Posted by rampak naong - -


Sekedar ilustrasi
Pak Midun senangnya bukan main melihat Syarkawi, anaknya, diterima di sebuah sekolah negeri di sebuah kecamatan, tak jauh dari tempat ia tinggal. Betapa tidak. Pak Midun hanyalah seorang petani biasa. Seorang yang membesarkan anak dalam keluarga dan masyarakat sederhana,  lengkap dengan kultur guyub pedesaan yang melatarinya.
Sebelum diterima di sekolah negeri, Syarkawi belajar di sebuah madrasah swasta. Sorenya masih nambah di madrasah diniyah. Belum lagi malam hari, ia dikirim kepada seorang kyaji tua yang sudah lebih setengah abad istiqamah mengajarkan alif, bata, ta kepada anak-anak desa. Di sela-sela kesibukannya, syarkawi toh masih sempat membantu pak midun di sawahnya.
Hari pertama sekolah, pak Midun melihat sesuatu yang aneh. Anaknya pake’ dasi. Pak Midun sulit mengunyah ”realitas baru” yang menggantung di leher anaknya. Meski begitu ia berpikir positif saja. Senyum pun merekah, anaknya tampil gagah layaknya pemain senetron ABG yang kerap menghiasi layar kaca, lengkap dengan seragam sekolah dan dasinya. Ia pun bermimpi, anaknya kelak menjadi orang ”sukses”. Tidak perlu mereproduksi pekerjaan dia, yang selalu berkubang dengan tanah.
Tetapi toh dalam hatinya ia tetap sulit memahami, bahkan ketika anaknya sudah menginjak kelas XII. Apa hubungan sarung yang selalu dikenakannya dengan dasi anaknya(?)
Semakin lama, ”keganjilan” anaknya semakin memanjang. Ibarat ”gempa”, keganjilan itu telah meluluhlantakkan alam sadarnya. Bahkan menggoncang hingga bawah alam sadar.
Tiba-tiba anaknya enggan membantunya di sawah. Satu-persatu simbol masyarakat desa pun dilucuti, ya songkok, sarung, ngaji, kesenian hadrah, cangkul, dan seterusnya. Tak cukup simbol, nilai-nilai masyarakat desa seperti keikhlasan, kesederhanaan, sopan santun,kebersamaan juga dilepas.
Setiap kali pak Midun melihat anaknya, setiap kali itu pula ia melihat sosok ”alien”. Mahkluk dengan kepribadian asing. Cara pikir, berprilaku, berdandan, bahkan berselera asing. Ia semakin tak mengenalnya, meski setiap hari bersamanya.
Toh pak Midun tetap berpikir positif. Ia masih yakin, meski pendidikan telah mengasingkan anaknya dari lingkungannya sendiri, hal itu ia anggap proses yang niscaya. Proses yang mesti dilalui oleh seseorang untuk ”sukses”, persis seperti hotbah yang terus-menerus direproduksi oleh pendukung pendidikan modern. Dan pak Midun salah satu korbannya(?)
***
Kritik terhadap praktek pendidikan di Indonesia sudah sering dilakukan. Sejak kritik yang “kurang mendasar”, sampai kritik yang mempertanyakan ideologi di belakang praktek pendidikan yang sedang berlangsung saat ini. Kritik pertama –karena tidak menggetarkan bagunan struktur—biasanya lebih di respon oleh pengambil kebijakan. Sementara krtitik ke dua –karena sifatnya ideologis—seringkali sulit menembus tembok.

Kritik yang muncul menyikapi praktek pendidikan sebenarnya wujud dari kekuatan-kekuatan ideologis yang sedang bertarung di negeri ini. Sejak era reformasi yang ditandai makin mengguritanya ideologi neo-liberalisme, pendidikan tak lepas dari infiltrasi ideologi ini. Maka jangan heran, jika praktek pendidikan saat ini justru semakin mengukuhkan neo-liberalisme. Melalui perselingkuhannya dengan negara, neo-liberalisme telah memenjarakan pendidikan. Pada gilirannya pemenjaraan pendidikan melahirkan praktek pendidikan yang memenjarakan.

Ada beberapa hal yang menjadi penanda bagaimana praktek neo-liberalisme pendidikan dilangsungkan. Pertama, bisa dilihat pada out put yang hendak dilahirkannya. Pendidikan model ini ingin melahirkan anak didik yang mampu mengisi pasar kerja sebagaimana diminta oleh pemilik modal. Maka dalam pandangan ini, anak didik tak ubahnya seperti suku cadang yang dipersiapkan menjadi bagian dari mesin besar bernama pasar bebas. Lihat juga bahasa yang digunakan untuk menggambarkan profile lulusan yang diangankan : “agar mampu bersaing di era global” bukan “agar mampu berbagi dan melawan globalisasi yang memiskinkan.

Menjadikan anak didik seperti barang secara fundamental bertentangan dengan nilai kemanusian. Derajat kemanusian diturunkan ke derajat paling rendah. Kebebasan manusia untuk mengembangkan segenap potensi dan kreativitasnya dibungkam. Kebebasan manusia untuk membangun hubungan dengan sesama berdasar atas nilai-nilai kemanusian (bukan “barang”) juga dikerdilkan. Tak heran jika kemampuan bersaing dimaknai sebagai keinginan untuk saling menjegal. Yang kuat, yang menang.

Kedua, praktek neo-liberalisme pendidikan juga bisa dilihat dari content kurikulum yang dikembangkan saat ini. Isi kurikulum diarahkan untuk mempelajari konsep abstrak atau pengetahuan yang menopang tehnologi yang tidak manusiawi, dari pada mempelajari realitas konkrit tentang ketidakadilan struktural, yang by design memang telah meminggirkan sebagian besar masyarakat (kelompk mustadh’afin).

Sederhananya, sebuah tembok dibikin sedemikian tinggi dan tebal, sehingga apa yang dipelajari dalam kelas sama sekali tidak “nyambung” dengan realitas ketidakadilan struktural yang ada di luar kelas. Kelas diseterilkan. Atau bahasanya akademisnya, kelas harus “objektif” dalam mempelajari pengetahuan. Kelas harus bebas nilai. Pada hal dibalik “atas nama bebas nilai dan objektivitas” itu, sepenuhnya diarahkan untuk mengukuhkan ketidakadilan struktural dan di saat yang bersamaan, membenarkan status quo.

Ilustrasi di atas bisa menjelaskan, bagaimana anak didik mengalami keterasingan justru ketika ia mengenal sekolah. Kurikulum sekolah sudah menyerabut nilai, alam pikir, dan prilaku mereka dengan lingkungannya. Alih-alih mau melakukan kerja-kerja transformatif dengan mengupayakan keadilan struktural melalui kesadaran kritis mereka, malah mereka menjadi “sub agen” yang ikut menjajakan ideologi neo-liberalisme, ideologi yang paling tidak bersahabat dengan manusia dan nilai kemanusiaan. Lebih-lebih pada kelompok yang (di)marginal(kan) apakah bernama tradisi, pesantren, masyarakat desa, masyarakat kecil, perempuan, dll.

Ketiga, proses yang berlangsung di dalam kelas tidak didasarkan atas pentingnya dialog. Pembelajaran berlangsung sangat mekanik, mati dan tidak kritis. Hubungan guru-anak didik adalah hubungan subyek-obyek. Anak didik menjadi obyek dari guru. Sementara guru menjadi obyek dari kurikulum. Dan kurikulum menjadi obyek dari kekuatan besar apakah bernama negara, neo-liberalisme, atau pemodal.

Proses pembelajaran yang mematikan dialog dan daya kritis siswa tidak akan mampu mengantar siswa menjadi subyek yang memiliki kebebasan untuk mengembangkan segenap potensi dan kreativitasnya. Anak didik terus-menerus dibekap dalam situasi “budaya bisu”. Setiap hari anak didik dipaksa untuk mengunyah dan menimbun pengetahuan. Tak pernah ada refleksi tentang situasi keseharian mereka, termasuk dengan lingkungan yang membentuk nilai, alam pikir, dan prilaku mereka.

Sistem pendidikan telah membangun “tembok besar” yang memolarisasi ruang-ruang kelas dan ruang-ruang sosial. “Tembok besar” ini kemudian hinggap dalam alam pikir anak didik yang juga digunakan untuk memaknai realitas. Dan luar biasa, anak didik berhasil dibentuk seperti robot yang “manut” pada kehendak tuannya.

Ikhtiar ke Depan

Keluar dari pemenjaraan pendidikan dan pendidikan yang memenjarakan butuh nafas panjang. Dibutuhkan keberanian luar biasa. Karena prakteknya kita berhadapan dengan kekuatan besar yang sangat sistemik, terutama negara.

Dengan segenap kelebihan dan kekurangannya saya masih percaya pesantren untuk menjadi pioner bagi upaya keluar dari “sistem yang memenjarakan”. Ada beberapa kekuatan pesantren yang bisa menjadi modal bagi upaya ini. Pertama, pesantren memiliki tradisi yang sangat kaya. Dalam realitasnya, makin tinggi tingkat apresiasi seseorang/kelompok terhadap tradisi, makin sulit ideologi neo-liberalism masuk.

Tentu tradisi bukan semata untuk dirawat. Tetapi tradisi perlu direvitalisasi dan dijadikan “counter discourse” bagi dominasi ideologi neo-liberal yang saat ini sudah masuk sampai ke kamar-kamar tidur kita. Kira-kira sistem pendidikan pesantren diupayakan bisa melawan ideologi neo-liberal dengan berbasis pada tradisinya.

Kedua, sampai detik ini –meski sudah memetamorfose—pesantren masih relatif otonom dibanding lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Otonomi pesantren menjadi modal besar juga, karena dengannya pesantren bisa mengambil jarak dan bersikap kritis terhadap kekuatan besar yang berseleweran di dekatnya. Di lain hari, mungkin dibutuhkan perbincangan serius, bagaimana desain pesantren memulai usaha keluar dari sistem pendidikan yang memenjarakan ini. Wallahu a’lam.