Lancarkan KTP di Sumenp
Saya berharap pengkab sumenep mempermudah pengurusan KTP.satucatatan merah yang terjadi di sumenep adalah adanya dugaan kecurigaan dalam pengurusan KTP. untuk KTP yang kilat, biayanya Rp 100 ribu, dua hari selesai. Mudel seperti itu, berdasar keluhan masyarakat tentang keberadaan register di berbagai pelosok desa, menjadikan KTP sebagai proyek kecil-kecilan. Seba, kecurigaan yang mereka lakukan itu merupakan pemerasan kepada masyarakat. Jadi, saya berharab pengkab sumenep bersungguh-sungguh dan bersikap tegas dalam mengantisipasi bermacam prilaku nakal para aparat yang memanfaatkan jasa pengurusan KTP
ERNAWI, Sumenep
(inilah surat pembaca yang dipermasahkan di muat di J P, 19 April 2010)
Pagi hari (26/4), mahasiswa saya datang ke rumah dengan wajah agak berbeda. Tak seperti sebelumnya yang selalu datang dengan penuh semangat untuk sekedar sharing tentang persoalan pendidikan dan ngobrol ngalor-ngidul tentang “keajaiban” republik ini. Mahasiswa saya ini memang unik. Ketika berpendapat selalu berapi-api. Lucu. Memancing tawa. Meski saya lihat dia sebenarnya serius. Memang, melihat wajahnya saja orang mau ketawa. Dia dikarunia kelucuan yang genuin.
Pagi itu tak tampak lagi kelucuannya. Sedikit tegang. Ketika saya tanyakan, ternyata dia kemarin (21/4) memperoleh “musibah”. Dia dijemput oleh 2 orang yang suruhan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sumenep.
Sebelumnya (19/4), dia memang menulis surat pembaca di harian Jawa Pos yang mengeritik pungutan liar pembuatan KTP. Untuk pembuatan KTP kilat (selesai sehari), warga diminta uang sebesar Rp. 100.000. Ini bukan lagi fitnah. Tetapi fakta. Banyak sekali korbannya. jika tidak begitu, bisa dipastikan KTP dalam kurun 6 bulan tidak akan selesai. Malah ada yang lebih dari setahun belum selesai.
Tiba di kantor Dinas Kependudukan dan Catatatan Sipil, dia tidak langsung ditemui oleh Kepala Dinas, tetapi diberi “pengarahan” oleh stafnya. Staf itu menyesalkan kenapa mahasiswa saya menulis surat pembaca di media massa. Akibat tulisan itu, staf kantor menceritakan, kepala dinas sering marah-marah kepada stafnya. Tak seperti biasanya, kepala dinas kadang pulang dari kantor pada jam 5/6 sore. Mahasiswa saya tetap pada pendapatnya, bahwa pungutan itu fakta. “Yang mengalaminya justru saya sendiri, pak. Karena pungutan itulah saya tidak jadi membuat KTP”, jawabnya tegas.
Setelah “diinterogasi” staf kantor, ia kemudian dibawa menghadap Kepala Dinas. Sama. Kepala Dinas tak kalah “galaknya”. Tetapi mahasiswa saya tetap tak bergeming. Karena bertahan, Kepala Dinas kemudian mengancam. Jika ia tidak meralat surat pembacanya di Jawa Pos, ia tidak akan mendapat pelayanan pembuatan KTP seumur hidup. Ancaman tidak cuma datang dari Kepala Dinas, tetapi juga dari Kepala Desa. Korban mengaku diintrogasi kira-kira hampir satu setengah jam, sejak 14.30- 16.00.
Selesai diintrogasi, korban kembali di antar dengan selamat ke tempat tinggalnya. Selamat dalam pengertian sangat fisik, karena secara psikologis ia merasa tertekan akibat ancaman dari Kepala Dinas. Yang lebih miris, hak dia sebagai warga negara tidak selamat. Dilecehkan. Dikibiri justru oleh Kepala Dinas yang seharusnya berkewajiban untuk memberikan pelayanan terbaik kepada warga negara. Apalagi cara-cara yang ditempuh dengan menyuruh staf untuk menjemput ke rumahnya merupakan tindakan yang tidak masuk akal. Mahasiswa saya diperlakukan layaknya “buron” yang digelandang dari rumahnya oleh “polisi swasta”.
Sikap tidak manusiawi Kepala Dinas di atas, bagi saya, bukan semata sikap personal. Tetapi semua ini wujud dari karakter birokrasi di negeri ajaib yang sangat feodalis. Ibarat raja lalim, birokrasi menjalankan kekuasannya dengan tangan besi. Kejam. Dingin. Sombong. Kepada warga sering menebar teror dan ancaman, miminta upeti, memerlakukan seperti budaknya yang seolah harus siap untuk menyokong kekuasaannya. Benar-benar wujud gurita birokrasi yang sadis dan memuakkan.
Sayang Kepala Dinas tadi menganggap remeh. Dikiranya korban akan tinggal diam. Meski saya tahu ia berasal dari keluarga kurang mampu, idealisme tidak pernah surut. Ketika saya tanya, apa langkah ia selanjutnya? Dengan tegas ia jawab : LAWAN. Ah..lagi-lagi mata hati saya di charge justru oleh orang yang didlalimi. Detik itu juga, saya melihat posisi subyek-obyek bergeser. Korban mulia, sementara (aparat) birokrasi yang suka merendahkan justru (yang) “rendah”.
Posting Komentar