Kunci kebahagian hidup itu adalah ikhlas. Ikhlas adalah nilai yang mendorong tindakan dengan menegasikan kepentingan-kepentingan selain kepada Allah. Tanpa pamrih kecuali mengharap ridla-Nya. Kira-kira ikhlas semacam penghambaan total kepada Allah dan di atas dasar itulah segenap tindakan kita dilakukan. Karena diorientasikan kepada-Nya maka kita terbebaskan. Bahasa gaulnya; PLONG. Satu kebebasan yang “sempurna”, karena terbebaskan dari segenap kepentingan yang tidak memartabatkan manusia itu sendiri.
Salah satu bentuk keikhlasan ditandai oleh kemauan untuk selalu berbagi. Berbagi adalah memberikan yang kita punya untuk sesama. Meyisihkan sesuatu yang kita miliki untuk kepentingan orang lain. Berbagi tidak selalu dalam wujud materi. Berbagi bisa juga diwujudkan melalui pikiran dan tenaga.
Kesediaaan untuk selalu berbagi dalam tradisi pesantren disebut; PENGABDIAN. Pengabdian adalah salah satu nilai altruistik pesantren yang menyangga keberadaan pesantren hingga kini. Mungkin jika pesantren tidak mengenal ikhlas dan pengabdian, keberadaan pesantren tinggal sejarah. Setidaknya roh pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat berbasis agama akan sirna termakan usia.
Inilah yang mendasari pesantren terus menyuburkan nilai altruistik seperti keihklasan dan pengabdian. Di beberapa pesantren malah dilembagakan. Pelembagaan ini dimaksudkan agar nilai keikhlasan dan pengabdian terpola dan menjadi tradisi. Di pesantren NASA (Nasy’atul Muta’allimin) –tempat saya mengabdi— ada Masa Pengabdian Santri (MPS) yang wajib diikuti oleh siswa akhir Madrasah Aliyah.
Tahun ini, misalnya, pesantren NASA menempatkan pengabdian di enam lokasi. Santri yang dibagi enam kelompok “dititip” kepada pengelola lembaga MI/MTs. Di situlah selama satu bulan, santri akhir Madrasah Aliyah belajar berbagi. Mulai membantu pengelolaan administrasi, menjadi asisten guru, melengkapi sarana-prasarana sekolah, mengecat tembok, kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah, memberi kursus, mendampingi siswa mengelola mading, pramuka, hingga terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat sekitar.
Sebelum dilepas, sekolah mengadakan “pembekalan” yang diisi dengan materi-materi yang memungkinkan santri siap melakukan pengabdian. Tidak saja secara psikologis tetapi juga keterampilan merencanakan program, mengajar, mengelola administrasi, membangun komunikasi dengan masyaakat serta membangun team work.
Selama satu bulan hidup live in dengan masyarakat memberikan pengalaman berharga kapada santri. Setidaknya mereka mulai belajar berbagi. Belajar memeraktekkan hadits yang sering mereka dengar di dalam kelas bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya”.
Pengalaman lain yang mereka dapati adalah kekayaan pengetahuan yang mereka temui dalam realitas. Pengetahuan yang melampaui setumpuk teori yang mereka pelajari di dalam kelas, yang tekadang tersekat dengan kenyataan yang ada di luar kelas. Live in bersama masyarakat tentu saja memberi perspektif baru. Menggali pengetahuan yang tak terbatas dengan mempertautkan pengetahuan mereka bagi kepentingan kemanusiaan. Inilah saya pikir pendidikan karakter.
Sungguh tidak mudah bagi santri yang masih berusia remaja dalam melakukan pengabdian. Di saat pengumuman UN, siswa-siswa lain melakukan aksi corat-coret dan konvoi motor, mereka justru menunggu pengumuman di lokasi sambil belajar berbagi dan belajar makna hidup kepada masyarakat. Di saat siswa lain santai menikmati liburan panjang paska ujian, mereka berkeringat-keringat memaknai bagaimana menjadi orang bermanfaat kepada sesama.
Satu bulan live in bersama masyarakat mungkin tidak cukup membentuk karakter ikhlas dan pengabdi. Tetapi setidaknya mereka sudah memulai. Meski ketika mau berangkat mereka seolah mau ditempatkan ke negeri yang asing, tapi ketika masa pengabdian berakhir mereka tidak mau pulang. Saat refleksi saya bertanya kepada salah satu santri, perubahan apakah yang terjadi paska masa pengabdian? Dengan yakin si santri bilang, “SAYA MENJADI LEBIH DEWASA PAK...”.
Posting Komentar