Selama hampir 11 tahun saya mengabdi di pesantren sebagai guru Madrasah Aliyah, saya mengamati perubahan luar biasa pada santri. Etos belajar mengalami penurunan hingga titik nadir. Mayoritas siswa malas belajar. Tak ada motivasi. Sepertinya mereka menjalani pendidikan sebagai kegiatan rutin bersekolah. Di luar tak ada minat untuk mengembangkan dan mendalami keilmuan lagi. Kegiatan mereka tergantikan kegiatan yang banal, terutama yang terkait dengan gaya hidup remaja.
Ketika curhat pada guru sekolah-sekolah “umum”, ternyata kondisinya sama. Di sekolah umum –negeri atau swasta—melemahnya etos belajar tak kalah parahnya. Masalahnya sama. Kaum muda saat ini lebih tertarik pada hal-hal banal, terutama terkait dengan gaya hidup.
Untuk memastikan kegundahan saya –hawatir hanya terjadi di tempat saya mengabdi—saya bertanya pada kawan-kawan yang kuliah di Surabaya, Malang, Yogyakarta, dan Jakarta. Jawabannya sama. Mahasiswa saat ini disibukkan oleh urusan banal. Tradisi kajian dan diskusi mati. Organisasi mahasiswa, kalaupun hidup, disibukkan kegiatan ”politik praktis” berjangka pendek. Misalnya, menerima pesanan demo dari elit politik.
Belum lagi di sekitar kampus telah berdiri mall-mall, cafe, diskotik, dan banyak infarastruktur lainnya yang merangsang syahwat gaya hidup terus berputar. Sementara di dalam kampus sendiri, ruang-ruang publik untuk sekedar diskusi lesehan diganti dengan tanaman gedung yang penuh sesak. Meski mentereng tapi tampil dengan wajah tidak manusiawi karena praktis kurang memiliki fungsi sosial.
Flash Back
Sangat berbeda ketika saya belajar di madrasah dulu, sangat menyenangkan. Tradisi belajar –bukan hanya tradisi sekolah—benar-benar hidup. Menggairahkan. Di luar sekolah, banyak sekali kegiatan berdasar minat dan hobby. Mereka menghimpun diri dalam kelompok belajar. Setiap minggu secara bergiliran, kegiatan itu pindah dari rumah ke rumah. Jarak antar rumah anggota kelompok belajar ini juga tidak semua dekat. Saya bersama teman-teman harus menempuh 14 km pulang pergi dengan mengendarai sepeda ontel, ketika kelompok belajar ditaruh di rumahb teman yang jauh.
Tetapi itulah nikmatnya. Di jalan suasana tak kalah menariknya. Saya bersama teman-teman kadang-kadang balapan. Atau adu keahlian mengendarai sepeda di pematang sawah yang sempit. Tak jarang tantangan seperti itu harus ditebus dengan jatuh, termasuk ke dalam parit di sisi sawah.
Sebelum saya malah lebih ”dramatis”. Seperti yang dialami kiai saya, beliau meski sudah punya anak, masih belajar mendalami kitab kuning kepada kiai yang jauhnya lebih dari 80 km pulang pergi. Ini juga ditempuh dengan sepeda ontel. Jalannya tidak datar. Menempuhnya harus melalui jalan naik-turun. Itu pun jalan tidak sebagus seperti sekarang. Sebagian besar mungkin tidak beraspal. Tetapi semangat mencari ilmu mengalahkan hambatan apa pun. Semangat menjadi pembelajar sepanjang hayat menggelegak tak mati-mati. Semangat ini di pesantren dikenal dengan istilah SANTRI KELANA.
Seandainya saya bisa menarasikan kisah-kisah di atas, mungkin, tidak akan kalah dengan LASKAR PELANGI, novel bagus yang sangat inspiratif dan best seller itu. Sayang, saya tidak memiliki kemampuan seperti Andrea Hirata.
Sedikit tentang santri kelana. Istilah ini merujuk kepada santri yang mengembara mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Dari satu kiai ke kiai lain. Biasanya si santri ketika dianggap cukup ilmunya oleh kiainya, ia direkomendasikan untuk melanjutkan ke kiai/pesantren lain untuk mendalami lagi, atau mengambil spesialisasi keilmuan lainnya. Tugas belajar ini dilakukan selama bertahun-tahun, tergantung kemampuan si santri.
Satu hal yang menjadi karakter dari santri kelana, HAUS ILMU. Ia tidak pernah puas belajar. Semakin seseorang tahu, semakin bodoh. Makanya meski si santri kata orang alim, ia tetap tawadhu’. Ibarat padi, semakin berisi semakin menunduk.
Tradisi santri kelana dahulu berkembang karena pendidikan tidak dirancang demikian formal seperti sekarang. Sehingga keunikan dan keberagaman tiap pesantren terpelihara. Berbeda dengan sekarang, ketika sistem klasikal model madrasah masuk ke pesantren, ketika itu juga seluruh pesantren seragam. Apalagi kurikulum yang dipakai di pesantren lebih didasarkan kepentingan luar (negara), semakin tamatlah keunikan pesantren sendiri.
Menimba Spirit Santri Kelana
Tradisi santri kelana saat ini memang habis. Akar masalahnya bukan sekedar turunnya etos belajar santri. Tetapi desakan kepentingan luar terhadap pesantren demikian kuat. Sehingga pesantren perlu meresponnya, meski respon ini tidak selalu tepat.
Salah satu desakan luar terhadap pesantren adalah kebijakan negara terkait dengan kurikulum yang harus seragam. Kebijakan ini mengakibatkan keunikan tiap pesantren seperti dahulu tidak lagi bisa dipertahankan. Akibatnya santri kelana mulai mati. Toh mau nyantri dimana saja, kurikulumnya sama.
Meski secara harfiah santri kelana mati, tetapi santri sekarang bisa menimba spiritnya. Kehausan santri dahulu terhadap ilmu perlu diambil spiritnya. Ditimba rohnya. Salah satunya dengan membangun semangat belajar, bukan sekedar semangat bersekolah. Mengembangkan tradisi belajar, bukan semata tradisi sekolah.
Saat ini fasilitas untuk terus mengembangkan tradisi belajar sudah berlimpah. Fasilitas sekolah semakin lengkap. Perpustakaan dan rumah baca miningkat jumlahnya. Di samping internet yang memungkinkan seseorang bisa mempelajari seribu satu hal, jika digunakan secara cerdas dan bijak.
Memang, di tengah melimpahnya sumber pembelajaran ada godaan besar yaitu cara berfikir dan berprilaku serba instant. Termasuk juga terperangkap dalam gaya hidup banal yang bisa mematikan nalar dan memerangkap orang dalam kemalasan. Tetapi yakinlah adik-adikku, hal itu bisa dilawan. Karena adik-adik bukan kapas yang bisa diterbangkan begitu saja oleh angin. Adik-adik bukan busa lautan, yang bisa begitu saja diterjang oleh ombak. Adik-adik pasti bisa menjadi pribadi kuat dan berkarakter, yang bisa menepis kesesaatan dan berpikir jangka pendek. Berakit-berakit dahulu. Bersakit-sakit dahulu. Nanti adik-adik sendiri yang akan memanen hasilnya.
Mari kita timba spirit santri kelana dengan mengembangkan tradisi belajar. Haus ilmu. Dan nikmati keasyikan berkelana di jagat raya pengetahuan. Untuk masa depan yang lebih baik. Buat diri sendiri dan orang lain dalam keajekkan (istiqamah) di jalan-Nya. Selamat mengembara. Selamat berkelana. Jangan menyerah, adik-adikku.
4 Responses so far.
ajib...ajib....saya jadi haus...
haus ajib ya..?
Menarik, sebuah refleksi (saya kira) bagi kaum muda sekarang yang memang (termasuk saya sendiri) etos belajarnya sudah mulai memudar (atau bahkan sudah pudar sama sekali). yang saya lihat sekarang, kaum muda lebih suka berpikir praksis hingga lupa (atau pura-pura lupa) dengan jati diri dan tugas utamanya, alhasil, bukannya terbentuk seorang pemuda masa depan bangsa, malah menjadi pemuda perusk bangsa. saya ingat dengan perkataan Ir. Soekarno tentang pentingnya peran pemuda. "beri aku 10 pemuda, maka akan aku ubah Indonesia". pemuda yang dimasudkan presiden I indonesia itu bukanlah sembarangan pemuda, tapi pemuda yang punya semangat tinggi dan action (tidak hanya konsep). lalu, masih adakah 10 pemuda seperti yang digambarkan beliau pada saat sekarang ini? sebuah tanda tanya besar untuk kita semua.makasih man atas refleksinya.... mohon doanya, moga adek-adek pean yang merantau bisa mewujudkan cita-cita luhur para pendahulu kita.
makasih ya pang..moga sukses
Posting Komentar