Saya sering mendengar sebutan "sok paling NU", sok paling Aswaja, sok paling NKRI" yang dialamatkan kepada nahdliyin yang mencoba mendudukkan NU pada khittahnya. Stigma sok ini ingin mendelegitimasi nahdliyin yang mencoba menjadi NU total. Dengan kata lain, stigma sok ini nyasar pada totalitas berNU yang justru dijungkirkanbalikkan maknanya oleh outsider sebagai sikap sombong. Luar biasa stigma ini. Dimainkan untuk membungkam.
Sok berarti mau menang sendiri, merasa paling benar, tak mau mengakui kebenaran lain di luar dirinya. Itu kira-kira pesan yang dikirim outsider atau 1/2 outsider kepada warga nahdliyin yang total berNU. Saya tak sempat buka kamus untuk mengetahui makna sok, cuma yang saya tangkap kira-kira begitu maksudnya.
Dengar stigma ini saya jadi mau tertawa. Bagaimana mungkin nahdliyin dibilang sok hanya karena garang membela NU yang dicatut, dipojokkan, dilecehkan, dsb, sesuai kehendak outsider? Bagaimana mungkin dianggap sok ketika nahdliyin mengajukan wacana tanding atas NU yang diplintir namanya, organisasinya, dan pengurusnya untuk kepentingan outsider?
Tentu jika mau jujur pasti akan jawab tidak. Ibarat seorang pemilik rumah yang garang kepada orang yang meloncati pagarnya, kemudian peloncat pagar menyebut pemilik rumah sok? Begitu? Ya, tidak dung. Ini menyangkut haybah organisasi.
Sekali lagi ini bukan soal sok atau tidak. Ini adalah soal NU yang begitu mudahnya dipreteli, diserang, dan dipojokkan. Jika warga nahdliyin sangat berapi-rapi membelanya ya wajar dong. Karena ini bagian dari ikhtiar berNU sebagaimana dawuh kyai Hasyim Asy'ari, "masuklah ke dalam NU dengan penuh cinta dan kasih.........lahir bathin, bi arwaahin wa ajsaadin".
Kedua, sok paling Aswaja. Setahu saya, orang nu beraswaja tidak sampai mengatakan di luar nu bukan aswaja. Silahkan klaim aswaja itu. Tetapi satu yang perlu diketahui, bahwa sejak dulu NU lah yang memiliki brand itu di saat ormas lain tidak menggunakannya.
Baru belakangan kelompok lain menjadikan Aswaja jadi brandnya, misalnya seperti Laskar Ahlussunnah Waljamaahnya Ja'far thalib umar yang dulu ikut memperkeruh kerusuhan poso. Makanya kemudian NU menambahkan "annahdliyah" di belakang aswaja untuk membedakan dengan aswaja yang lain. Jadi tak ada dalam pandangan bahwa aswaja hanya milik NU, cuma Aswaja di luar NU tidak sama dengan Aswaja annahdliyah. Kecuali bagi kelompok-kelompok yang secara doktrin memang tidak sesuai dengan ciri Aswaja, ya NU tegas. Tetapi tegasnya NU tidak sampai mengkafirkan.
Soal penambahan annahdliyah di belakang aswaja itu akan dipahami jika ditempatkan dalam konteks historis dan sosial-budaya masyarakat Indonesia, dimana Islam menemukan pijakannya yang khas. Salah satunya misalnya tentang penerimaan terhadap pancasila dan keputusan bahwa NKRI final. Atau tentang trilogi ukhuwah; ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariah. Ini yang membedakan aswaja annahdliyah dengan aswaja lainnya, termasuk di negara lain sekalipun.
Jadi, tak ada monopoli tafsir aswaja di sini. Silahkan tafsiri sendiri atau klaim aswaja itu. Cuma ya dimaklumi, aswaja kami dibubuhi tambahan "annahdliyah" di belakangnya. Ini bukan dimaksudkan untuk menutup diri atau ekslusif, tetapi untuk menegaskan bahwa aswaja yang sudah demikian cair maknanya perlu dikentalkan lagi oleh kami dengan kata "annahdliyah", setidaknya kental buat kami tentunya.
Yang terakhir soal "sok paling NKRI". Jawaban atas ledekan ini juga butuh panjang. Tetapi kalau dipersingkat, NU, meski tak tercatat dalam sejarah resmi yang diajarkan di bangku-bangku sekolah, memberikan saham yang besar bagi tegaknya bangsa ini. Sejak dulu, NU selalu pasang badan dalam mempertahankan bangsa ini. Mulai masa kolonialisme, era transisi kemerdekaan, era Pak Karno, era Orde Baru Pak Harto (meski dipinggirkan), hingga era reformasi bahkan hingga sekarang. Kalau kita baca perjalanan NU, suaranya sama : bangsa ini terlalu mahal untuk dirobohkan.
Jika NU selalu berada di depan ketika bangsa ini sedang menghadapi masalah kebangsaan, tentu harus dilihat dari sejarahnya, ya NU memang begitu. Bagi NU, bangsa ini adalah tenunan indah dimana Islam bisa bersenyawa dengan peradaban Nusantara. Maka lahirlan Pancasila yang membingkai keanekaragaman yang indah. Ini tidak sekali jadi, tapi tenunannya membentang sejak Islam hadir ke Nusantara sejak abad ke 7 dan menemukan puncaknya pada abad 13/14 di tangan para wali songo. Makanya para wali songo dan para ulama setelahnya dijadikan sanad keilmuan, perjuangan, dan harakahnya oleh NU. Di atas sanad inilah NU berjejak, termasuk kegarangannya membela bangsa ini.
Betul bahwa bangsa ini sudah sedemikian akut masalahnya. Di samping banyak gerakan keagamaan yang tak ramah budaya bermunculan, kekayaan bangsa terkeruk habis oleh sistem kapitalisme sebagai anak kandung kolonialisme. Harapan kita, NU ke depan juga wajib garang dan pasang badan terhadap sistem dan ideologi yang rakus dan mencekik rakyat kecil ini. Dengan demikian, "NKRI harga mati" akan makin bergairah dan menyegarkan. Semoga.
Pulau Garam I 19 Juli 2017
Posting Komentar