Posted by rampak naong - -

Di bulan ini masyarakat Indonesia memiliki dua peristiwa penting. Penyelenggaraan UN (Ujian Nasional) (22/3) dan Muktamar NU (Nahdlatul Ulama) yang ke 32 (23/3) di Makassar. Dua gawe besar ini sama-sama menarik perhatian masyarakat Indonesia. Penyelenggaraan UN kembali menjadi pro-kontra paska putusan MA. Sementara Muktamar NU banyak yang berharap bisa menghasilkan keputusan yang maikn mengukuhkan NU sebagai pengawal identitas kebangsaan, menyapih NU dari politik praktis, dan kembali kepada basisnya 

Pro Kontra UN

Pro-kontra UN muncul kembali setelah putusan MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah. Inti amar putusan MA menyatakan bahwa UN harus dikaji ulang karena banyak hal yang belum sepenuhnya dipenuhi oleh pemerintah. Sebut saja kesenjangan sarana dan prasarana antar sekolah di kota dan di desa. Disparitas sumber daya manusia (guru) antar-daerah, dan seterusnya.

Sebenarnya sudah sejak lama penyelenggaraan UN –sebagai penentu kelulusan—menuai kritik dari para ahli pendidikan, guru, orangtua, dan siswa sendiri. Dasar munculnya kritik ini bukan berangkat dari ruang kosong. Banyak fakta telanjang yang menjadi dasar kuatnya desakan agar UN segera dihapus. Pertama, UN telah mengangkangi UU pendidikan nasional yang memberi otonomi kepada lembaga pendidikan untuk berkreasi. Evaluasi yang didesain secara sentralistik sebenarnya telah menikam semangat UU pendidikan nasional itu sendiri.

Kedua, UN terjebak pada perangkap evaluasi instant. Proses pendidikan yang dengan berdarah-darah dan penuh keringat dijalankan selama 3 tahun, diperpendek menjadi 5 hari. Proses yang demikian panjang dibangun, dalam hitungan hari harus hancur. Fakta ini semakin mengukuhkan pribadi elit yang suka ”nerobos”. Lebih menghargai hasil dari pada proses.

Bayangkan, para siswa yang masih muda sudah diajari oleh para elitnya falsafah ”suka nerobos”, suka ”memerpendek”, dan ”lebih menghargai hasil”. Jadi, tak perlu disalahkan jika siswa juga ”makan buah terlarang”. Nyontek, dapat bocoran dari guru, dan praktik tidak sehat lainnya diaggap biasa. Saya melihatnya fakta ini sebagai ”akibat” ketimbang ”sebab”.

Ketiga, evaluasi yang sentralistik dan seragam telah menyederai keragaman dan keunikan masing-masing lembaga pendidikan. KTSP yang diharapkan bisa mengakomodasi lingkungan sosial-budaya dimana lembaga pendidikan berada, kembali tercerai-berai. Semangat KTSP sebenarnya cukup bagus untuk mengembalikan keragaman dan keunikan pendidikan yang diberangus oleh Orde Baru. Tapi akhirnya rontok juga oleh ”penerus Orde Baru”.

Keempat, sekolah sekarang tak ubahnya seperti lembaga kursus. Setiap hari siswa dilatih menjawab soal. Pengembangan karakter dan kepribadian harus dibuang jauh-jauh. Pendidikan sudah difinalkan menjadi ”transfer of knowledge” dalam pengertian yang paling sumir, MENJAWAB SOAL. inilah fakta yang saya yakini tidak diketahui oleh para birokrat pendidikan. Mereka tidak mengalami. Kebijakan yang mereka pertahankan matian-matian justru menikam jantung pendidikan. Mematikan.

Kelima, UN betul bikin stress siswa. Pengakuan siswa, baru naik ke kelas XII yang muncul dalam pikiran mereka adalah UN. Akibatnya mereka kurang apresiatif terhadap pelajaran yang tidak di-UN-kan. Guru-guru pun banyak yang mengeluh. Kurang bergairah menunaikan tugas. Stress terus meningkat seiring waktu UN kian dekat. Siswa semakin tidak tertarik terhadap pelajaran yang tidak di-UN-kan.

Atas dasar di atas –dan bisa ditambah—banyak orang menginginkan UN dikubur saja. UN diakhiri. Tak ada guna mempertahankan UN yang menghabiskan lebih dari 600 milyar untuk tingkat MA/SMA/SMK saja. Alasan untuk mengendalikan dan meningkatkan mutu sulit dicapai. Masih banyak jalan lain.

NU yang meneNtUkan

Berbeda dengan UN, penyelengaraan muktamar NU ditunggu-tunggu. Tidak saja oleh jamaahnya tetapi juga oleh bangsa Indonesia.

Dalam konteks jihad kebangsaan, NU tak ada mati-matinya. Sejak era penjajahan fisik sampai perang ideologi seperti sekarang, NU selalu tampil paling depan dalam memperjuangkan NKRI. NU –dalam muktamar 1984 di Situbondo—sudah menganggap NKRI final. Tak ada keinginan untuk merubah bentuk negara yang belakangan kembali gencar disuarakan oleh Islam agresif seperti HTI, MMI, dan kelompok Islam agresif lainnya. Meminjam istilah mbah Muchit Muzadi, menjadi NU ya menjadi Indonesia.

Tetapi tantanan kebangsaan sekarang ini sangat berat. Gerakan Islam agresif mengepung dari segala penjuru. Bahkan saat ini sudah ”merangsek ” hingga bagian terdalam rumah kita. Banyak masjid NU dan bahkan pesantren sudah dikuasi.

Pola gerakan Islam agresif ini sangat rapi. Terorganisir. Satu komando. Membangun sel-sel gerakan yang menyebar secara cepat. Gigih. Solid. Underground. Terkadang tanpa kita sadari, sudah ada di dekat kita. Dan kita baru terjaga ketika anggota keluarga, tetangga, sahabat, bahkan mungkin guru kita ”kena”. Tidak cukup orang, tetapi lembaga masjid, bahkan pesantren juga sudah mereka susupi.

NU di Makasar harus menyikapi serius. Tidak cukup mengampanyekan Islam rahmat lil alamin ke dunia internasional melalui ICIS. Tetapi diperlukan rancang bangun yang sistematis bagaimana menyosialisasikan aswaja sampai tingkat basis. Halaqah-halaqah aswaja perlu mendapat perhatian serius untuk dilakukan oleh semua lembaga dan banom di semua tingkatan. Ini harus dilakukan secara konsisten, sistematis dan berkelanjutan.

Permasalahan lain, NU harus segera disapih dari kepentingan politik praktis. Pengalaman di bawah kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi, NU mengalami proses politisasi yang akut. Tampilnya KH. Muzadi sebagai calon Wapres Megawati tahun 2004, dan dukungan secara terbuka terhadap JK-Wiranto dalam pilres 2009 serta Khafifah dalam pilgub Jatim, menambah runyam NU.

Bukan saja karena khittah telah disandera dan dikebiri maknanya. Justru semua calon yang didukung NU mengalami kekalahan. Sehingga ada guyonan, jika mau kalah silahkan ”minta dukungan” kepada NU.

Menyapih NU dari kepentingan politik praktis, bukan berarti NU harus abai terhadap politik. Politik kerakyatan dan politik kebangsaan harus tetap dimainkan NU. Karena itu kode etik bagaimana menjamin NU tidak terjebak pada politik praktis di satu sisi, dan tetap memainkan politik kerakyatan dan kebangsaan di sisi lain, harus segera clear. Khittah barangkali perlu diterjemahkan secara lebih operasional. Hal ini untuk mengikat pengurus NU di semua tingkatan agar NU tidak dibawa pengurusnya dalam ranah politik praktis

Terakhir, NU harus segera kembali ke basis. Pertama-tama NU perlu menyambungkan program yang dirumuskan dengan kebutuhan riil warga NU. Bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang menjadi kebutuhan riil warga NU harus menjadi perhatian serius dari NU.

Untuk mewujudkan itu dibutuhkan penguatan kapasitas kelembagaan (capacity building) NU di semua tingkatan. Lebih-lebih di tingkat ranting, sebagai lembaga yang paling dekat dengan basis. Saya membayangkan ada ”gerakan penguatan ranting secara nasional” sebagai peneguh NU akan lebih berkhidmat kepada warganya.

Catatan Akhir

Penyelenggaraan UN dan Muktamar NU di bulan ini sebagai dua peristiwa penting di Indonesia. Sayangnya harapan orang berbeda terhadap UN dan NU. UN sejak lama digugat agar dihapus, sementara NU tetap ditunggu perannya, baik oleh warganya maupun bangsa Indonesia.