafas dengan fikrah nahdliyah.

Pulau Garam, 12 September 2018



[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 14 komentar



Bapak Mahfud MD yang saya hornati..

Saya makin kenal bapak sejak bapak diangkat sebagai menteri Pertahanan di era Gus Dur. Sejak saai itu, meski Gus Dur dijatuhkan tidak menjadikan Gus Dur jatuh, termasuk orang yang dipromosikan oleh Gus Dur seperti bapak juga tidak jatuh. Bapak justru makin muncer. Jabatan tertinggi Bapak sebelum pensiun, sebagai ketua MK.

Bapak tentu tidak mengenal saya. Karena saya memang bukan siapa-siapa. Satu-satunya alasan saya memberanikan diri karena saya orang Madura, se etnis dengan bapak. Orang Madura menyebut 'tarethan dhibi', saudara sendiri. Kalau bapak lahir pamekasan dan besar di Sampang, saya lahir dan besar di Sumenep yang orang luar bilang "Solonya Madura". Oh ya bapak, meski saya tidak kenal bapak, tapi Alhamdullillah Sri Sultan Hamengku Bowuno merujuk sama buku saya, Rahasia Perempuan Madura, ketika menulis panjenengan di buku "Sahabat Mahfud Bicara",  walaupun yang dikutip sebenarnya tulisan pengantar Jamal D. Rahman..he..he..

Bapak Mahfud yang mulya, Saya lanjutkan ya.

Sampai hari ini jagat media ramai oleh jurus "celurit" yang dimainkan panjenengan di acara ILC. Secara terbuka di ILC jenengan mengungkap pihak yang "menjegal" pencawapresan jenengan justru ketika diyakini sudah di gegaman. Jenengan mengerahkan "celuritnya" ke beberapa politisi partai dan pengurus teras PBNU.

Banyak orang (Madura) yang bilang bahwa bapak bersuara kencang terhadap pihak yang dianggap "menjegalnya" sebagai cerminan dari falsafah orang Madura. Saya sebagai orang Madura (sebagaimana orang Madura lainnya) memahami betul bagaimana suasana bathin bapak ketika  batal jadi cawapres, justru di detik-detik terakhir. Pada hal di media TV bapak sudah begitu optimis terpilih. Jika bapak begitu emosional di ILC ya wajar, karena pembatalannya telah membuat "malo", sebab menyangkut harga diri yang dijunjung tinggi dalam tradisi Madura.

Bagi orang Madura jika harga diri dijatuhkan pilihannya "ango' poteah tolang etembang pote mata". inilah yang kemudian memicu carok. Atau dalam konteks bapak, inilah yang memicu bapak begitu tegas dan keras di ILC (setidaknya di media ada yang menulis begitu bapak). Meski saya tegaskan, carok tidak hidup di kultur santri. Carok biasanya hidup di wilayah yang saya sebut saja "abu-abu".

Apalagi bapak juga mengalami "luka" lagi, narasi bahwa jenengan bukan kader NU tentu sulit bapak terima. Dalam kearifan orang Madura bapak ibaratnya, "sela e tapok, ekala' odengnga" (Sudah ditempeleng, blangkon  diambil). Ini gambaran bagi orang sial dua kali. Nah, falsafah yang tertancap di alam bawah sadar ini oleh banyak orang dianggap mendorong bapak demikian keras di ILC ketika menyinggung pengurus PBNU.

Saya sepakat pendekatan budaya Madura digunakan untuk membaca bapak, terutama pernyataan bapak di ILC. Tapi pendekatan ini jangan sampai menggeser bahwa arena yang sedang dimainkan bapak adalah arena politik yang punya logika sendiri. Nah, istiqamahnya politik itu kan justru sikap berubahnya, yang oleh para politisi disebut sebagai dinamika. Sayangnya, sebelum waktu berakhir bapak sudah mendeklair bahwa bapak cawapres, dan sayangnya lagi di 'last menutes' pencalonan bapak justru dibatalkan.

Nah, jika isu bapak dilokalisir di arena politik, maka pembatalan bapak dianggap sebagai kasus biasa. Yang tidak biasa kemudian tafsirnya, bisa kita lihat lagi rekaman ulangnya, misalnya soal "memaksa" dan seterusnya. Lebih tidak biasa lagi adalah tafsir atas tafsir bapak. Makin meluas dan liar lah pernyataan bapak di ILC.

Dunia politik kalau meminjam kearifam Madura dimaknai seperte "nete e salambar obu' " (meniti di selembar rambut). Dibutuhkan kehati-hatian dalam melakoninya. Karena sifatnya yang gak hitam-putih maka cenderung berubah-rubah. Penuh warna. Meski mungkin dari satu partai yang sama, ideologi sama, dan kultur sama pun kadang tetap penuh warna. Sebagaimana kearifan lokal Madura menyebut, "tellor sapatarangan, bile teddas warna budu'na acem-macem" (Ayam yang mengerami telur di satu tempat eraman, warna anaknya ketika menetas bermacam-macam). Maaf, saya tidak bermaksud menceramahi bapak.

Tetapi jika pandangan budaya atau kearifan Madura mau dipakai untuk membaca bapak, ada kearifan yang justru menyentil bapak. Bapak dalam kearifan lokal Madura disebut " parcaje gallu' " (percaya tanpa reserve). Pada hal kearifan lokal Madura juga mengingatkan, "mon bhede barang manis ja' laju ontal pola teppa' ka racon, mon bhede barang pae' ja' laju palowa, mi' teppa' ka jamu" (kalau ada makanan manis jangan langsung telan, siapa tahu racun sebaliknya yang pahit jangan langsung dimuntahkan siapa tahu jamu).

Soal lain, menyangkut pernyataan bapak berkaitan dengan NU. Saya paham yang dipersoalkan bapak adalah personal. Tapi coba sekarang lihat bapak, pernyataan bapak diolah sedemikian rupa untuk dihantamkan balik secara lebih keras kepada NU. Saya yakin (termasuk orang Madura) ikut menyayangkan bapak bukan karena mereka sepakat sama pikiran bapak atau seideologi menyangkut bangsa ini dengan bapak. Tidak bapak. Mereka sebagian adalah supporter kubu sebelah yang sering menggunakan isu SARA yang kemudian memanfaatkan nama bapak.

Saya membayangkan seandainya soal "panas" menyangkut personal di tuhuh NU dilakukan dengan senyap dan tidak dibuka di ruang publik ceritanya akan lain. Toh, sebagimana kata sahabat saya kemarin, kalau pun  bapak mengungkap secara telanjang tak akan menambah kemuliaan bapak?

Saya cinta bapak, tapi saya juga cinta NU. Saya tentu lebih cinta NU, karena NU bukan sekedar personal. NU adalah 'jalan hidup' yang saya peroleh dari para guru, gurunya guru dan begitu seterusnya, termasuk Syaikhona Khalil Bangkalan. Nah, orang NU Madura memiliki tangungjawab yang lebih besar. Karena dari tanah Madura NU lahir.

Kearifan lokal Madura ada falsafah "bapa', babhu', guru, rato", dimana guru ditempatkan sebagai sosok yang paling dimulyakan. Ini tidak berarti orang Madura berada dalam hegemoni berlapis-lapis, sebagaimana pernah dinyatakan oleh intelektual Madura, seolah orang Madura tidak akan maju. Terlalu naif, kemajuan seseorang diukur karena sikap ta'dizmnya kepada guru.

Apakah kemudian orang Madura tidak bisa berbeda dengan guru? Sangat bisa. Dalam tradisi Madura ada tradisi "abhek-rembak" (berembuk) yang biasa dilakukan, termasuk dalam lingkungan guru-murid. Tentu  penyampaiannya tetap dengan cara "andhap ashor". Bukan malah diumbar ke ruang publik.

NU adalah totalitas sistem dan struktur (termasuk orang/pengurus). Bagi saya NU secara kelembagaan adalah juga guru. Makanya anekdot orang Madura bilang, KH. Hasyim Asy'ari tetap yang mimpin NU, setelahnya cuma penggantinya (termasuk KMA dan KSAI). Makanya, pernyataan menyangkut NU (meski sekali lagi sasarannya misalnya person), ya tetap harus hati-hati karena soal ini akan mengimbas sama NU. Itulah kenapa soal panas (apalagi memang dikipasi supaya lebih panas) dilakukan dengan "akompol sambi ngobi" (kumpul-kumpul sambil ngopi).

Pak Mahfud yang saya mulyakan...

Terakhir saya mendorong agar pak Mahfud tetap "fight". Biarlah yang lalu, berlalu. Saya ingin sekali pak Mahfud berembuk dengan NU BAGAIMANA BANGSA INI--di samping soal-soal yang selama ini diperjuangkan oleh pak Mahfud seperti Pancasila dan NKRI final, korupsi, hukum yang berkeadilan--KELUAR DARI BELENGGU SISTEM EKONOMI YANG SANGAT LIBERAL, PRO PASAR, PRO PEMODAL, DLL. Kedaulatan soal ini tak bisa ditunda bapak. Dan soal ini tak bisa juga dititipkan sama Capres-Cawapres, termasuk calon yang selalu ngumong kemiskinan, pada hal cawapresnya salah satu pemilik saham PT Bumi Suksesindo yang menambang emas di Tumpang Pitu Banyuwangi, yang oleh masyarakatnya justru ditolak.

Bapak, mohon maaf tulisan ini tidak ada maksud menambah kusut isu tentang bapak. Mungkin amatan saya banyak salah, jadi maafkan saya. Aksi bapak terhadap saran saya di akhir paragraph saya tunggu.

Salam Taretan Dhibi'




[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 0 komentar



Mendengar Gempa di Lombok yang getarannya sampai di Madura pertama yang muncul dalam ingatan adalah Muhammad Harfin Zuhdi, orang Lombok pertama yang saya kenal dulu di Ciputat. Semoga karib saya dan saudara lainnya di Lombok diberi keselamatan dan ketabahan. Semoga tidak ada lagi gempa susulan. Ratusan orang meninggal dan luka-luka tentu menyisakan duka. Duka yang mendalam. Tetapi semua harus tegar sambil semua menyelami hikmahnya.

Tulisan ini sekedar mengenang persahabatan saya dengannya. Saya hanya ingin memastikan bahwa sahabat saya dan saudara lainnya di Lombok tifak sendiri. Setidaknya saya dan seluruh rakyat Indonesia ikut berdoa, meski tidak bisa membantu lebih dari itu.

26 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1992, ketika masih semester rendah di UIN Ciputat saya memutuskan untuk tidak mudik ketika lebaran Idul Fitri. Suatu keputusan berat harus saya ambil meski saya tidak sungkeman sama bapak-ibu di kampung, ujung paling timur pulau Madura. Alasan saya simpel; hemat anggaran, antre beli tiket bis/kereta (maklum tak tersedia tiket online waktu itu), liburannya sebentar pada hal jarak yang harus saya tempuh 24 jam untuk tiba di kampung jika naik bis. Sudahlah, sekali-kali menikmati lengangnya Jakarta akibat ditinggalkan penghuninya mudik ke kampung, bathin saya.

Jelang seminggu lebaran, sore hari sebagaimana biasanya saya siap-siap menjalani kegiatan rutin, memburu takjil gratis di Masjid Fathullah, masjid kampus. Ini juga dalam rangkat paket hemat. Jalan menyusuri gang di sebuah kontrakan di pisangan dekat asrama KMSGD (Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati) asal Cirebon, saya berpapasan dengan anak berbadan tegap dan tidak terlalu tinggi yang juga beranjak memburu takjil. Basa-basi sebentar ternyata ada kesamaan nasib, tidak mudik juga. Dialah Muhammad Harfin Zuhdi, asal Mataram, NTB. Ternyata kami sebelumnya pernah bertemu, ya di sektetariat PMII meski kami beda Komisariat. Makin akrablah kami.

Itulah awal keakraban kami mulai. Kami beda suku, saya Madura dia Lombok. Sama-sama tidak mudik (jika naik bis ke Lombok dua hari dua malam), sama-sama pemburu takjil, sama-sama anak pergerakan menyebabkan kami mudah membangun keakraban dan melupakan perbedaan. Islam Indonesia banget kan?

Keakraban kami berlanjut. Kami berdua makin aktif di PMII hingga akhirnya harus angkat kaki dari PMII karena pergantian rezim. Tapi justru di situlah berkah terselubung baru terbuka. Bersama banyak sahabat yang seideologi kami berdua terlibat di kelompok kajian Piramida Circle, sebuah forum yang dihuni anak-anak NU sebagai ruang mendiskusikan ke-NU-an berikut tradisinya, sesuatu yang kurang mendapat tempat di UIN Ciputat sebagai kampus yang mengusung wacana modernisme Islam. Tagline UIN saja kampus pembaharu.

Di situlah kami diskusi, ngobrol (ini yang paling sering), bercanda, saling belajar dsb. Sekretariatnya di Semanggi, sebuah rumah tua milik orang betawi yang disewa oleh senior baik hati. Piramida menampung kami yang berasal dari beragam etnis; Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Batak, Lombok, Flores, dan Betawi. Piramida ibarat tempat yang mampu meracik imagi kebangsaan. Ruang menafaskan tradisi ke-NU-an dan ke-desa-an di tengah pekatnya wacana modernisme Islam dan pengapnya kultur metropolis Jakarta.

Maka bertemulah Syafiq Hasyim, Thobib , Ali Haidar, dan Ghazi al-Fatih  dari Jawa, Maman , Ridwan Subagyodan Ayi Mamduh dari Sunda, Farid F Saenongdan Mas'ud Haliman dari bugis Makassar, Alif karawang, Jailani Banten, Sariin Serang, Buchori Bogor, Harfin Lombok, Mujahid dan 'cong day' Dardiri Madura, Cholis Batak, Amin dan Endin Pandeglang, Rakhmat Jailani Kiki Flores Botni dan kawan-kawan Betawi, dan entah siapa lagi karena di Piramida ada santri kalongnya.

Di kalangan kami sosok Harfin selalu menarik perhatian. Ia lucu meski kami menyebutnya "lucu internal". Hanya di piramida yang tahu kelucuannya, orang luar tidak. Ia memang bukan penghuni Piramida, tapi sehari-harinya di Piramida. Setiap datang ke Piramida ia selalu main gitar, meski kunci yang dikuasai terbatas. Nyanyilah dia, suara ke kanan dan bunyi gitar ke kiri. Penyanyi favoritnya Iwan Fals. Ketika metik gitar suaranya yang rada berat keluar, " denting piano.....". Jika dia di kamarnya, pagi-siang-malam tak ada kaset yang diputar kecuali Iwan Fals. Saya sama mau "muntah" mendengarnya dari saking seringnya.

Persahabatan saya dengannya tidak selalu akur. Sebenarnya boleh dibilang persahabatan ala Tom-Jerry, terutama menyangkut bola. Dia fanatik Argentina, sementara saya Brasil. Jika Argentina kalah, habis dia saya ledek dan biasanya wajahnya memerah meski tetap senyum. Begitupun jika Brasil kalah, dia berkicau terus hingga membuat wajah saya merah.

Persahabatan juga melewati masa susah. Mungkin ini malu diciritakan tapi tak apalah. Pernah makan berdua ke warteg, ternyata setelah dihitung uang saya sama dia tidak cukup. Kurang Rp 50. Akhirnya ngutang deh. Pernah makan bareng dengan PD-nya, sama-sama "husnuddzan" kalau saya punya uang dan saya mengira sama. Intinya sama-sama berpikir akan ditraktir. Selesai makan ternyata baru ketahuan, saya dan dia tidak punya uang. Ngutang lagi.

Yang ekstrem ketika bulan puasa. Saat buka hanya saya dan dia di sektetariat Piramida, karena yang lain punya kegiatan ke luar. Pas adzan maghrib tanda buka tiba tak ada uang. Akhirnya kami berdua makan jambu klutuk yang saya ambil dari pohon jambu "keramat" depan sekretariat Piramida. Ketika berbuka, teman datang dan semua tertawa iba. Cerita ini akhirnya fenomenal dan selalu jadi "ledekan" teman karena "menginspirasi" he...he...

Banyak kisah dengan karib saya ini. Suka-duka melumuri masa-masa perjuangan kuliah dulu sambil cerita kegetiran di bawah rezim orba atau rezim di Kampus.

Tapi ada satu yang mungkin tidak semua sahabat saya dulu tahu, Harfin orang yang istiqamah shalat dhuha.

Semoga sahabat karib saya dan saudara-saudara sebangsa di Lombok tegar menghadapi musibah gempa. Tegar fink ...

Salam

Sumenep, 6 Agustus 2018

Cong Day
[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 4 komentar

foto: nu.or.id
Sebagai pulau yang dekat dengan Jawa, wajar jika Madura menjadi wilayah sasaran dakwah Wali Songo. Tentu ini by design. Dengan demikian teks-teks, terutama teks keagamaan,  yang jadi sumber pengetahuan orang Madura merupakan jaringan teks yang bertebaran di wilayah lain di Nusantara ini. Inilah pula yang membentuk pandangan keaswajahan  dan imagi kebangsaan orang Madura.

Teks ini disampaikan dengan strategi dakwah yang arif. Jalur kebudayaan ditempuh terutama untuk menghindari benturan antara pesan agama dan kebudayaan lokal. Agama dihadirkan tidak dalam hubungan vis a vis dengan budaya, malah menggunakan instrumen budaya itu sendiri yang isinya diroh-i nilai-nilai Islam. Atau mengkreasi model sendiri sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah yang menjadi sasaran dakwah.

Salah satu contoh yang bisa disebut di sini adalah model dakwah yang dilakukan Syekh Ahmad Baidlawi atau dikenal sebagai Syekh Katandur, cicit dari Sunan Kudus, yang hidup sekitar akhir abad 15 atau awal abad 16. Beliau sambil berdakwah juga mengenalkan ilmu bertani (nandur). Makanya beliau lebih dikenal sebagai Pangeran Katandur. Maqbarahnya yang keramat dan banyak dikunjungi peziarah berada desa Bangkal (desa bangkal dulu masuk desa Parsanga, kemudian dipecah) Sumenep, sebuah desa yang berdekatan dengan desa Paberrasan, desa yang dulu dikenal wilayah penghasil beras,  dan desa Kebunan yang dulu dikenal karena pertanian kebunnya yang subur.

Strategi dakwah yang dilakukan Pangeran Katandur menurut saya sangat kreatif. Pesan keagamaan Islam diterima, orang Madura juga memiliki keterampilan mendayagunakan lingkungan alamnya, dan yang lebih penting bagaimana dakwah mampu mengharmonikan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan sekaligus alam.

Asal-usul desa Parsanga ada hubungannya dengan instruksi pangeran Katandur yang menyuruh pengikutnya menanam bibit pohon kelapa di sembilan sumur di daerah itu. "Parsanga" adalah akronim "parse sasanga'" (bibit pohon kelapa berjumlah 9) yang satu persatu ditanam dekat sumur yang juga berjumlah sembilan. Lepas dari misteri angka 9 (Wali songo, bintang sembilan), apa yang dilakukan Pangeran Katandur adalah dakwah yang membangun harmoni hubungan manusia dan Tuhan sekaligus alam lingkungannya. Sumur bisa dimaknai begitu strtegisnya air. Bandingkan dengan saat ini sumber-sumber air diprivatisasi untuk kemudian dijual ke khalayak.

Jadi makna agama dihadirkan dalam ketulusannya menjaga ruang hidup, lingkungan, dan alam sebagai siasat untuk menopang keberagamaan masyarakat sendiri. Strategi ini menarik digali lebih dalam untuk dikontekstualisasikam dengan kondisi saat ini  ketika Madura menjadi sasaran korporasi dan para pemodal yang dengan semena-mena merampas ruang hidup dan mengalihfungsikan lahan.

Kearifan dakwah lainnya yang bisa disebut di sini, dakwah yang dilakukan Sunan Paddusan pada abad 17. Ulama ini sangat penting perannya  sehingga diulas cukup panjang oleh Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2b. Menurut Baso, Sunan Paddusan penulis cerita Jaka Karawet (Baso, 2012).

Wilayah dakwah Sunan Paddusan di samping Jawa juga Madura (Sumenep). Di Madura Sunan Paddusan berdakwah di desa paddusan (sekarang Pamolo'an, sebuah desa di lingkungan kota). Saya meyakini wilayahnya pasti melampaui desa, tapi desa Paddusan semacam base camp yang menjadi pusat dakwah sang Sunan.

Menurut cerita, apabila santri telah melakukan rukun Islam ia dimandikan dengan air yang dicampuri aneka ragam bunga. Memandikan itu disebut "edudus", kampung warga disebut paddusan, dan Guru yang mengajarkan agama itu disebut Sunan Paddusan (Abdurrahman, 1988).

Sekali lagi bisa dilihat di sini media yang digunakan sebagai simbol penguasaan seseorang terhadap rukun Islam adalah air disertai aneka ragam bunga. Bandingkan juga dengan thema "Thaharah" dalam kitab fiqh yang berhubungan dangan air. Satu hal yang ingin saya ungkap, keberagamaan membutuhkan keselarasan yang padu; Tuhan, manusia, dan alam.

Kalau mau disebut masih banyak para wali dan ulama di Madura yang dalam dakwahnya menggunakan strategi kebudayaan, senafas dengan model yang digunakan oleh para wali dan ulama di belahan lain di nusantara ini. Inilah kearifan dakwah yang pada akhirnya melahirkan kearifan dalam beragama, sebagainana nanti akan saya jelaskan.

Kearifan adalah sikap yang tahu kapan harus santun, kapan bersikap keras, tegas, dan tanpa kompromi. Terhadap kolonialisme atau kerajaan bonekanya yang menjadi musuh agama dan rakyat Nusantara, orang Madura tegas dan keras. Contohnya Tronojoyo, santri Sunan Giri dan Kyai Kajoran, tanpa kompromi dan kooperarif dengan Amangkurat dan Amangkurat II, raja Mataram yang dibantu VOC.

Termasuk juga ketika Perang Diponogoro 1825-1830, santri dan orang Madura terlibat penuh. Bahkan sebelum perang, Pangeran Diponogoro melakukan konsolidasi dan merapikan barisan  dengan berkunjung ke banyak pesantren di Jawa, termasuk ke Madura tepatnya ke Pesantren Banyuanyar Pamekasan pada tahun 1787 (Zainul Milal, 2016).

Dalam buku Pesantren Studies 4a (2013), Baso melukiskan, perang Diponogoro yang sangat heroik itu tak lepas dari peran tentara pangeran Diponogoro dari Madura. Sayang sekali, peran tentara asal Madura dalam perang Diponogoro tenggelam. Justru yang diketahui banyak orang soal Barisan, korp tentara yang menjadi centeng Belanda, dan sengaja dibentuk belanda sebagai barter terhadap penguasa Madura yang mengininkan pemerintah kerajannya dikelola secara swapraja.

Nah, melihat ilustrasi di atas kearifan juga bermakna tegas dan keras terhadap musuh, VOC dan kemudian terhadap penjajah Belanda. Bukan seperti sekarang, kelompok keras di Madura justru menjadikan sebangsa sebagai "musuh". Sementara kelompok moderat asyik dengan kearifan dalam makna santun melulu sehingga dua-duanya kurang peduli terhadap kolonialisme dalam wajah baru yang saat ini menggurita di Madura melalui keruk habis SDA dan penguasaan lahan yang tak terkendali.

Meski begitu saya melihat, kelompok keras lebih sulit diajak peduli untuk keras terhadap neo-kolonialisme kecuali dibngkus sentimen agama. Sementara kelompok moderat lebih mungkin mengambil sikap tegas dan keras terhadap neokolonialisme jika mampu menggeser makna kearifan ke posisi sebagaimana Pangeran Trunojoyo dan Diponogoro melakukannya. Wallahu A'lam.

Matorsakalangkong







[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 0 komentar

Sketsasekelumit.blogspot.com

Adanya gerakan keagamaan baru yang belakangan ini mulai masuk ke wilayah Madura perlu diamati secara serius. Hampir semua faham barangkali sudah ada. Mulai faham yang secara ilmu, amaliah dan harakahnya tidak sama dengan orang Madura yang Nahdliyin atau tidak sama sebagiannya.

Umumnya gerakan keagamaan baru ini jika ditelisik tidak menemukan akar kuat dalam praktek keagamaan masyatakat Madura yang sejak dulu sudah mampu mempertautkan antara fiqh dan ajaran sufi, sebagai bagian dari jaringan Islam Nusantara. Praktik keagamaan yang kuat serta prinsip hidup yang penuh ajaran akhlak, sebagaimana nanti akan saya jelaskan, menjadi bukti padunya pertautan ajaran fiqh yang cenderung legal formal dan ajaran tasawuf yang cenderung "longgar" dan tidak "hitam-putih".

Sejarah masuknya Islam di Madura bermula dari Sumenep, tepatnya di sebuah pulau (tidak termasuk the golden triangel island) yang bernama pulau Sepudi.  Berbeda dengan pulau gililabak, pulau ini tak memiliki pesona wisata yang bisa memuaskan kenikmatan lahiriah. Tetapi di pulau ini tersimpan sejarah yang jejaknya bisa dilihat hingga sekarang. Sebuah pulau yang bisa memuaskan dahaga spiritual, dengan melihat maqbarah para wali, situs-situs sejarah dan kearifan lokal yang kental sekali dengan peradaban pesantren. Sayang, pulau ini tidak dilirik.

Tahun 1330-an, pada awal pemerintahan Pangeran Joharsari telah datang seorang muballigh yang berdakwah di Sumenep.  Beliau adalah seorang wali, adik dari Sunan Ampel yang bernama Sayyid Ali Murtadha atau dikenal Sunan Lembayung Fadhal (lihat Lintasan Sejarah Sumenep dan Astra Tinggi, 2011).

Konon, Sayyid Ali Murtadha berlayar ke arah timur dan mendarat di Pulau Sepudi. Di pulau itu, Sayyid mendirikan pedukuhan (pesantren) sebagai pusat belajar Islam. Sepudi diambil dari bahasa jawa yaitu, "sepuh dhewe" yang berarti "tua sekali", satu nama untuk mengabadikan bahwa Islam masuk pertama kali ke pulau ini. Maqbarah Sayyid ada di Asta nyamplong, meski ketika saya ziarah ke situ tak ada tulisan yang menjelaskan. Di situ saya hanya menemukan Asta pangeran Belingi, atau Sayyid Abdurrahman, putra dari Sayyid Ali Murtadha. Juga maqbarah pengeran Adi Podai, putra Pangeran Belingi

Tahun 1500, menurut Gus Dur dalam ceramahnya di Sumenep tahun 2003, ada namanya Ratu Putri, Ibu dari Jaka Tingkir, yang hijrah ke Sumenep. Beliau adalah pengikut tarekat Qadiriyah. Dan Sumenep, menurut Gus Dur waktu itu merupakan pusat tarekat Qadiriyah (lihat pengantar Gus Dur dalam buku Syekh Mutamakkin, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, 2017).

Ringkasnya, Islam yang berkembang di Madura tak bisa dilepaskan dari jaringan ulama Nusantara, yang telah membentangkan Islam Ahlussunnah Waljamaah dengan karakternya yang khas, terutama menenun Islam dengan mozaik kebudayaan dimana Islam hadir. Tetapi pada saat bersamaan, dialektika Islam dan Kebudayaan itu menjadi spirit pembebasan seperti yang dipertontonkan oleh Pangeran Trunojoyo pada tahun 1670-an terhadap penguasa Mataram yang menjadi boneka kompeni, hasil Tronojoyo menimba dari Sunan Giri dan Kyai Kajoran.

Jadi, ketika musuh jelas karena mengangkangi umat Islam dan bangsa ini, agama berubah menjadi radikal. Bukan seperti saat ini, kelompok radikal yang hadir di Madura justru berkehendak "mengerdilkan" kekuatan-kekuatan ajaran Islam yang dihadirkan oleh wali dan kyai dahulu yang mampu meracik ajaran tauhid, fiqh, tasawwuf plus budaya lokal yang pas takarannya. Islam hanya ditampilkan aspek fikihnya saja, itu pun dengan caranya yang rigid dan kaku. Beda misalnya jika agama dijadikan basis perlawanan terhadap neoliberalisme di Madura, misalnya merespon isu agraria yang akhr-akhir ini penguasan lahan dan SDA  oleh pemodal demikian marak di Madura (bersambung).


Matorsakalangkong

[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 3 komentar



Membaca media online soal LPI/Laskar Pembela Islam pamekasan yang melakukan sweeping tempat prostitusi hingga memicu bentrok dengan warga (diberitakan yang membackingi), saya tidak kaget. Di samping karena beban sejarah, kasus yang terjadi di kota Gerbang Salam ini menjadi penanda rumitnya tarik ulur formalisasi Syariah Islam yang dipolitisasi (kekuataan-kekuatan politik) di satu sisi, dan diimaginasikan serta dipertarungkan dalam medan sosial-politik oleh massa pendukungnya di sisi lain.  Inilah keunikan Pamekasan.

Pamekasan dibanding 3 kabupaten lain di Madura memang unik. Nalar keberagamaan di kota ini lebih "heroik". Ia terbentuk dalam rentang kesejarahan yang panjang. SI dulu pernah kuat di kota ini dan pengaruhnya
Membaca media online soal LPI/Laskar Pembela Islam pamekasan yang melakukan sweeping tempat prostitusi hingga memicu bentrok dengan warga (diberitakan yang membackingi), saya tidak kaget. Di samping karena beban sejarah, kasus yang terjadi di kota Gerbang Salam ini menjadi penanda rumitnya tarik ulur formalisasi Syariah Islam yang dipolitisasi (kekuataan-kekuatan politik) di satu sisi, dan diimaginasikan serta dipertarungkan dalam medan sosial-politik oleh massa pendukungnya di sisi lain.  Inilah keunikan Pamekasan.

Pamekasan dibanding 3 kabupaten lain di Madura memang unik. Nalar keberagamaan di kota ini lebih "heroik". Ia terbentuk dalam rentang kesejarahan yang panjang. SI dulu pernah kuat di kota ini dan pengaruhnya masih terasa hingga kini terutama soal memposisikan Islam sebagai ideologi, yang dalam bentuknya sekarang melahirkan perda syariah.

Menurut Kuntowidjoyo (2002), awalnya SI di Madura terbentuk di Sampang pada tahun 1913. Pendirinya adalah Mas Gondosasmito alias Haji Syadzili. Selanjutnya pada tahun yang sama dibuka Cabang SI di Pulau Sepudi, Sumenep. Di pulau ini jejaknya hingga sekarang masih terlihat, setidaknya sebagian warga masih kuat afiliasinya dengan kelompok modernis.

Di Pamekasan, SI terbentuk tahun 1914. Di Kabupaten ini cabang SI ada dua, satu berpusat di kota pemakesan sendiri, satunya di Kecamatan Duko. Tahun yang sama juga di buka Cabang SI Bangkalan.

Dulu SI Pulau sepudi pernah melakukan gerakan anti-China dengan memboikot aktivitas perdagangan mereka. Juga menyerang aspek tradisi lokal, hingga menculik pesinden dari pesta yang disponsori pemerintah Hindia Belanda. Anehnya, gerakan ini oleh Kunto dalam bukunya dianggap gerakan sosial tanpa cela, bahkan Kunto menyebut dulu tak ada kekuatan lain selain SI dalam mengkonsolidasi warga dalam melakukan gerakan sosial. Kunto tak melihat serangan SI terhadap tradisi justru mengeksklusi kelompok tradisi(onal) dan membuat polarisasi gerakan perlawanan terhadap Belanda.

Sepertinya kasus di Sepudi hampir serupa dengan kasus yang beberapa hari lalu terjadi di pamekasan. Kira-kira gambaranya kesel sama pemerintah, tapi yang diserang sipil. Tetapi poinnya, gerakan keagamaan di Pamekasan akhir-akhir ini seperti memanggul beban sejarah, mau menuntaskan agenda SI dulu dalam bentuk yang sepenuhnya tidak sama meski dalam substansi yang tidak jauh beda.

Apalagi, sisa ideologi SI diracik dengan unsur baru yang belakangan ini (di)datang(kan) dari Jakarta, hingga nalar keberagamaannya tidak saja keras dalam tataran ideologis, tapi juga dalam metodenya. Sejarah SI dulu bertemu dengan unsur baru (tetapi sebenarnya lama) yang  (di)datang(kan) itu dan menjadikan nalar keberagamaan di kota ini lebih "greng", militan, dan rada keras.

Kalau mau jujur, kata kunci dari meluasnya distribusi gerakan militan berbasis agama ke kabupaten lainnya  bersumber dari kota ini. Kasus Syi'ah di Sampang di tahun 2010/11 juga dipengaruhi model gerakan di pamekasan. Terakhir, gerakan mobilisasi 212 di kabupaten lain juga berawal dari kota ini.

Menarik dilihat bagaimana pertumbuhan gerakan militan berbasis agama di Pamekasan ke depan, lebih-lebih jelang pilkada. Saya mengamati eskalasi kelompok militan akan makin menguat ke depan.

Tulisan ini sekedar clotehan yang  miskin data dan analisis. Mohon maaf bagi yang gak berkenan

Pulau Garam l 22 Januari 2017
[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 0 komentar



Kasus NYIA di Kulonprogo dimana warga dipaksa untuk mengosongkan kampungnya makin memperpanjang konflik agraria di negeri ini. Negara, dengan segenap aparatusnya,  yang seharusnya hadir memartabatkan keadilan bagi rakyat justru mempertontonkan sikap sebaliknya. Negara lebih berfungsi sebagai panggung bagi kepentingan pemodal. Bahkan kadang menjalankan kepentingan modal sendiri, meski harus menguliti keadilan bagi rakyatnya.

Persoalan agraria makin mempertajam ketimpangan di negeri ini. Melihat data ketimpangan sungguh sangat mengerikan. Dalam Munas NU di Lombok baru-baru ini merilis bahwa, " Kekayaan dimonopoli segelintir orang yang menguasai lahan, jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan, dan obligasi pemerintah. Menurut World Bank (2015), Indonesia adalah negara ranking ketiga tertimpang setelah Rusia dan Thailand. Gini rasio mencapai 0,39 dan indeks gini penguasaan tanah mencapai 0,64. 1% orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional, 0,1% pemilik rekening menguasai 55,7% simpanan uang di bank. Sekitar 16 juta hektar tanah dikuasai 2.178 perusahaan perkebunan, 5,1 juta hektar di antaranya dikuasai 25 perusahaan sawit. Jumlah petani susut dari 31 juta keluarga tani menjadi 26 juta, dua pertiganya adalah petani yang terpuruk karena penyusutan lahan dan hancurnya infrastruktur pertanian. 15,57 juta petani tidak punya lahan".

Persoalan agraria saat ini juga menjadi persoalan krusial di Sumenep dua tahun belakangan ini. Sejak akhir tahun 2015/awal 2016 ratusan hektar lahan di Kabupaten Sumenep  sudah dikuasai investor. Hingga detik ini penguasaan lahan baru dan upaya menguasai lahan baru oleh investor terus berlanjut, terutama di pesisir utara, misalnya di Lombang dan Badur, dua kawasan wisata yang ada di Sumenep. Begitu juga upaya penguasaan lahan baru menyasar di lokasi wisata lainya semisal di pulau Giliyang, Kecamatan Dungkek.

Sebagaimana tulisan saya sebelumnya atau banyak liputan media, lahan-lahan itu dialihfungsikan menjadi tambak udang. Tercatat ada 4 tambak udang yang diberi ijin oleh pemda, meski alih fungsi lahan tersebut jelas-jelas menyalahi perda RTRW. Sementara lahan-lahan lain dibiarkan bisa jadi karena belum jelas peruntukannya atau belum keluar ijinnya. Yang pasti di lahan-lahan itu suatu saat akan dibangun entah tambak atau infrastruktur pariwisata yang akan dicanangkan secara massif tahun 2018 ini.

Habisnya lahan di Kabupaten Sumenep, tanpa menafikan yang pro, menuai tanggapan kritis dari banyak kalangan, termasuk kiai sepuh. Pernah di hadapan Kades di Pendopo Kabupaten Sumenep tanggal 18 Juli 2016, Almarhum KH. Basyir AS dan KH. Thaifur Ali Wafa mewanti-wanti agar lahan-lahan tidak dijual kepada investor luar. Pertemuan ini digagas oleh pemda yang justru pada saat bersamaan membiarkan lahan rakat tak dilindungi dan mempermudah proses alih fungsi lahan.

Dalam salah satu pertemuan, KH. Ma'ruf, Rois Syuriah MWC NU Gapura menyebut bahwa penguasaan lahan dengan membangun industri hari ini  tidak beda dengan VOC yang dulu datang untuk maksud berdagang, tetapi pada akhirnya menjajah. Satu sindiran bagi kita agar kuat iman terhadap rayuan untuk melepas lahan. Dan sindirin juga bagi investor dan penguasa yang selalu meneriakkan "pembangunan" meski kita tidak jelas secara sfesifik untuk kepentingan siapakah sebenarnya pembangunan itu.

KH Muhammad Shalahuddin yang akrab dipanggil Kiai mamak menyebut bahwa penguasaan lahan sepanjang pesisir adalah bentuk kekalahan Madura secara geo-politik dan geo-ekonomi. Penguasaan lahan sepanjang pesisir oleh investor menunjukkan kecerdasan geo-strategi lawan dalam rangka menguasai Madura. Menurut beliau, siapapun yang menguasai pesisir di masa depan akan menang secara geo-politik. Beliau melukiskan penguasan Madura melalui pesisirnya ibarat orang makan bubur, tinggal menunggu saja lambat laun penguasan  lahan akan terus beranjak ke tengah. Suatu waktu Madura akan habis tersapu.

Ketika Hari Santri, 22 November 2017 kemarin, PCNU Sumenep juga sudah mengeluarkan maklumat agar pemda segera mencari jalan keluar secara serius untuk melindungi lahan-lahan, terutama lahan pertanian produktif dan kawasan konservasi agar para investor tidak semena-mena menguasai lahan. PCNU juga mengingatkan pemerintah daerah agar pembangunan yang dilakukan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masyarakat dan mempertimbangkan madharatnya di masa depan.

Tidak hanya maklumat, melalui Lembaga Bahsul Masail (LBM) yang didasarkan atas informasi masyarakat soal jual-beli lahan yang dilakukan investor berlangsung dalam kondisi "tidak ada unsur sukarela" maka jual-beli tersebut dihukumi haram meski jual belinya sah. Persisnya keputusan LBM seperti ini, "HARAM manakala ada unsur tadlīs (penipuan), khiyānah (dusta) dan dharār (merugikan), tetapi jual belinya sah. Jika jual belinya mengandung unsur ikrāh (pemaksaan) bighairi haqqin (tanpa alasan yang dibenarkan), maka hukum jual belinya TIDAK SAH".

Dalam banyak kasus, pelepasan lahan melibatkan jaringan kekuasaan yang ikut membantu menertibkan pikiran si pemilik lahan hingga terpojok dalam kondisi tak berdaya. Modal dan kuasa jika bersekutu, tak mudah dalam faktanya ditundukkan. Daya libasnya lebih kuat ketimbang kekuasaan pemilik lahan.

Secara kebudayaan penguasaan lahan yang nanti peruntukannya untuk industri diyakini akan menggerus tradisi dan kearifan Madura. Desa sebagai lumbung tradisi akan dihujani nilai-nilai industri yang sangat impersonal dan material. Gotong royong, relasi sosial, keikhlasan, kesetiakawanan, kekerabatan akan pudar tergantikan oleh kehidupan yang makin individualistik, cerai-berai, transaksional, dan penuh pamrih. Rakyat menghadapi setidak-tidaknya tiga hal, secara ekonomi dipangkas, secara sosial diceraiberaikan, dan secara budaya dikeringkan. Wallahu A'lam.

Matorsakalangkong

Pulau Garam l 2 Januari 2018
[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 0 komentar



Jumat malam (17/11) pukul 19.30-23.30 sekitar 40 orang kebanyakan anak muda ngobrol di KancaKonaKopi Sumenep menyoal Visit Sumenep Year (VSY) 2018. Hadir sebagai pemantik obrolan, redaksi majalah fajar yang edisi ini memang mengangkat laporan utama soal VSY,  kyai Muhammad Zammiel Muttaqin dari pesantren guluk-guluk, mas Syaf Anton budayawan Sumenep, dan saya sendiri. Obrolannya menarik. Ditemani kopi yang racikan dan jenisnya macam-macam, obrolan yang santai ini justru menjadi tidak santai alias serius karena obrolannya bernada "menggugat", VSY yang dicanangkan pemerintah daerah Sumenep dalam obrolan disebut hanya "visit-visitan".

Mas Anton mengumpamakan VSY ibarat orang menjual pete' (anak ayam) yang ditaruh di karung sangat besar dengan publikasi besar. Pas orang yang mau beli lihat ayamnya, "  eh...ternyata cuma pete' ". Jadi, cuma lebih besar publikasinya karena memang VSY tak dipersiapkan dengan matang.  Ini baru soal persiapannya, belum lainnya.

Lain dengan kiai miming, VSY menurut beliau ditamsilkan seperti umrah yang justru menggantikan haji yang wajib. Seolah dengan VSY, ekonomi rakyat akan membaik. Pada hal menurut beliau, VSY telah memalingkan tanggungjawab pemerintah untuk memikirkan hal yang wajib misalnya, nelayan dengan hasil lautnya, petani dengan hasil kekayaan alamnya, termasuk garam dan potensi lainnya. Menurut kiai miming, pandangan seperti ini merupakan wujud dari kemalasan berfikir. Dengan nada kritis kiai miming mengajukan pertanyaan, "pekerjaan pemerintah sebenarnya apa sih?"

Makanya VSY tidak jelas untuk kepentingan siapa. Tak perlu mengatakan bahwa VSY untuk kepentingan rakyat. VSY hanya untuk kepentingan pemodal atau kelompok yang memperoleh untung dari relasinya dengan pemodal. Wajar jika sejak awal rakyat terutama di lokasi wisata tidak pernah dilibatkan dalam perumusan master plan pariwisata. Master plan pariwisata dibuat oleh sekelompok orang, entah atas nama expert, yang dicocokkan dengan kepentingan para pemodal. Tidak aneh jika master plan pariwisata hingga detik ini tak pernah disosialisikan kepada publik.

Sejatinya jika mau serius, VSY dirumuskan dalam kerangka mendukung tugas wajib pemerintah daerah, bukan menggantikanya. Tugas wajib pemerintah tetap mengurusi secara serius nelayan dan petani yang merupakan populasi terbesar rakyat Sumenep. Sementara VSY didesain untuk mendukung tugas wajib ini. Menjadi jungkir balik, jika pemerintah mengurus secara serius VSY , tapi abai terhadap petani dan nelayannya.

Jika demikian, VSY sejatinya diintegrasikan dengan potensi yang dihasilkan nelayan dan petani. Misalnya, kebutuhan kuliner para wisatawan dirancang betul bagaimana terintegrasi dengan nelayan dan petani yang menghasilkan ikan dan bahan makanan. Tapi sayang dalam amatan kiai miming, di dekat hotel yang bertebaran di Sumenep saja soal kuliner ini tak dikelola baik. Ini baru soal kuliner.

Demikian pula soal transportasi, kuliner, homestay dan cendera mata terutama di lokasi pariwisata harus diserahkan kepada rakyat. Jika tidak, dipastikan investor mengambil alih. Tapi sayang, karena saat ini master plan pariwisata tidak dipublikasikan, diragukan pariwisata berbasis rakyat akan menjadi arus utama kebijakan pemerintah.

Saya menengarai ada tiga arus kebijakan pariwisata yang bertarung di tubuh pemerintah. Pertama, yang menghendaki pariwisata dikelola oleh rakyat. Arus ini lemah dan tak banyak pendukungnya. Di samping desain pariwisata berbasis rakyat belum jelas, seperti apa "blue print"nya.

Kedua, arus yang menghendaki pariwisata dikelola BUMD/BUMDES. Gagasan ini seolah bagus ditengah kencangnya privatisasi, meski bagi saya tata kelola yang buruk dan kepemilikan yang sepenuhnya dimiliki  "pemerintah" bisa menjadikan BUMD/BUMDES dijalankan dengan sangat kapitalistik.

Ketiga, arus yang menghendaki pariwisata diserahkan kepada swasta/investor. Nampaknya arus ketiga inilah yang paling kuat. Terbukti beberapa kali di media ada berita pemda menawarkan potensi pariwisata kepada investor, termasuk investor asing, seperti Turki dan Arab Saudi. Jika yang ketiga betul-betul terjadi, maka tamat wacana pemerintah sendiri yang selalu menghubungkan pariwisata dengan kesejahteraan rakyat.

Pariwisata meski seksi, bukan berarti tak mengundang petaka. Akan banyak masalah yang akan muncul, setidaknya yang mengemuka di forum sebagai berikut :

# Kebudayaan Madura akan tergerus. Secara lahiriah, tradisi dan keseniannya akan diawetkan tetapi rohnya dicabut hanya sekedar untuk dipertontonkan kepada pelancong. Cara pandang orang Madura yang menyukai keseimbangan dunia-akhirat, akan termaterialisasi dan hanya berorientasi duniawi. Pariwisata yang membawa nilai-nilai "have fun", senang-senang, serta spirit kebebasan dan hiburan akan menjadikan  pergaulan anak muda makin berjarak dengan kebudayaannya sendiri. Kita harus akui, pariwisata dimanapun selalu tersadera sama bisnis gelap, sex dan narkoba. Belum lagi nasib bahasa Madura yang akan semakin terpinggirkan.

#Jika pariwisata yang dikembangkan ramah bagi investor tentu akan lebih membawa petaka yang makin berat, karena lahan-lahan terutama di lokasi pariwisata akan dijarah investor. Pengakuan bapak Sahlan, warga Pulau Giliyang, bahwa tanahnya dekat spot oksigen ditawar 2 milyar bisa menjadi ilustrasi bagaimana investor dengan rakusnya menyasar lahan-lahan di lokasi wisata. Untungnya pak sahlan kukuh tak melepas lahannya. Maka ke depan akibat VSY akan terjadi petaka yang saling melengkapi, tanah dihabisi dan kebudayaan serta tradisi Madura akan dicerabut. Sungguh, bentuk petaka yang sempurna.

Meski dalam obrolan di kancakonakopi berkembang sikap tak percaya sama pemerintah dan sesegera mungkin rakyat bangkit membangun konsolidasi dan mengurus ekonominya berbasis kooperasi, saya tetap mengharap pemda mendengar obrolan ini. HATI-HATI MENGELOLA VISIT SUMENEP YEAR. SALAH KELOLA, KITA AKAN MENUAI PETAKA. TIDAK SAJA TANAHNYA DAN SEGENAP YANG DIKANDUNGNYA AKAN HABIS, TAPI JUGA BUDAYANYA, TRADISINYA, GENERASINYA, DAN BAHKAN MASA DEPAN SUMENEP AKAN MUSNAH TINGGAL CERITA.

Matorsakalangkong

Pulau Garam l 23 November 2017






[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 0 komentar


Setiap kali ada kyai sepuh di kampung yang tekun membangun kesalehan spiritual dan sosial wafat, selalu ada kegelisahan menyelusup di dada. Ketiadaan mereka terkadang menjadikan kehidupan berjalan secara tidak seimbang. Oleng kiri, oleng kanan. Apalagi di tengah kehidupan yang makin gaduh saat ini, baik oleh fundamentalimse agama maupun fundamentalisme pasar yang taringnya menyasar ke desa-desa.

Kyai sepuh bagi saya seolah "pakona dunnya" (paku bumi) yang menjadikan kehidupan dunia berjalan seimbang. Mereka tanpa pamrih  membangun masyarakat Islam, menurut istilah gus dur, dengan menekankan kehidupan penuh keadaban atau akhlak al karimah. Dalam "kompolan" atau lailatul ijtima' tempat mereka mendidik maeyarakat, tak ada pernyataan atau mimpi membangun negara dalam negara, seperti gagasan khilafah misalnya. Yang ditekankan adalah bagaimana menjadi hamba yang baik  hubungannya dengan Pencipta dan sesama dengan mendasarkan diri pada missi kenabian, akhlak al karimah.

Pagi itu, saya memperoleh kabar, guru saya, KH. Moh. Rifa'ie dalam kondisi sakit keras dan dirawat di Puskesmas di Kecamatan saya. Istri saya berangkat duluan membezuknya. Setelah pulang, istri membenarkan bahwa kondisi beliau ibarat menunggu mukjizat untuk pulih.

Jelang waktu dhuhur, saya pun berangkat bersama ketua MWC NU ke puskesmas. Telat. Ternyata beliau sudah dibawa pulang ke rumah beliau, tak jauh dari puskesmas. Kami mengejarnya ke ruman beliau.

Di rumah beliau sudah banyak orang yang menungguinya. Sekedar untuk melihat wajah beliau kami tidak bisa, karena banyak orang mengelilingi tempat beliau direbahkan. Ini menunjukkan bahwa beliau dicintai banyak orang. Kami menunggu di beranda, sampai akhirnya ada yang keluar dari dalam rumah dan meyakinkan bahwa beliau sudah menghadap Allah SWT. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.

Saya mengenal beliau sejak kecil, sebelum saya masuk MI tahun 1975 di kampung saya. Apalagi beliau memang dekat dengan ayah saya. Dan sejak MI di kampung saya berdiri tahun 1963, beliau sudah mengajar di sana. Beliau juga termasuk aktivis Ansor bersama paman saya, terutama pada masa-masa sulit pada tahun 1965/66. Hingga wafat, beliau masih tercatat sebagai mustasyar MWC NU Gapura Sumenep.

Satu hal yang kami saksikan, beliau begitu peduli pada pendidikan madrasah. Hingga 2016 beliau masih mengajar di MTs Nasy'atul Muta'allimin. Karena faktor kesehatan beliau kemudian pamit, meski kepada guru beliau bilang, ingin sekali wafat di saat mengajar.

Saya memperoleh didikan langsung dari beliau ketika di MI dan MTs. Beliau mengajar IPA. Seingat saya beliau memang tidak mengajar di luar pelajaran itu. Meski mengajar ilmu eksak, di setiap pelajaran beliau piawai mengutip ayat-ayat Alqur'an dan dikontekstualisasikan dengan pelajaran IPA. Salah satu contoh, sebagaimana kesaksian Khairul Umam,  ketika beliau menerangkan cahaya yang dikaitan dengan cahaya kunang-kunang. Setelah itu beliau sampaikan ayat dan menerangkan antara cahaya, listrik dan kekuasaan Allah. Kepiawaian seperti ini jarang saya temukan pada guru lainnnya.

Beliau adalah guru yang sangat sederhana. Sejak kenal beliau mulai kanak-kanak hingga saya punya anak tak ada yang berubah, kemana-mana termasuk ketika mengajar beliau naik sepeda ontel tua. Pernah punya motor, tapi cuma hitungan bulan, karena motor beliau, kalau tidak salah, disukai alias dicuri maling. Setelah itu beliau setia ngontel.

Soal waktu , beliau sangat disiplin. Mau ngajar, rapat, undangan beliau tidak pernah lambat. Jika jam 7, beberapa menit sebelum jam 7 beliau sudah datang. Pernah ketika kelas 3 MTs, teman saya selalu datang lambat ke madrasah. Beliau tidak pernah marah, paling cuma ditanyakan alasan kenapa lambat. Teman saya bilang, "membantu orang tua pak".  Besoknya teman saya lambat lagi, tanpa bertanya beliau bilang dengan sabar, "bantu orang tua lagi ya?" Setelah itu, teman saya kapok dan tidak pernah lambat lagi.

Di samping menjadi pengajar formal, beliau juga menjadi pendidik masyarakat. Beliau memimpin lailatul ijtima' atau kompolan dalam istilah Madura. Sebagaimana biasa yang dilakukan para kyai, beliau  menyapa langsung warga dan memahami masalah yang dihadapinya melalui kompolan itu.

Beliau lahir pada tahun 1941 dan wafat dalam usia 76, pada hari kamis, 9 November sekitar jam 11.30. Banyak sekali orang menshalatkan, termasuk murid-muridnya yang sejak dulu hingga sekarang pernah dididik beliau menyatu dalam kedukaan yang mendalam. Allahummagfirlahu warhamhu. Selamat jalan guru.

Setiap kali ada kyai sepuh di kampung yang tekun membangun kesalehan spiritual dan sosial wafat, selalu ada kegelisahan menyelusup di dada. Semoga kami, muridmu, mampu meneladaninya.

Pulau Garam l 13 November 2017

[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 0 komentar



Saya punya ponakan sepupu. Dulu ia kuliah di salah satu Perguruan Tinggi di Malang. Tahun 1998 ketika pak Harto tumbang, semua mahasiswa senang. Pemimpin yang otoriter dan berkuasa selama 32 tahun itu memang dibenci banyak orang, apalagi mahasiswa.

Justru di saat banyak orang membenci pak Harto yang mulai lemah dan sakit-sakitan, Gus Dur yang dianggap sebagai  tokoh reformasi, malah mendatanginya. Kedatangan Gus Dur itu banyak menuai protes orang, termasuk ponakan saya. Foto Gus Dur yang ia temui di lantai ia tendang sambil berucap, " ini nih .. kyai yang bikin bingung orang".

Beberapa hari setelah kejadian itu ia bermimpi. Dalam mimpinya ada Almaghfurlah KH As'ad Syamsul Arifin, Almaghfurlah KH Sufyan, Gus Dur sendiri, dan KH. Chalil As'ad.

"Kyai Sufyan, tolong buka mulut Gus dur," perintah kyai As'ad pada kyai Sufyan. Kyai Sufyan dengan tanganya membentang lisan Gus Dur lebar-lebar.

"Chalil, tolong anak ini pegang lehernya dan masukkan kepalanya ke mulut Gus Dur", perintah kyai As'ad kepada kyai Chalil. Kyai chalil memegang leher ponakan saya dan memasukkan kepalanya ke lisan Gus Dur. Selama berada di dalam lisan Gus Dur, ia seperti merekam kehidupan lain, termasuk gambaran di alam kubur. Setelah itu ia bangun dari tidurnya dengan perasaan yang tidak tenang dan gelisah. Tapi ia yakin kejadian itu berhubungan dengan kurang ajarnya dia terhadap gus dur. Ia sangat menyesal. Sejak saat itu ia meminta maaf kepada Gus Dur dengan cara. membeli semua buku tentang Gus Dur.

Kejadian tak masuk akal terus berlanjut. Ketika Gus Dur menjadi presiden, tahun 2001 Gus Dur datang ke kampusnya di Malang. Pas hari kedatangannya, ia pun berjejer di tengah ribuan orang yang akan menyambut Gus Dur di jalan yang dilalui mobilnya.

Keanehan terjadi. Ketika mobil Gus Dur memasuki kampus dengan penjagaan paspampres dan keamanan yang sangat ketat, dari jendela mobil yang terbuka Gus Dur melambaikan tangan seperti memanggilnya. Ia pun menoleh kiri-kanan, karena tak yakin lambaian Gus Dur untuknya.

Tapi karena tidak ada yang bereaksi, akhirnya ia maju ke depan menerobos keamanan super ketat, dan anehnya begitu mudahnya,  hingga ia tiba di sisi mobil Gus Dur. Gus Dur menjulurkan tangan dan ponakan saya dengan sangat senangnya mencium tangan Gus Dur sambil berkaca-kaca. Kecuali ponakan saya, tak ada orang lain yang bisa bersalaman dengan Gus Dur, karena tak ada yang bisa menembus ketatnya pengamanan.

Alfatihah...

[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 1 komentar




Ke Giliyang di bulan Agustus terasa berbeda. Ombaknya sangat besar. "Asapo' angin abantal omba' (berselimut angin, berbantal ombak), begitu ungkapan orang Madura. Setiap kali melihat ombak setinggi gunung menggulung perahu, setiap itu pula perasaan ciut muncul. "Biar selamat, yang banyak baca shalawat", kata Haji Basit, 67 th, tetangga saya yang juga ikut rombongan. Watak manusia seperti saya, baru ingat Tuhan jika marabahaya menghadang.

Kami rombongan Kompolan Tera' Bulan datang kedua kalinya ke pulau  yang sekarang dikenal sebagai tujuan wisata karena kualitas oksigennya yang bagus. Bersama KH Muhammad Shalahuddin yang akrab dikenal kyai Mamak, Kompolan Tera' Bulan diundang secara khusus oleh Kyai Irsono dan istri yang mau berangkat haji bulan ini. Ya, ini adalah selametan calon haji.

Berangkat jam 17.00 dari pelabuhan Dungkek dan tiba di Giliyang 40 menit kemudian. Karena lumayan besar perjalanan terasa lama bagi saya. Tiba di pelabuhan, 20 motor sudah siap menjemput rombongan. Kali ini rombongan memang sedikit, karena ada sekitar 10 orang yang terpaksa ditinggal berhubung terlambat datang ke pelabuhan dungkek pada saat perahu sudah harus berangkat.

Tiba di rumah kyai Irsono, kami langsung shalat maghrib. Sehabis shalat kami berbaur dengan ratusan para undangan yang akan menyaksikan kyai Irsono pamit mau berangkat ke tanah suci. Diawali dengan sambutan kyai Irsono, sekaligus beliau mohon maaf kepada hadirin, mohon doa, dan pamit, kemudian acara dilanjutkan dengan uraian hikmah haji oleh kyai Mamak, dan dilanjutkan dengan tahlil yang dipimpin ketua Kompolan, Tirmidzi. Habis tahlilan, acara dilanjutkan dengan bincang-bincang santai seputar haji yang diselang-seling dengan shalawat diiringi hadrah al banjari.

Kyai mamak mengurai secara dalam soal haji ini. Tetapi yang paling saya ingat, diantara ibadah lain, ibadah haji merupakan ibadah yang paling diingini oleh muslim, sejak tua hingga anak-anak. Termasuk orang yang sudah naik haji pun masih ingin ke Mekkah lagi. Bahkan keinginannya lebih kuat ketimbang orang yang belum. Tetapi kyai Mamak mengingatkan, kewajiban berhaji hanya sekali. Seperti kebiasaan Kompolan Tera' Bulan, setelah pemantik diskusi selesai dilanjutkan dengan tanya jawab. Ada tiga orang yang mengajukan pertanyaan menarik, salah satunya tentang haji dan solidaritas sosial. Jam 22.30 bubar, setelah sebelumnya ditutup dengan membaca shalawat dengan berdiri (qiyam) yang dipimpin Ustadz Tirmidzi.

Selesai acara, bersama kyai Mamak, Tirmidzi, Arif dan Taufik (Mahasiswa UGM yang ikut rombongan), Umam dan Sairi (pegiat agraria) bersama warga bergerak menuju spot oksigen. Di sana kami berbincang dengan warga, termasuk Kades Bancamara, Bapak Alwi, tentang masa depan Giliyang yang sekarang sudah jadi destinasi wisata oksigen.

Diskusinya menarik termasuk pemikiran kyai Mamak yang mendesak warga di situ untuk merumuskan pariwisata berbasisi warga. Warga harus jadi tuan rumah,  bukan tamu di pulaunya sendiri. Maka sejak transportasi, catering, homestay, dan cenderamata serta produk lokal lainnya warga lah yang menyediakan dan mengurusinya. Di pulau itu juga harus dijunjung nilai-nilai dan kearifannya, no alcohol, no bikini, dan "no-no" lainnya untuk menjaga keberlanjutan pulau baik secara ekonomi maupun budaya.

Hampir jam 24.00 kami kembali ke kediaman kyai Irsono, tidur semalam di situ, sambil bermimpi tentang Giliyang yang sudah jadi etalase bagi pemodal dan orang-orang kota. Semoga Giliyang ke depan tidak justru mengasingkan warganya sendiri.

Terimakasih kepada warga Giliyang, kapan-kapan semoga kami bisa kembali lagi.

Pulau Garam l 11 Agustus 2017

[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 2 komentar





Setiap kali kaki beranjak ke pulau ini, saya selalu disuguhi perubahan yang begitu cepat. Saya tak harus menunggu 1 tahun untuk menyaksikannya, cukup 1 hari saja di pulau ini  selalu ada yang baru.

Pulau ini memang bukan pulau biasa yang selalu digambarkan sebagai terisolir. Tidak. Di samping karena jaraknya yang sangat dekat dengan daratan, hanya 5 menit nyeberang, sejak 15 tahun terakhir pulau ini telah menjadikan Jakarta sebagai halaman depannya.

Secara ekonomi, warga pulau di sini telah menyaingi daerah-daerah lain di kabupaten saya. Indikatornya begitu mudah dilihat. Rumah-rumah mentereng dengan beragam arsitektur terkini berdiri tegak di pinggir jalan maupun di pedalaman menggantikan rumah-rumah sederhana. Mobil-mobil dengan beragam merk berseleweran di pulau yang untuk berkeliling saja hanya butuh 1,5 jam. Beberapa terdapat mobil mewah (untuk ukuran di kampung) seperti fortuner dan pajero sport. Bahkan sekelas Avanza diledek sebagai mobil tehnisi PLN. Motor anak muda seperti ninja dengan mudah juga bisa ditemui di pulau ini.

Tetapi ibarat hubungan tidak sebanding, Jakarta telah menjadi kiblat yang selalu menjadi rujukan warga pulau di sini,  terutama soal gaya hidup. Jakarta adalah kota satelit yang dicoba dikloning di pinggiran. Intensitas interaksi penduduk di sini dengan penduduk jakarta telah menyulap pulau ini sebagai "jakarta" pinggiran. Sejak cara berpakaian, arsitektur rumah, mobil, cara pandang, makan, termasuk juga kemacetan (di pelabuhan) adalah penanda kejakartaan yang dengan mudah ditemui di sini. Persaingan hidup terutama antara perantau barangkali juga hasil kloning persaingan hidup di Jakarta.

Bagaimana intensitas yang demikian intim  itu bisa dibuktikan? Inilah datanya. Sebuah desa saja di sini sudah "melepas" 2.000-an penduduknya ke Jakarta. Ini belum dari desa lain, karena pulau ini memiliki 8 desa. Bisa dibayangkan bagaimana limbah Jakarta begitu besarnya mengalir ke pulau ini, karena setiap hari orang yang pergi dan pulang dari Jakarta bisa ditemui dengan mudahnya. Bukankah mereka ke Jakarta tidak sekedar pulang bawa uang, tetapi lengkap dengan pandangan hidup orang Jakarta dengan segenap hedonismenya?

Rata-rata mereka bekerja di sektor informal, sebagai pemilik warung klontongan. Ada juga yang menjaga warung yang milik orang lain. Mereka cerdas. Dalam hitungan bulan, bisa 2,3,4,6  bulan hingga setahun mereka pulang untuk kemudian diganti sama saudara, tetangga, atau orang lain. Begitu seterusnya sehingga mereka bisa hilir-mudik secara bergantian, pulang dari dan pergi ke jakarta. Kalau jenuh di Jakarta, hitungan bulan mereka bisa bersantai di kampung.

Di Jakarta mereka bekerja keras. Warung-warung milik orang Madura banyak yang buka 24 jam. Karena yang jaga warung minimal 2 orang, kebanyakan suami istri, mereka bekerja paruh waktu secara bergantian, siang istri, malam suami. Guyonan orang Madura, gimana gak banyak hasilnya jika di kampung mereka kerja, 1 hari di Jakarta jadi --untuk menyebut 24 jam-- 2 hari?

Jika secara ekonomi ditandai oleh perkembangan yang cukup signifikan, secara sosial-budaya justru sebaliknya. Relasi sosial dibangun makin transaksional. Salah satu yang bisa menjadi contoh, bagaimana tradisi seperti "ghebay" (gawe) makin profan dan materialistik. Pengaruh perantauan Jakarta luar biasa sejak makin meriahnya gawe, besarnya perolehan amplop, beras, gula, dsb (di Madura disebut tompangan) yang di pulau ini perolehannya bisa sampai 700 juta hingga 1 miliyar. Hutang yang mungkin tidak terbayar hingga empat generasi.

Hal lain, di pulau ini anak-,anak  besar tanpa kasih sayang yang cukup dari orang tua. Karena merantau, anak-anak seusia TK dan SD harus tinggal dengan kakek-neneknya. Secara materi mereka terpenuhi, misalnya motor dan andorid keren, tapi barang itu tak bisa mengganti kasih sayang orang tua.

Satu lagi, perubahan masyarakat pulau ini terhadap pendidikan. Pendidikan tidak lagi dianggap penting. Sejak lulus SMP/MTs atau SMA/MA mereka sudah memilih merantau karena secara materi lebih menjanjikan. Beda dengan sekolah, mereka beranggapan di samping sekolah menghabiskan banyak biaya, setelah lulus paling juga menganggur.

Saya masih berharap, kondisi seperti saat ini lebih sebagai masa transisi, suatu proses yang biasanya dilalui oleh masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Suatu saat, dimungkinkan di pulau ini, Pulau Poteran, mengalami perkembangan sognifikan dalam ekonomi, tapi secara sosial-budaya juga kuat.

Tentu ini butuh kepeloporan, baik yang tinggal di pulau maupun perantauan. Semangat filantropi perlu dibangun bagi perantauan untuk membangun warga pulau yang masih belum beruntung, termasuk mengembangkan lahan dan kekayaan bahari yang saat ini banyak yang terbengkai. Akar pulau ini di samping tani juga nelayan. Semoga.

Matorsakalangkong

Pulau Garam l 1 September 2017






[ Read More ]

Posted by rampak naong - - 0 komentar

Saya ketika mengisi kegiatan taman baca

Lapa Taman sebuah desa di pojok timur  kabupaten sumenep, diapit oleh desa lapa daya di sebelah timurnya dan lombang sebelah baratnya. Desa ini masuk kecamatan Dungkek, sebuah kecamatan daratan yang posisinya paling timur di kebupaten Sumenep.  Di kecamatan Dungkek terdapat pelabuhan yang menghubungkan dengan pulau-pulau di sebelah timurnya, seperti Giliyang, Sepudi, Raas, dan beberapa pulau lainnya. Menurut kabar pelabuhan ini sedang dijajaki untuk dijadikan pelabuhan internasional.

Posisi Desa Lapa Taman sebelah utara kecamatan Dungkek. Dari kota Sumenep kira-kira 1 jam naik kendaraan bermotor. Desa ini dekat dengan Lombang, desa wisata yang dikenal dengan pantai dan cemara udangnya. Lapa Taman tepatnya sebelah timur desa Lombang atau sebelah barat desa Lapa Dhaje. Desa ini memiliki luas Wilayah ÷= 6. 345 M2 dengan jummlah Penduduk, 2. 211 (data 2015). Sementara mayoritas mata Pencaharian rata rata Petani, Nelayan, dan pedagang.

Desa Lapa Taman sebagaimana saya singgung di awal tulisan, sekarang dijepit dua desa tetangganya, Lombang dan Lapa Dhaje, yang hektaran tanahnya sudah diambil alih investor. Di atas tanah itu setahunan ini sudah dibangun tambak udang. Tentu berdirinya tambak udang berpengaruh kepada warga desa lapa taman, terutama limbahnya.

Tentu yang membahagiakan, meski tanah dua desa tetangganya berhasil "diacak acak" investor, warga Desa Lapa Taman justru menolak investor dan memilih menjaga kehormatan dan kedaulatan tanahnya. Jika ada sebagian tanah yang lepas ke tangan investor, itu milik orang luar desa Lapa Taman yang tanahnya ada di desa Lapa Taman. Kalau warga Lapa Taman sendiri berkomitmen tidak mau tergiur dan melepas tanahnya kepada para investor. Warga desa itu memiliki kesadaran luar biasa bahwa tanah yang mereka tinggali untuk anak cucu, bukan untuk orang asing yang nanti akan menindasnya. Ini kesadaran sejati dari pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam video dokumenter yang diinisiasi oleh pegiat agraria di Sumenep, keapala Desa Lapa Taman, Aburaera, menjelaskan pengalaman warga yang dialami pada masa lalu telah menjadi guru yang sangat berharga. Kesesadaran warga menjaga kedaulatan tanah karena dahulu mereka punya pengalaman, tanah mereka dikuasai oleh pemodal desa lain yang mengolah garam di desa Lapa Taman. Menurutnya, ketika itu untuk menjadi buruh saja orang Lapa Taman harus menyogok kepada pemilik lahan. Bayangkan, sekedar mau jadi baruh saja harus nyogok. Warga Lapa Taman justru diturunkan derajat kemanusiannya di tanah kelahiran mereka sendiri. Apalagi jika tanah mereka "dijarah" investor luar, tentu mereka akan makin sengsara.

Pengalaman pahit yang mereka gumuli akibat alat produksi mereka yang berupa tanah dikuasai orang lain mendorong mereka membeli kembali tanah mereka yang dulu terjual. Semua tanah yang dikuasai orang luar mereka beli kembali.  Kedaulatan tanah akhirnya dibawah kontrol warga kembali. Dan mereka kembali berdaulat di daerahnya sendiri.

Inilah pengalaman yang mereka ingat. Pengalaman yang tak mau mereka alami kembali. Makanya, di desa Lapa Taman tanah-tanah terlindungi dan terjaga hingga sekarang, suatu kenyataan yang sangat kontras dengan desa Lapa Dhaje dan Desa Lombang, dua desa yang mengapitnya, dimana tanah-tanah di dua desa sudah ludes diambil alih investor yang saat ini dialihfungsikan sebagai tambak udang.

Ketika saya dan beberapa kawan pegiat agraria berkunjung ke desa ini, kami ngobrol dengan anak muda dan aparat desa. Suara mereka sama, menjaga kedaulatan tanah. Tanah-tanah mereka masih subur. Di atasnya tumbuh pohon kelapa yang menyumbang bagi kehidupan mereka sehari-hari. Desa ini memang dikenal sebagai pemasok kelapa, termasuk kelapa "kopyor" yang harganya bisa 25-30 ribu perbutir.

Di desa ini juga ada (sisa) tanah perdikan. Jika mengacu pada tradisi Jawa, tanah perdikan adalah tanah pemberian raja kepada tokoh agama untuk melangsungkan pendidikan agama. Tanah perdikan ini dahulu tidak dibebani pajak oleh raja. Tanah ini sekarang dikelola oleh keluarga juru kunci para raja. Kuat dugaan,  Lapa Taman dahulu tempat para santri belajar agama.

Tak jauh dari desa itu, ada asta gurang-garing (syekh mahfudz) yang masih keturunan pangeran katandur (Syekh Baidhowi)  dan masih seketurunan dengan pangeran Paddusan, dimana semuanya masih keturunan Sunan Kudus. Letaknya yang tidak jauh dari laut yang menghubungkan jawa-madura-kalimantan menjadikan desa ini dahulu banyak dikunjungi para perantau yang suku da rasnya berbeda-beda, dan jejaknya bisa dilihat sekarang, yaitu banyaknya makam-makam tua yang jumlahnya barangkali melebihi jumlah penduduknya.

Saya senang, beberapa anak muda dan warga di desa ini juga terlibat dalam gerakan kedaulatan tanah yang saat ini gencar disuarakan anak anak muda di Sumenep. Saat ini mereka sedang menghadapi masalah. Di Desa ini ada bangunan penampung limbah milik perusahaan tambak udang yang dibangun di desa sebelahnya, Lombang.  Aparat desa dan warga desa ini protes. Di samping mengganggu warga, bangunan ini tidak memiliki IMB, ketika membangun juga tidak pernah koordinasi dengan pemerintahan desa, juga tidak mendapat persetujuan warga. Saat ini mereka tengah mempersiapkan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah yang bikin geram warga ini.

Lepas dari masalah yang sedang dihadapi, semoga desa ini tetap damai dan mampu menahan gempuran investor yang terus mengintai tanah-tanah mereka.

Secara tulus, hormat saya buat semua warga Desa Lapa Taman. Merdeka!!!

Pulau Garam I 17 Agustus 2017
[ Read More ]