suasana di pasar 17 Agustus di Pamekasan. Pasar ini satu salah pasar yang lumayan rapi ditata. foto: dokumen pribadi
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bapak Bupati yang terhormat, mohon maaf jika surat ini mengganggu bapak. Kami ngebet sekali menulis surat terbuka ini karena dipicu oleh bawahan bapak, tepatnya Kabid Pendapatan Dinas Pendapatan, Keuangan dan Pengolalaan Aset Daerah (DPPKA), Imam Sukandi. Pernyataannya tentang pasar tradisional sebagaimana dilansir Koran Madura (16/3/ 2015) bagi kami sangat tidak bijak. Kami mengelus dada. Beginikah mindset birokrat kita? Jangan-jangan karena mindset seperti ini, impian bapak merevitalisasi pasar-pasar tradisional seperti janji bapak dulu tidak kunjung tiba?
Soal menurunnya jumlah pengunjung pasar tradisional yang beralih ke pasar modern, seperti swalayan, tak bisa dibantah. Kami sepakat soal itu. Bapak Imam malah memberikan data penting, penurunan jumlah pengunjung pasar tradisional akibat menjamurnya pasar modern sekitar 10-15%.
Tapi yang membuat kami mengelus dada, akar masalah menurunnya pengunjung pasar tradisional justru oleh bapak Imam ditimpakan pada pedagang pasar. Menurut pak Imam, “pelayan di pasar modern ramah, sehingga membuat pengunjung pasar merasa lebih nyaman berbelanja”. Dengan kata lain, pak Imam sebenarnya ingin mengatakan bahwa pedagang pasar tidak/kurang ramah. Inilah yang kemudian ditunjuk oleh pak Imam sebagai salah satu faktor kenapa pengunjung kabur dari pasar tradisional.
Bapak Bupati yang terhormat, mindset seperti ini sebenarnya tidak mengangetkan bagi kami. Umumnya birokrat itu cenderung menyederhanakan masalah. Kalau ada masalah, biasanya rakyat yang ditunjuk sebagai biangnya. Coba bapak perhatikan pernyataan bapak Imam di atas, simpel sekali bukan?
Biar lebih terang-benderang, mari kita uji pernyataan pak Imam di atas. Dari mana pak Imam bisa mengambil kesimpulan bahwa pelayanan pasar modern lebih ramah? Justru kami menemukan sebaliknya, kepura-puraan di pasar modern nyata sekali. Senyum, sapaan, ucapan terimakasih, dsb. yang diperagakan oleh pelayan pasar modern terasa kering. Sapaan yang kami terima bulan lalu dengan sekarang, misalnya, sama. Itu dilakukan secara berulang-ulang dan nyaris tak berubah kepada siapa saja dan kapan saja. Persis mesin bukan? Beginikah yang disebut “ramah” oleh pak Imam?
Belum lagi kalau ada sisa kembalian yang kadang “dirampok”, meski secara halus ditukar dengan permen yang sesungguhnya tidak pembeli kehendaki. Soal ini kami pernah bersitegang dengan kasir swalayan, uang kami 700 rupiah tidak dikembalikan. Ketika dikomplain baru bilang tidak ada kembalian sambil si kasir merengut tanda marah pada kami, seolah mau bilang, “uang 700 rupiah saja dikomplain?”. Akhirnya kami tak bisa menahan diam dan bilang sama si kasir, “maaf ya mbak, mungkin 700 rupiah mbak anggap kecil. Tapi yang membuat saya heran, kenapa swalayan yang kaya seperti ini masih mau mencuri uang 700 rupiah?” Beginikah sikap ramah pelayan pasar modern yang bawahan anda bela bapak Bupati?
Lalu pasar tradisional? Tanpa bermaksud mengatakan sempurna, pasar tradisional adalah salah satu ruang publik yang tersisa, yang ikut merawat manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya menyejarah. Keintiman interaksi dan komunikasi, canda dan gelak tawa, dan kelihaian tawar-menawar hanyalah beberapa kelebihan yang tidak ditemui di pasar modern.
Bapak Bupati yang terhormat, bagi kami menjadi tidak masuk akal jika bawahan bapak menyalahkan para pedagang pasar tradisional. Sudah pasarnya tidak direvitalisasi oleh pemeritah daerah–pada hal retribusi pasar cukup besar bagi pendapatan asli daerah (PAD)—malah disalahkan lagi. Meminjam kearifan lokal Madura, pedagang pasar seperti etapok ekala’ odengnga.
Karena mindset birokrasi masih seperti ini, wajar jika pertumbuhan pasar modern terus meningkat di Sumenep. Bahkan pasar modern merangsek hingga kecamatan, termasuk milik asing. Rupanya pertumbuhan pasar modern salah satunya disebabkan oleh cara pandang yang minor terhadap pasar tradisional. Pada hal, jika mau jujur retribusi yang diperoeh pasar setiap hari pasti lebih pajak ketimbang yang dikenakan pada pasar modern.
Belum kalau mau kita jujur, pasar tradisional itu adalah jantung perekonomian rakyat. Sayang, bawahan bapak tidak memiliki keberpihakan yang jelas. Meski di media bilang bahwa sudah melakukan revitalisasi pasar tradisional –misalnya pavingisasi—tapi nyatanya banyak pasar di Sumenep yang becek dan kumuh. Tak usah di pelosok pedesaan, di Pasar Anom Sumenep saja masih semrawut penataannya.
Seandainya kami menjadi bapak, kami akan memanggil bapak Imam. Kami akan ajak dia diskusi tentang pernyataannya. Kalau perlu, kami akan menegur dia untuk tidak menyepelekan pasar tradisional.
Terakhir, sekali lagi kami mohon maaf kepada bapak Bupati. Tak ada maksud kami merecoki kegiatan bapak yang sudah demikian padat. Kami hanya menginginkan satu hal, nasib pasar tradisional sejatinya diperhatikan secara sungguh-sungguh.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga surat terbuka ada manfaatnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Sumenep, 23 Maret 2015
Matorsakalangkong
Posted by rampak naong
-
-
Posting Komentar