Sering saya mendengar komentar memojokkan terhadap guru madrasah (swasta). Guru madrasah dipandang sebagai ”guru tidak profesional”. Komentar ini keluar begitu saja. Tanpa perlu repot-repot si ”komentator” menjelaskan, apa makna kata profesional dalam pikiran mereka.
Saya berusaha mendalami komentar itu. Mencari tahu apa gerangan penyebab guru madrasah didakwah tidak profesional. Karena menduga-duga, banyak ragam tafsir yang muncul dalam benak saya.
Kemungkinan pertama karena guru madrasah tidak ”disiplin” seperti guru negeri. Contoh sederhana saja dalam soal pakaian. Mereka tidak memakai seragam, dasi dan sepatu. Banyak malah menggunakan sarung. Bisa dipastikan jika memakai sarung, bawahnya sandal. Lucu kan, jika sarung bawahnya menggunakan sepatu?
Mungkin juga karena sebagian guru madrasah tidak memiliki kualifikasi akademik. Mereka bukan lulusan perguruan tinggi dengan deretan gelar di depan atau di belakang namanya. Berbeda dengan negeri. Gelar itu utama. Gelar dipastikan maknanya sebagai penanda kesempurnaan pengetahuan. Gelar = kapabilitas (?)
Bisa juga karena guru madrasah ”kere”. Digaji pas-pasan. Bahkan tak jarang harus mengeluarkan uang sendiri untuk menunaikan tugas keguruannya. Dalam pikiran komentator yang suka memojokkan itu, analisis berkembang. ”Jika gaji ngepas, mana bisa ngajar serius? Bukankah mereka punya tanggungan keluarga?”.
Ijinkan di sini –sebagai guru madrasah—saya melakukan strategi balik. Mau membuka selubung di balik ”kedisiplinan” guru negeri. Dibalik ”kewibawaan” kualifikasi akademik mereka. Di balik ”kesejahteraan” mereka (karena) menjadi pegawai negeri. Dan tentu saja di balik ”guru profesional” yang dilekatkan pada mereka. Melekat tidak saja karena klaim (sebagian) mereka sendiri. Tetapi juga karena dilekatkan oleh birokrasi pendidikan (Diknas-Depag) yang ada di belakang mereka.
Usaha membuka selubung ini jangan dimaknai macam-macam. Sekedar interupsi agar guru negeri memiliki jeda untuk refleksi. Ini murni pengalaman saya bergaul, melihat dan mengamati kawan guru negeri. Pasti tidak obyektif, tapi tidak sepenuhnya subyektif. Pengalaman saya juga tidak untuk menarik generalisasi. Karena banyak juga guru negeri yang saya kenal, memedulikan pendidikan secara total.
Pertama, pendisiplinan guru negeri ternyata memasung kreativitas mereka. Awalnya sepele. Pendisiplinan melalui tubuh. Misalnya, pakaian mereka di atur. Tetapi pendisiplinan tubuh ini selanjutnya melampaui batas-batas tubuh. Secepat kilat pendisiplinan ini menjalar ke cara pikir (mind set). Cara pikir mereka di atur, didisiplinkan, dan ditertibkan. Sepenuhnya diselaraskan dengan kepentingan birokrasi. Birokratisasi guru sebenarnya petaka. Dalam cengkraman birokrasi, seseorang tidak akan merdeka.
Kedua, kualifikasi akademik. Saya yakin semua guru negeri pasti lulusan perguruan tinggi. Minimal S1. Berbeda dengan guru Madrasah. Masih banyak lulusan pesantren. Tapi yakinlah bahwa kualifikasi akademik tidak berbanding lurus dengan mutu mendidik. Banyak lulusan perguruan tinggi yang sudah jadi guru, malah berhenti menjadi pembelajar. Kualifikasi akademik dalam wujud gelar-gelar itu hanya simulacra.
Sering saya menemukan kawan guru negeri yang puas dengan status qou. Atau kalau tidak puas, diam saja. Alasannya: TAKUT ATASAN. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana pendidikan dijalankan dalam situasi “ketertindasan”?
Ketiga, kesejahteraan ekonomi guru negeri dibanding guru madrasah bagai langit-bumi. Kesejahteraan sejatinya mendorong mereka untuk terus-menerus meningkatkan kapasitasnya. Sayang dalam pergaulan saya dengan guru negeri, usaha itu belum nampak. Mereka sudah cukup puas dengan yang mereka punya. Barangkali sangat sedikit yang menyisihkan pendapatan mereka untuk beli buku, ikut kegiatan seminar, dan workshop yang menjadikan mereka sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Kondisi di atas sebenarnya wajar jika dilihat dari latar belakang historisnya. Sebagian menjadi guru negeri karena (diniati) mencari pekerjaan. Bukan karena panggilan hati. Sungguh saya terenyuh menyaksikan pulau yang ditugasi oleh guru negeri. Mereka satu bulan di pulau, satu bulan di daratan. Bahkan banyak juga yang menghabiskan waktu di daratan dengan mengabaikan tugasnya. Jika ditugasi di pulau, mereka menggunakan istilah memojokkan; DIBUANG. Inilah contoh menjadi guru negeri bukan karena panggilan hati.
Melihat ilustrasi di atas sebenarnya belum jelas, siapakah guru profesional? Terkadang saya malu melekatkan kata profesionalisme kepada guru. Karena profesionalisme seringkali direduksi maknanya dengan hak secara meteri yang harus diterima guru. Pada hal guru bukan sekedar profesi semacam pengacara dan dokter. Guru mengemban missi profetik. Semacam panggilan jiwa untuk mengemban missi kenabian.
Atas dasar panggilan profetik itu saya mendifinisikan guru profesional (kalau pun istilah ini harus dipakai) sebagai orang yang memenuhi panggilan jiwanya untuk mengabdi sepenuh hati dalam pendidikan (bukan sekedar pengajaran). Ia menambatkan aktivitasnya pada panggilan jiwa itu. Karena panggilan jiwa, ia akan memberikan yang terbaik pada tugas yang diembannya. Melampaui dari sekedar materi. Melampaui dari sekedar mengajar. Melampaui dari sekedar birokrasi yang mengekangnya.
Atas dasar panggilan jiwa, guru profetik ini juga akan mendidik dengan jiwa. Memerlakukan murid sebagai jiwa. Melebihi dari sekedar transfer of knowledge. Mengubur asumsi bahwa murid hanya sekedar deretan angka-angka.
Guru seperti ini tak henti-henti membangunkan mimpi muridnya. Ia berada di tengah ketika mendapati muridnya dirundung masalah. Berada di belakang ketika muridnya kehilangan gairah. Dan berada di depan untuk merangkai laku dan kata.
Siapapun saja –guru madrasah swasta atau negeri—yang mendidik berdasar panggilan jiwa, atau mendidik sepenuh hati, meski tidak mengklaim atau diklaim sebagai guru profesional, akan mengidupkan jantung pendidikan.
Tulisan ini dimuat di Jurnal Edukasi, Sumenep, Edisi XIV 2010
Posting Komentar