Posted by rampak naong - -

Di sumenep Madura
Di sebuah desa kecil
yang tidak lagi tenang

Dulu kita memaknai jalan (raya) sebagai “sarana transportasi”. Infrastruktur yang sengaja dibangun untuk melancarkan kebutuhan kita terhadap barang dan jasa. Ini perspektif ekonominya.

Atau jalan dibangun untuk menghubungkan berbagai wilayah. Menciptakan akses bagi orang untuk bergerak secara nyaman dari satu ruang ke ruang yang lain. Dari satu wilayah ke wilayah lain. Isolasi menjadi tersingkap. Karena dengan jalan orang bertemu dalam satu jalinan kebudayaan yang rumit. Ada gesekan, dialog, saling tolak , benturan, negosiasi, atau konsensus.

Bahkan di jalan, batas kematian dan kehidupan sangat tipis. Berangkat dari rumah wajah ceria dan tak ada tanda kematian. Sesampainya di jalan nyawa meregang akibat tabrakan. Mungkin, setiap hari ratusan bahkan ribuan orang yang mati di jalan. Maklum, bangsa kita termasuk bangsa yang bebal. Bangsa yang suka ”menerabas”. Bangsa yang tidak mau disiplin.

Jalan tentu saja tidak netral. Jalan adalah arena yang sesungguhnya dimana kekuasaan mengukuhkan, menggelar, dan memain-mainkan kepentingannya. Jika Anda jalan kaki, hati-hatilah karena banyak motor mengintai keselamatan Anda. Jika Anda naik motor, hatilah-hatilah karena banyak kendaraan roda empat siap merebut jalan Anda. Singkatnya,semakin besar kendaraan yang digunakan, semakin besar pula kekuasaan terhadap jalan itu.

Demontrasi yang berkeinginan mendeligitamasi kekuasaan (dan membayangkan legitimasi kekuasaan baru) seringkali merebut dan memblokir jalan. Tetapi status quo melalui aparat pemaksanya (polisi dan tentara) seringkali melakukan kekerasan untuk ”menormalkan” kembali jalan itu. Di sini jalan begitu menakutkan (ingat kasus trisakti dan semanggi). Karena fungsi jalan telah melampaui pemaknaan konvensionalnya, (bukan) sebatas sarana transportasi.

Jalan tidak selalu garang . Meski tetap sebagai arena kekuasaan digelar, jalan terus dipercantik (maaf bagi perempuan, saya tak menemukan kata lagi). Segenap tanda dijajakan. Baliho, sticker, dan spanduk (produk ekonomi dan politik) saling jejal, saling tabrak, dan saling bentur. Sama kerasnya dengan tabrakan, benturan, dan gesekan kendaraan bermotor. Bagi yang tidak hati-hati (baca: kritis) di jalan akan menuai ”celaka”. Kecelakaan yang parah, karena langsung menabrak kesadaran. Yaitu terlucutinya kesadaran kritis kita untuk menangkap kepentingan di balik semua tanda yang digelar.
***
Daerah saya, Sumenep, sebentar lagi –Juni tahun ini— akan menggelar pilkada. Suhu politik menjelang pilkada mulai meninggi. Isu, citra, tanda atau simbol sudah mulai digelar. Semua dilakukan untuk merebut suara rakyat.

Pertarungan politik tidak melulu terjadi di ruang-ruang formal. Tidak pula di lembaga-lembaga formal. Jalan menjadi arena pertarungan politik yang tidak kalah pentingnya. Jalan raya telah menjadi alternatif para kandidat cabup/cawabup untuk mengenalkan dan mencitrakan diri di hadapan publik.

Sama dengan daerah lain, saat ini jalan di sumenep sudah dijejali baliho, sticker, dan spanduk (bakal) cabup-cawabup. Tak peduli, apakah sebelumnya mereka dikenal atau tidak, pemasangan baliho, sticker, dan spanduk diyakini akan menjadikan mereka (lebih) dikenal.

Para (bakal) cabup/cawabup dengan cerdas memanfaatkan situasi masyarakat saat ini yang ketagihan citra (image addiction). Sadar terhadap ini, (bakal) cabup/cawabup menampilkan diri dalam wujud citra yang gagah dan superheroik. Apalagi akan dipajang di. Mulai sejak memilih foto, ukuran, warna dan lay out (baliho, sticker, dan spanduk), pengalaman kerja/organisasi, motto yang menggambarkan visi dan missi, dipilih yang memungkinkan sang (bakal) calon mencitrakan diri sebagai ”pelayan rakyat”.

Melewati jalan raya saat menjadi ”berbeda”. Di samping kanan-kiri jalan, berjejer baliho besar. Warna-warni. Semua menawarkan citra. Karena inilah yang hanya bisa dilakukan calon. Utamanya calon yang tidak memiliki rekam jejak melayani rakyat. Karena pilkada , mereka baru sibuk mau mencitrakan diri sebagai orang yang (tiba-tiba) ikut memikirkan rakyat. Dalam citra, batas-batas kebohongan-kejujuran, pahlawan-penghianat, asli-palsu, mimpi-nyata semua lebur meleleh.

Inilah yang saya maksud jalan sudah tidak memadai lagi dimaknai dalam arti konvensionalnya, sebagai sarana transportasi. Jalan menjadi tempat relasi kuasa berlangsung. Dalam kadar tertentu, bisa disimpulkan, menguasai jalan menjadi jalan menuju kekuasaan. Bisa dipahami jika semua bakal calon sangat memerhitungkan jalan raya. Tak peduli, berapapun harganya. Mungkin dalam pilkada setingkat kabupaten dibutuhkan ratusan juta, hanya untuk menguasai jalan.

Saya berterimakasih kepada para calon yang telah mengeluarkan uang banyak untuk mempercantik jalan. Membuat suasana jalan lebih berwarna. Terasa hidup. Tapi memilih Anda hanya karena tampil gagah dalam baliho di jalan, itu kecelakaan bagi saya. Tentu saja saya bodoh jika Sumenep yang saya cintai saya amanahkan kepada orang yang kemaruk citra. Saya akan buru rekam jejak Anda. Hanya dengan begitu saya bisa menguji citra yang Anda bangun dengan Anda yang nyata. Jangan lupa, jika Anda kalah silahkan turunkan baliho-baliho Anda sendiri. Karena saya yakin, Tim sukses Anda akan lari. Meski Anda kalah, toh mereka sukses memeloroti uang Anda.