Kertascoretanku.wordpress.com |
Di tengah sesaknya garam yang mengasini imagi kemaduran, adakah tempat untuk secangkir kopi di Madura?
Jangan keliru. Meski Madura bukan penghasil kopi, tapi kopi telah menghitami tradisi madura. Selama berabad-abad, kopi telah menyambungkan jiwa dan raga orang Madura. Mewujud dalam ruang yang sangat sederhana: di langgar, mushalla, atau di meja-meja di beranda dimana sanak saudara dan tamu diterima oleh hitam pekatnya secangkir kopi.
Di acara resmi seperti pernikahan sekali pun minumannya juga kopi. Tentu perisitiwa ini bisa disaksikan di desa, lokus yang setia merawat tradisi Madura. Di kota karena kehidupannya serba instan suguhan minuman sudah diganti minuman kemasan. Bukan sekedar urusan agama, dalam urusan minuman pun orang kota ternyata tak kalah puritannya.
Jika ada kopi siapapun tentu malas untuk segera pergi. Secangkir kopi akan membuka ruang-ruang obrolan dan wacana datang silih-berganti. Dan penikmat kopi akan menghadirkan informasi hangat sehangat kopi. Soal-soal berat dan ringan diperbincangkan dalam bahasa pinggiran, bahasa keseharian rakyat.
Jangan kaget, jika misalnya kebijakan pejabat publik digugat. Orang-orang yang selama ini berada di pinggiran, balik menjadi subyek. Seandainya pejabat publik hadir, obrolan orang pinggiran akan menampar, menyayat, dan menguliti kebijakannya. Ternyata orang pinggiran pinter menggoreng isu, membolak-balik, bahkan membiarkan gosong. Semua itu, salah satunya karena kopi yang mengikat banyak orang setia bercengkerama dan berbagi gagasan.
Sebagai pulau penghasil tembakau, rokok menjadi teman setia kopi. Tetapi rokok seolah tak memiliki makna apa pun, tanpa kopi. Sebuah pantun begitu populer di Madura, "bhede songkok bhede kalambhi, bhede rokok bhede kobhi" (ada songkok ada kalambhi (baju), ada rokok ada kopi). Sering ketika dalam pertemuan muncul goyunan satir terhadap tuan rumah, "bhede songko' keng tadha' kalambhina" (sayang ada rokok cuma tak ada kopinya), maka buru-buru tuan rumah meracikkannya kopi.
Begitu menyatunya kopi dalam tradisi orang Madura, kopi bahkan merasuk menjadi etika pergaulan terutama dalam menerima tamu. Pembicaraan penting tak akan dimulai sebelum kopi disuguhkan oleh tuan rumah. "Laon gallu ja' molae parembhaganna, ngantos kobhi gallu" (sebentar, jangan mulai pembicaraan kita, nunggu kopi dulu), begitu ucap si tuan rumah. Karena bagi orang Madura sebelum meminum kopi "dunnya ta' terrang " (dunia gelap gulita), jadi dunia pikiran pun tidak terang.
Problem etik kembali muncul jika tuan rumah tak mampu menyuguhkan kopi kepada tamunya. Tuan rumah akan merasa bersalah, karena kopi telah menjadi minuman resmi bagi para tamu. Maka tuan rumah buru-buru akan bilang, "maaf bhedena gun aeng" (maaf yang ada cuma "air"). Meski teh yang disuguhkan, orang Madura tetap akan bilang "air". Hal itu sejenis pemakluman bahwa yang disuguhkan bukan kopi.
Di desa-desa yang disuguhkan bukan kopi instan. Orang Madura menyangrai sendiri biji kopi kemudian menumbuknya sendiri. Biji kopi itu tidak selalu dibeli, kadang merupakan kiriman atau oleh-oleh dari sanak famili yang tinggal di Jember, Banyuwangi, Bondowoso, dan Situbondo. Oleh-oleh itu tidak hanya kopi, tapi lengkap dengan gulanya. Di sini kopi ternyata mampu mendekatkan ikatan kekeluargaan antara orang Madura "negeri" yang tinggal di pulau Madura dan Madura "swasta" yang tinggal di luar Madura. Kopi ternyata mampu merekat daerah tapal kuda, di samping juga rekatan kultural sebagai sesama etnis Madura.
Di sinilah permohonan maaf orang Madura untuk secangkir kopi menemukan maknanya, melampaui kopi itu sendiri. Dalam kopi ada citra penghormatan, keakraban, dan gelora untuk sekedar saling bercengkerama, mendialogkan kekonyolan hidup, termasuk menertawakan diri sendiri. Di titik ini, kopi terkadang menampilkan dua wajah kita, lebih manis atau juga lebih pahit dari hidup itu sendiri.
Matorsakalangkong
Pulau Garam l 29 Juni 2016
Posting Komentar