Ini cerita tentang sarung. Seorang Kepala Sekolah Negeri dibuat "gelisah" oleh sarung ketika ia mengunjungi madrasah yang dikelola pesantren. Maklum, para guru Madrasah sampai saat ini masih banyak yang memakai sarung, pakaian yang mereka sebut "demokratis". Tetapi dalam pandangan Kepala Sekolah Negeri itu, sarung diberi makna lain. Sarung dicitrakan sebagai pakaian yang "tidak disiplin", "tidak rapi", karena itu "kurang patut" dibawa mengajar ke dalam ruang kelas.
Begitu subversifkah sarung? Sebagai pakaian, sarung barangkali tak memiliki makna apa pun. Atau—dalam istilah Baso—sarung belum mengundang relasi. Berbeda ketika sarung dikenakan, maka akan muncul permainan makna di situ. Makna sebagai hasil dari kontruksi yang diam-diam me(di)lekat(kan) dalam kepala tanpa pernah kita sadari. Misalnya, orang yang mengenakan sarung dianggap "tidak disiplin", seperti pandangan Kepala Sekolah tadi. Atau "kolot", "primitive", "kampungan" dan seterusnya seperti pandangan kebanyakan masyarakat urban.
Tetapi di tangan pemakainya, sarung menjadi subversive maknanya. Sarung, misalnya, diplesetkan "demokratis" karena memang enak untuk si "anugerah". Tetapi "demokratis" bisa juga bermakna perlawanan terhadap penyeragaman. Penyeragaman atas nama kuasa yang seringkali melakukan perselingkuhan dengan pengetahuan dan kebenaran. Dan itu ditunjukkan oleh guru madrasah yang tetap mengenakan sarung. Suatu bentuk resistensi dari "kaum sarungan" yang selama ini (di)marjinal(kan).
Sampai di sini kita membaca, sarung telah masuk ke arena perebutan makna. Atau lebih tepatnya, ke arena kebudayaan sebagai arena kontestasi (Baso, 2003). Arena yang diperebutkan antara "yang besar" yang selalu ingin mencaplok, dan perlawanan "yang kecil" yang tidak terima dicaplok. Suatu perlawanan yang saya yakini tidak main-main, karena langsung menusuk jantung “yang besar". Apakah yang besar itu bernama negara, kapital, rezim kebenaran dan pengetahuan, rasionalitas (bukankah yang terahir ini selalu dirayakan orang yang (sok) modern?), atau dalam kasus sarung di atas, kepala sekolah negeri.
Nah! Berbicara tentang pendidikan nilai berbasis lokal (saya menyebutnya lokalitas lengkap dengan kearifan lokalnya) perlu menimba energi dari perlawanan sarung. Dalam pengertian ini, lokalitas tidak dimaknai sebagai keteguhan untuk meromantisir masa lalu. Bukan pula mengawetkan tradisi seperti menyimpan keris atau benda-benda kramat lainnya. Apalagi kebudayaan sebagai sebuah komoditas yang diniati ingin dijual kepada para bule.
Lokalitas juga tidak dimaknai seperti gagasan Diknas –yang setengah hati—dengan memasukkan muatan lokal (mulok) ke dalam kurikulum pendidikan. Mulok sekedar obyek dari desain kurikulum (yang di)nasional( kan) yang dibikin pejabat pusat. Atau makna ideologisnya, gagasan mulok sebenarnya merupakan tawanan bagaimana lokalitas bisa "sejalan" dengan "muatan nasional" (munas?). Suatu strategi "membiarkan lokalitas" dalam rangka untuk "mengontrol, mengawasi, dan akhirnya menundukkan".
Lokalitas, bagi saya, harus dimaknai lebih. Lokalitas harus ditempatkan sebagai siasat kebudayaan untuk keluar dari kungkungan "yang besar", yang ingin diberlakukan secara universal. Dalam konteks pendidikan nilai, tentu saja nilai yang hendak diuniversalkan. Suatu nilai yang dirancang "yang besar" dengan kehendak untuk mendominasi dan menguasai. Persoalannya menjadi tidak sederhana, karena pendidikan saat ini masih mengabdi pada kepentingan "yang besar" (terutama kapital(isme), yang dihaluskan oleh pejabat resmi sebagai “pendidikan yang siap pakai”, “pendidikan yang siap kerja”, atau “pendidikan yang siap bersaing”
Logika capital(isme), by design, meniscayakan nilai-nilai yang bisa mengukuhkan cengkeramannya, yaitu nilai-nilai liberal(isme), suatu "ajaran" yang memberi ruang besar bagi kebebasan individu (baca: individu yang besar). Serahkan semuanya pada pasar, kerena pasar memiliki logika dan hukumnya sendiri. Ya, pada awalnya hanya menyentuh aspek ekonomi. Tetapi aspek lain (politik, kebudayaan (termasuk pendidikan), sosial, bahkan agama) hanya tinggal diderivasi dari nilai liberal(isme) ini.
Wacana tentang demokrasi, HAM, pluralisme, kesetaraan gender , wacana agama, dan seterusnya yang saat ini sering dikhotbahkan, jika kita amati, sebenarnya sudah diboncengi oleh nilai-nilai liberal. Sebuah wacana yang lepas dari pengalaman hidup "yang kecil", masyarakat yang selama ini (di)marginal( kan).
Bukankah pendidikan yang dikembangkan saat ini juga menjadi media pengarusutamaan nilai-nilai liberal(isme)? Termasuk gagasan tentang link and match yang dulu pernah muncul, atau sekarang "rezim " UN (Ujian Nasional)—yang oleh pejabat resmi pendidikan dimaknai sebagai "menjaga standard mutu pendidikan nasional"—sebenarnya bisa dibaca dari sudut pandang ini.
Lalu, dari mana kita mulai mendiskusikan lokalitas? Justru ketika lokalitas sendiri telah (di)tunduk( kan) oleh nilai-nilai liberal, modern, dan seterusnya yang ingin diuniversalkan? Bisakah lokalitas dihidupkan kembali hanya dengan kehendak untuk mengawetkan? Atau sekedar menjadi "dagangan" parawisata dengan menjual eksotisme kebudayaan lokal?
Sekali lagi lokalitas harus menimba energi dari perlawanan sarung. Sarung yang selama ini dimarginalkan balik menyerang dari ranah margin. Sarung yang selama ini dipinggirkan balik melawan dari pinggir. Suatu bentuk perlawanan untuk merebut makna dalam ruang kebudayaan sebagai arena kontestasi. Sebagai tempat orang melakukan negosiasi, dialog, resistensi, bahkan konflik.
Ketika bicara tentang lokalitas dalam pengertian pendidikan nilai berbasis lokal, saya percaya kepada pesantren atau tepatnya pesantren—meminjam istilah Gus Dur— sebagai sub-kultur (karena ada juga pesantren yang hendak diuniversalkan). Pesantren telah banyak memberikan pelajaran bagaimana siasat kebudayaan dilakukan dalam rangka melawan "yang besar". Sarung adalah contoh kecil dari perlawanan "yang kecil" dari pesantren. Wallahu a'lam.
Posting Komentar