ngunduh di Google |
Salah satu catatan yang mungkin menjadi refleksi dalam kasus kekerasan di Sampang adalah lemahnya mediasi. Saya katakan lemah, karena masing-masing pihak yang berkonflik memiliki terminology sendiri tentang mediasi. Misalnya, kubu penolak syiah mengatakan sudah ada mediasi. Di samping difasilitasi oleh pemkab, mediasi itu juga dilakukan oleh tokoh-tokoh agama di Sampang pada tahun 2009.
Sementara menurut Ustadz Tajul, ia tidak pernah dilibatkan dalam mediasi itu. Ia hanya disuruh menandatangi hasil keputusan dalam mediasi, yang pertemuannya dilangsungkan di ruangan berbeda, sementara ustadz Tajul di ruangan lain.
Kedua, kelompok yang bertikai sepertinya sama-sama kurang menaruh kepercayaan terhadap pemerintah daerah. Jika kelompok syi’ah kurang percaya pada mediasi yang dinilainya tidak setara, sementara kubu sunni, melalui tokoh yang saya wawancarai dan ikut dalam mediasi, menyebut pemerintah dan pihak keamanan kurang antisipatif menangani konflik ini sehingga terjadi kekerasan.
Meretas kebuntuan mediasi dan lemahnya trust terhadap pemerintah daerah, maka menjadi penting hadirnya seorang tokoh yang mampu melakukan mediasi. Tokoh itu harus diterima oleh pihak yang berkonflik dan memiliki rekam jejak baik. Lagi, tokoh itu harus memahami betul budaya Madura, khususnya Sampang. Karena tidak sebagaimana dipahami orang luar Madura, budaya Madura tidaklah tunggal. Ada varian yang mencirikan budaya masing-masing daerah di empat kabupaten di Madura.
Pendekatan budaya dalam melakukan mediasi saya pikir sangat penting untuk mengimbangi mediasi yang dilakukan pemerintah daerah yang biasanya sangat formal. Pendekatan formal seringkali menghadirkan mediasi yang kering dan hampa budaya. Mediasi yang tidak menggugah rasa. Sementara pendekatan budaya, jika tepat dilakukan, bisa menelusup hingga ruang bathin. Menjejak hingga akar. Dalam kasus Sampang, pendekatan budaya bisa menjadi titik masuk bagi upaya meretas kebuntuan mediasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah selama ini.
Pak Mahfud, Tokoh yang Tepat
Menurut saya, salah satu tokoh yang tepat untuk memediasi konflik Sampang adalah pak Mahfud MD. Kenapa pak Mahfud? Ada beberapa alasan yang bisa saya ajukan di sini.
Pertama, pak Mahfud berasal dari Madura yang kebetulan kelahiran Sampang. Meski masa kecil, termasuk masa pendidikannya dihabiskan di Pamekasan, kabupaten di sebelah timur Sampang, tapi tak bisa ditolak bahwa Sampang adalah asal bagi pak Mahfud.
Kedua, sebagai orang Madura, tentu pak Mahfud sangat memahami budaya Madura. Meski lama berada di luar Madura, bahkan ketika menjadi tokoh nasional sekalipun, pak Mahfud tidak kehilangan kemaduraannya. Contoh kecil saja, dialek Madura sangat kuat setiap kali pak Mahfud berbicara dalam bahasa Indonesia. Sering saya mendengar setiap kali mengatakan “tidak”, beliau bilang “ndak”.
Ketiga, di Madura, terutama di kalangan kaum mudanya, pak Mahfud menjadi ikon. Bukan saja karena ia telah menjadi tokoh nasional dan menjabat ketua MK, tetapi kejujuran, kesederhanaan, keberanian dan ketegasannya telah memberi inspirasi bagi kaum muda Madura. Inilah saya pikir kekuatan pak Mahfud yang bisa menjadi garansi bagi siapapun di Madura untuk menghormatinya.
Keempat,sebagai pakar hukum yang memahami betul tentang konstitusi menjadi kelebihan lain baginya untuk memediasi. Beliau pasti akan menjelaskan panjang lebar bagaimana konstitusi kita menjamin setiap warga negara untuk hidup berdampingan dalam NKRI.
Kelima, sikap adilnya yang selama ini dimilikinya bisa menjadi jaminan bahwa beliau akan bisa memediasi pihak-pihak yang berkonflik dalam kesetaran. Beliau juga akan bersikap netral dalam memediasi.
Tentu kalau pak Mahfud memediasi tidak akan melakukannya sebagai ketua MK. Ia akan tampil sebagai orang Madura. Pake sarung, songkok, duduk lesehan disertai kopi dan rokok sambil guyonan khas orang Madura. Ayo pak Mahfud, turunlah ke Sampang.
matorsakalangkong
Pulau Garam | Juni 2013
Posting Komentar