theinfo-indonesia.blogspot.com |
Di madrasah saya tahun ini dari 370 siswa ada sekitar 8 siswa yang tidak naik kelas. Sebagian besar anak tidak naik kelas karena terbelit kasus berat yang susah memperoleh “ampunan” sekolah. Ketika memiliki kasus mereka memang tidak langsung dikeluarkan. Tapi karena dalam perkembangannya mereka tetap tidak ada keinginan untuk berubah, akhirnya keputusan tidak naik kelas dijatuhkan.
Keputusan tidak naik kelas bagi sekolah sungguh berat. Kalau sekedar mengacu pada aturan formal sudah benar. Tetapi dari sisi kemanusiaan ada perasaan tidak terima. Siswa seperti membuang-buang waktu satu tahun secara percuma. Apa boleh buat, keputusan harus diambil. Apapun resikonya. Sebuah keputusan bagaimanapun tak akan bisa memuaskan semua.
Lebih-lebih sekarang ini, keputusan tidak naik kelas bukan sebuah keputusan populer. Hampir semua sekolah demikian longgar memutuskan kenaikan siswa. Beda dengan dulu ketika saya masih MI. Ada yang 2 hingga 3 kali tidak naik di kelas yang sama dan berturut-turut dianggap sebagai “kenyataan biasa” yang diterima oleh siswa atau orang tua.
Sekarang beda. Keputusan tidak naik kelas selalu mendapat reaksi dari orang tua. Dengan beragam respon, orang tua seperti tidak terima anaknya tidak naik kelas.
Beberapa hari setelah penyerahan rapor dilakukan, ada orang tua siswa yang berkali-kali menelpon saya menanyakan kenapa anaknya tidak kelas. Ketika menemui saya di kantor dan saya memberikan kreteria kenaikan kelas serta hasil notulasi rapat dewan guru, ia pun sedikit memahami.
Dengan suara santun ia mengharap keputusan sekolah berubah, anaknya minta dinaikkan. Tapi sekolah tetap pada keputusan semula. Dengan sopan ia pun mengambil keputusan, anaknya tahun depan akan dipindah ke lembaga lain. Saya pun tidak bisa mencegahnya.
Lain lagi dengan keluarga yang anaknya tidak naik kelas yang kebetulan tetangga dengan saya. Tanpa minta klarifikasi ke madrasah, anaknya langsung dipindah ke sekolah negeri satu kecamatan dengan madrasah saya. Tetapi tanpa harus dicari jawabannya, yang jelas keluarga siswa ini tidak puas dengan keputusan madrasah.
Umumnya respon orang tua seperti respon yang kedua ini. Siswa yang tidak naik kelas biasanya tidak ada kabar dan umumnya pindah ke lembaga lain. Tidak naik kelas bagi siswa sekarang dianggap sebagai “kiamat” yang membuat mentalnya down. Tetap bersekolah di lembaga asal hanya akan menyulitkannya untuk menyembunyikan minder dan rasa malunya yang tidak ketulungan itu. Dari pada begitu, mending aman pindah saja ke sekolah lain. Cara ini dianggap bisa menyelamatkan anak itu sendiri sekaligus orang tuanya .
Ada lagi respon orang tua yang saya sungguh salut terhadapnya. Ia dengan lapang menerima keputusan madrasah, anaknya tidak kelas. Dan dengan lapang juga ia tetap menyekolahkan anaknya di madrasah kami.
Orang Tua Kuncinya
Sebenarnya respon anak jika tidak naik kelas apakah mau putus, pindah atau tetap di sekolah asal kuncinya ada di orang tua. Orang tua yang jernih menyikapi keputusan tidak naik kelas akan tetap men-support dan membesarkan hati anaknya. Bukan malah memarahi habis-habisan anaknya sambil menyalahkan sekolah.
Sekali-kali kita perlu menggeser perspektif. Tidak naik kelas jika dilihat dari perspektif positif akan memberikan pembelajaran berharga bagi yang mengalaminya. Siswa yang tidak naik kelas akan mengalami satu fase untuk mengelola emosi dan mentalnya. Ia secara langsung belajar tahan banting dari kegagalannya, rasa malunya, kecewanya, amarahnya, rasa menyesalnya, dan segenap tekanan emosi yang menyergapnya. Jika anak mampu mengambil lesson learned, ia nantinya tidak saja cerdas IQ, tapi juga emosi dan bahkan spiritual.
Karena itu, orang tua seharusnya tidak perlu bawel jika anaknya tidak naik kelas. Bersikaplah bijak. Penting juga introspeksi, jangan-jangan anak tidak naik kelas wujud dari abainya perhatian orang tua selama ini. Tidak naik kelas bukan sebab, tapi akibat.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 17 Juli 2013
Posting Komentar