Abed, anak saya yang berumur 3 tahun, tiba-tiba memukul saya tanpa ada alasan yang jelas. Saya menduga ia sedang berjuang keras melawan rasa kesalnya karena permintaannya tidak dituruti. Tapi perlawanannya jebol. Ia tak mampu mengontrol emosinya. Dan …plak, sebuah pukulannya mendarat di bagian tubuh saya.
Saya terpancing emosi juga. Kesal rasanya anak berani memukul orang tuanya. Sontak saya menyuruhnya meminta maaf. Rupanya ego menahannya. Kata ilmu psikologi anak, ego sudah muncul pada anak sejak ia berusia 2 tahun. Saya mengamati anak sendiri, tesis ini ternyata benar. Sejak berumur 2 tahun, Abed sudah menampakkan ego merasa benar sendiri. Saya menunggunya beberapa menit, tetap saja ia tak mau minta maaf.
Sampai suatu ketika ia hendak pipis. Ia cepat bergerak pergi ke kamar mandi. Selesai pipis, ia memanggil uminya untuk menyucikan ‘burungnya’. Dorr. Sekali lagi egonya keluar. Ia tidak memanggil saya. Pada hal urusan mencuci burungnya, biasanya saya. Rupanya ia masih kesal karena tuntutan saya iuntuk meminta maaf.
Dengan santai uminya bilang, “jangan sama ummi dong, sama baba saja. kan biasanya baba”.
“Tapi baba mau kalau Abed minta maaf,” kata saya menimpali.
Ia diam. Meski kemudian ia memanggil umminya lagi, tapi istri saya tetap tak beranjak ke kamar mandi. Bosan memanggil umminya, ia memilih diam lagi. Ia tetap di dalam kamar mandi. Sendiri.
Kira-kira hampir 10 menit lamanya ia berada di dalam kamar mandi. Hampir saja Saya menyerah. Tidak tega melihat anak diam tanpa suara di kamar mandi. Sendiri lagi. Tetapi saya kuatkan sambil berharap ada “kejutan” dari mulut anak saya.
Benar saja, tak lama setelah itu ia memanggil saya, “ba..abed minta maaf”. Lega hati ini rasanya. Di saat saya dan istri hampir menyerah, tidak tega mendiamkan anak dalam kamar mandi selama 10 menit, keajaiban datang. Permintaan maafnya ibarat penantian panjang yang menyejukkan jiwa.
Pengalaman ini memberikan pelajaran berharga bagi kami. Meski saya tidak selalu berhasil mengontrol emosi, mendidik anak dibutuhkan kesabaran luar biasa. Terkadang kita perlu menyediakan waktu lama untuk memberi kesempatan pada anak mengakui kesalahannya. Setidaknya anak juga memerlukan waktu berintrospeksi untuk merenungi kesalahan dengan cara “menghukumnya”, tentu disesuaikan dengan psikologi anak dan tetap menghindari kekerasan.
Seandainya saya dan istri tidak sabar menunggu hingga permintaan maaf keluar dari mulut anak, mungkin ceritanya akan lain. Anak akan tetap merasa benar, meski ia melakukan kesalahan. Dan sikap ini akan terus diulanginya lagi. Lagi. Dan lagi. Pada hal karakter anak –baik atau buruk—terkadang dimulai dari sesuatu yang kita anggap sepele.
Matorsakalangkog
Pulau Garam | 1 September 2013
Posting Komentar