Hadariadi, 42 tahun, adalah sosok kaum muda pekerja sosial tanpa pamrih. Seorang sarjana pendidikan yang tidak mengabdikan diri di ruang belajar formal, tapi mengajari banyak orang melalui kepeduliannya yang total terhadap kesehatan warga miskin. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2011 ini sudah 1.000 lebih warga miskin pengguna jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) yang didampinginya.
Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis tokoh muda yang kepeduliannya terhadap warga miskin begitu total ini. Setiap kali saya menelponnya kebetulan ia sibuk mendampingi warga miskin yang harus di rujuk ke Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya, karena penyakitnya tergolong berat. Pada hal jarak Surabaya-Sumenep tidaklah dekat, sekitar 175 km atau kira-kira 4-5 jam jika ditempuh dengan bis.
Tahukah Anda, mas Hada (begitu dia dipanggil teman-temannya) ketika mendampingi warga miskin ke RS Surabaya, lebih sering menggunakan uang sendiri. Kalau pun ditanggung pasien, ia hanya menerima seongkosan naik bis/travel. Jika lebih dia akan menolaknya. Itu pun jika ia kepepet tidak punya uang. Selama masih punya uang sendiri, ia pantang menerima pemberian pasien. Apalagi meminta.
“Saya niatnya membantu. Dan pasien yang saya dampingi orang yang tidak mampu. Masa saya mau menerima/meminta uang dari mereka?”, kata mas hada ketika berkunjung ke rumah saya.
Pada hal di Surabaya dia bisa 1 minggu, bahkan kadang lebih, karena untuk memperoleh kamar bagi pasien miskin harus mengantri. Biasanya di Surabaya, di samping ia menanggung uang makan sendiri, ia juga menyewa kos harian. Sehari antara 20-30 ribu. Jika satu minggu, tinggal dikalikan saja berapa uang yang harus ia keluarkan. Setelah beres kamar dan dokter yang menangani, dia baru pulang ke Sumenep. Tetapi ketika dibutuhkan pasien, karena misalnya ada sesuatu yang butuh pertolongannya, dia berangkat lagi ke Surabaya. Begitulah, mas Hada harus bolak-balik Sumenep-Surabaya dengan uang sendiri.
Meski berlatar dari kehidupan ekonomi biasa, hal itu tidak menjadi hambatan untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Sampai detik ini, tokoh muda ini masih ngontrak di sebuah rumah sederhana berukuran 5x9 m. Istrinya seorang PNS yang baru tahun 2009 diangkat setelah puluhan tahun menjadi guru kontrak di sebuah Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Dikarunia dua anak, yang pertama seorang perempuan yang saat ini masih kuliah di IPB, Bogor, sementara anak kedua laki-laki masih duduk di bangku SD di kabupaten Sumenep. Keluarganya, terutama sang istri, sangat mendukung apa yang dilakukan suaminya.
Awal Pendampingan Itu...
Awal mula mendampingi pengguna jamkesmas tahun 2000. Ia tidak tahan melihat warga miskin yang sering dipelakukan secara diskriminatif di Rumah Sakit Daerah (RSD). Hal-hal yang dialami warga miskin pengguna jamkesmas umumnya tidak memahami prosedur mengurus jamkesmas, tidak lengkap persyaratan admisnistrasinya, dipingpong ke sana-ke mari ketika mengurus, lambat ditangani, dibentak perawat, hingga dipungli oleh ‘mafia RSD’ yang melibatkan ‘pendamping profit’, perawat, hingga dokter. Pungli ini biasanya dialami oleh pasien yang harus dioperasi.
Melihat pengguna jamkesmas banyak yang tidak dimanusiakan di RSD, ia tergerak untuk mendampingi. Ia turun langsung ke RSD. Membantu pasien sejak mengurus administrasi di loket, memperoleh kamar, memastikan bahwa pasien memperoleh perawatan maksimal, mengambil obat di apotik untuk pasien, hingga mengawal pasien ketika check out dari rumah sakit. Dalam prakteknya, ia tidak segan-segan bersitegang dengan perawat, dokter, direktur rumah sakit, bahkan kepaka dinas kesehatan jika ada pasien warga miskin diperlakukan secara diskriminatif.
Lambat laun, ia menjadi tumpuan warga miskin pengguna jamkesmas. Setiap hari selalu saja ada yang mengontak untuk minta bantuannya. Melalui telpon atau bahkan datang ke rumahnya. Tak jarang siang-malam ia datang ke rumah sakit dengan motor bututnya, semata-mata untuk memastikan bahwa RSD menunaikan kewajibannya melayani hak warga miskin tanpa diskiminasi.
Bahkan sering juga, sebagaimana saya singgung di atas, ia mendampingi hingga ke Rumah Sakit di Surabaya. Biasanya pasien yang didampingi ke Surabaya yang mengidap penyakit berat seperti tomur atau kanker yang tidak bisa dilayani di RSD. Dari 1.000 lebih pasien yang ia dampingi, lebih banyak pasien yang di RSD. Kira-kira, menurutnya, hanya 30 orang yang sudah ia dampingi ke rumah sakit Surabaya.
bayi yang pernah didampingi mas hada ke RS Surabaya. penyakitnya tomur air. foto sebelum dioperasi (dok pribadi) |
foto setelah dioperasi |
2006, Mulai Advokasi Kesehatan Warga Miskin
Karena tidak mampu melakukan pendampingan sendiri akhirnya ia bersama temannya mendirikan Posko Pelayanan Kesehatan (P2K). Tugas posko ini ada dua. Pertama, melakukan pendampingan langsung warga miskin pengguna jamkesmas. Untuk menjalankan tugas ini, ia merekrut anak-anak muda yang siap menjadi sukarelawan (dalam makna sebenarnya) yang setiap hari secara bergiliran ngepos di RSD melakukan pendampingan terhadap warga miskin pengguna jamkesmas.
Saya menyebut “sukarelawan (dalam makna sebenarnya)” , karena diantara mereka menyepakati dan membuat kode etik pendampingan, dimana pendamping (sukarelawan) diharamkan meminta/menerima uang/barang sekecil apapun dari pasien warga miskin. Semua harus dilakukan secara ikhlas tanpa memperoleh imbalan dari siapapun, termasuk dari P2K. Karena P2K dibuat hanya sebagai wadah untuk memudahkan pendampingan dilakukan. P2K sampai detik ini tidak memiliki donator.
Kedua, P2K melakukan advokasi kebijakan terutama yang terkait dengan pelayanan RSD terhadap hak-hak kesehatan warga miskin. Bersama teman-temannya mas hada sering melakukan hearing bersama DPRD, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Daerah untuk menyuarakan temuan-temuan selama mendampingi warga miskin memperoleh hak kesehatan tanpa diskriminasi. Tuntutannya sebenarnya sederhana, tetapi perjuangannya diakuinya sangat berat. Karena hal ini menurutnya berkaitan dengan mind set birokrasi yang biasa minta dilayani.
Sampai sekarang, mas hada sudah 11 tahun melakukan pendampingan terhadap warga miskin dalam memperoleh hak kesehatannya. Selama 11 tahun, nama jaminan kesehatan sudah berubah beberapa kali. Awal ia mendampingi bernama Jaringan Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK). Kemudian berubah menjadi Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), berubah lagi menjadi Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askesmaskin), dan sekarang Jamkesmas. Perubahan nama itu ternyata tidak merubah nasib warga miskin. Karena faktanya hak kesehatan warga miskin masih didiskriminasi.
Tetapi ia bersyukur, perjuangan membela hak kesehatan warga miskin, meski sedikit sudah terlihat. Di RSD Sumenep saat ini pelayanan terhadap pengguna jamkesmas sudah mulai beruah. Perawat sudah mulai agak ramah, mengurus persyaratan lebih mudah, dan sudah ada pos pengaduan. Meski secara umum dia mengakui masih banyak perawat dan dokter yang memperlakukan warga miskin secara diskriminatif, bahkan masih melakukan pungli bagi pasien yang dioperasi.
Semalam Mas hada bercerita banyak di rumah saya tentang mimpi besarnya. Dan menurutnya, ia akan tetap melakukan pendampingan, selama RSD masih diskriminatif bagi pasien warga miskin. Karena, menurutnya, tak ada kebahagian kecuali bisa berbagi. Dan hanya itu yang ia bisa sumbangkan bagi kepentingan banyak orang. Semoga sukses
4 Responses so far.
Saya terharu sekaligus terenyuh membacanya. Tak ada yang bisa saya ucapkan selain salam hormat dan takdzim setinggi-tingginya kepada mas Hadariadi beserta keluarga dan K. A. Dardiri Zubairi (para pejuang). Semoga kita semua benar-benar bisa menjadi orang yang bisa berbagi dengan orang lain. Sukses untuk P2K..... :)
terimakasih wahyudi..
saya hanya menulis
dan butuh belajar kepada pak hadariadi dalam soal berbagi
terimakasih kunjungannya. ayolah terus berkarya yudi, saya melihat anda berbakat. salam sukses
Terima kasih atas masukannya dan motivasinya, Pak.
sama-sama yud..
Posting Komentar