Bertempat di aula Kantor NU MWC Gapura, tanggal 4 April yang lalu berlangsung dialog tentang NU bersama Prof. Dr. Kacung Marijan. Dialog ini rangkaian acara konferensi MWC NU Gapura periode 2010-2015. Jauh sebelum hari H, panitia sudah menghubungi saya untuk menjadi moderator. Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan hasil dialog mas Kacung dengan warga NU Gapura. Tetapi pernak-pernik di luar dialog. Atau lebih tepat kesan saya terhadap mas Kacung Marijan.
Malam hari H, panitia mengabarkan bahwa mas Kacung sudah datang di Sumenep. Bersama keluarga –istri dan dua anaknya—mas Kacung bermalam di salah satu hotel yang memang sudah dipesan sebelumnya oleh panitia. Karena jarak Gapura-Sumenep sekitar 15 km, saya tidak menemuinya malam itu. Biarlah mas Kacung istrihat setelah lebih kurang 4-5 jam menempuh perjalanan Surabaya-Sumenep dengan mobil yang dikemudikannya sendiri.
Hari Minggu, sekitar jam 08.00 wib saya sudah tiba di kantor MWC NU yang letaknya memang tak jauh dari rumah saya. Para peserta dialog sudah mulai berdatangan. Saya melihat ada gairah ber-NU di wajah mereka.
Sambil menunggu mas kacung , sekitar jam 09.00 wib acara pra-dialog dimulai. Pra-dialog diisi dengan sambutan. Tak berselang lama mas Kacung tiba. Mas Kacung tidak langsung ke aula, tetapi ngobrol dengan beberapa anak muda di kantor BMT MWC NU Gapura. BMT ini adalah lembaga ekonomi yang didirikan MWC NU Gapura sekitar 5 tahun lalu, yang saat ini sudah memiliki aset lebih dari 1,5 milyar dan lebih dari 1.900 nasabah (tentang ini saya akan menulis di kesempatan lain).
Melihat capaian MWC NU Gapura, saya melihat wajah mas Kacung sangat senang. Seakan ingin mengatakan, inilah best practice pengembangan ekonomi warga NU. Gerakan ekonomi yang muncul dari bawah untuk kemaslahatan masyarakat bawah.
Kedatangan seorang profesor seperti mas Kacung disambut hangat oleh warga NU Gapura. Mas Kacung yang selama ini hanya dikenal melalui TV dan tulisan yang tersebar di media, saat ini hadir berbagi pengetahuan dengan mereka. Tua-muda, laki-laki-perempuan sangat bersemangat menunggu ulasan mas Kacung tentang NU. Apalagi dialog ini dilangsungkan hanya beberapa minggu setelah Muktamar NU di Makassar –yang konon—sangat dramatis.
Saya memiliki kesan tersendiri terhadap mas Kacung. Kesan saya mas Kacung sangat rendah hati. Seorang profesor mau berbagi pengetahuan dan pengalamannya dengan pengurus ranting dan MWC NU. Itu pun ke daerah yang jarak tempuh dari surabaya sekitar 170 km. Tetapi itu disambut oleh pak kacung dengan senang hati. Alasan mas Kacung, kebetulan ia sekeluarga memang ingin tahu Sumenep.
Rendah hati mas Kacung juga terlihat ketika berdialog dengan pengurus ranting dan MWC NU. Mas Kacung menjelaskan dengan sangat gamblang dan sederhana. Saya kira, hal ini bukan sekedar karena pak Kacung –mungkin—sangat paham psikologi komunikasi. Tetapi juga muncul karena sikap rendah hati.
Dalam dialog, mas Kacung memimpikan NU ke depan bisa lebih serius merespon kebutuhan dasar warganya seperti ekonomi, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Tentang penguatan ekonomi, MWC NU Gapura dengan BMT-nya, sudah berhasil. Bahkan ia selaku ketua PW Lakpesdam NU Jawa Timur tidak malu untuk belajar pada MWC NU. Suatu saat ia berjanji akan datang ke MWC NU Gapura lagi, untuk belajar pengalaman dari kesuksesan MWC NU Gapura mengelola BMT. Inilah, menurut mas kacung, keberhasilan gerakan ekonomi yang bertumpu pada prinsip “efesiensi kolektif”.
Tapi, mas Kacung menantang MWC NU Gapura memiliki Balai Kesehatan, misalnya, BKIA (Balai Kesehatan Ibu Anak), yang memang belum dimiliki satupun MWC NU di Sumenep. Bahkan yang menarik, di tengah dialog, mas Kacung mengeluarkan dompet dan mengambil uang, kemudian disumbangkan kepada MWC NU Gapura. Menurutnya, sumbangan itu bukan untuk kegiatan lain, tetapi husus untuk rencana pendirian BKIA. Harapannya ketika ia suatu saat ke Gapura lagi, BKIA sudah berdiri. Meski sedikit, ia berharap sumbangannya bisa mendorong warga NU Gapura untuk juga menyumbang. Pengalaman “efesiensi kolektif” sebagaimana pendirian BMT bisa menjadi modal untuk melakukan hal yang sama dalam pendirian BKIA.
Itulah mas Kacung yang rendah hati. Dialognya telah meberi inspirasi bagi warga NU di bawah. Tidak sekedar memberi inspirasi, tetapi ia juga memberi. Maka tak salah jika mbah Sahal dan Gus Aqil memasukkan mas Kacung dalam kepengurusan PBNU sekarang. Selamat mas Kacung. Kami menunggu kiprah Anda di PBNU.
Posting Komentar