Posted by rampak naong - -

sumber: tribun
Kecemasan timbul tenggelam menjelang acara pertemuan pemangku kepentingan migas  (29/8) yang difasilitasi PCNU Sumenep. Betapa tidak.  Pertemuan  pemangku kepentingan ini didahului oleh peristiwa “anarkhis” beberapa hari sebelumnya dimana warga sekitar lokasi membakar diesel alat uji seismik milik SPE Petroleom. Beberapa warga –sebagian tokoh masyarakat—sempat dipanggil Kapolres untuk dimintai keterangan. Syukur akhirnya bisa dipulangkan dan tak ada satu pun yang ditahan.

Setengah jam sebelum acara dimulai, wakil SPE Petroleum  datang menggunakan kendaraan mewah seperti pick up,  bermerk Nissan Terrano. Ada dua mobil yang datang, meski yang diundang hanya 1 orang. Setelah itu Kapolres dengan menggunakan mobil dinasnya, disusul Dandim, anggota DPRD, pemda, dan beberapa pengurus NU. Sementara yang mewakili masyarakat belum juga muncul, termasuk Forkim (Forum Kiai Muda) yang selama ini getol menyuarakan penolakan terhadap rencana eksplorasi migas, dan diduga terlibat dalam aksi pembakaran alat uji seismik sebelumnya.

Saya lihat beberapa orang SPE Petroleum nongkrong di depan kantor NU. Seperti berjaga-jaga. Atau mungkin saja saya yang terlalu cemas, karena hawatir konflik SPE Petroleum-masyarakat justru pindah ke kantor NU.

Tidak lama saat acara dimulai, sekitar jam 13.30 , wakil dari Forkim datang. Forkim datang sesuai dengan jumlah yang diundang, sekitar 5 orang. Rasa was-was bahwa Forkim akan datang besama warga, ternyata tidak tepat.

Kecemasan tahap pertama usai. Tapi kecemasan berikutnya muncul. Kehawatiran saya,  suasana dalam pertemuan akan berlangsung  panas, keras, dan menguras pikiran. Ternyata salah. Di tangan NU,  masalah berat bisa diselesaikan dengan guyonan dan ger-geran. Inilah tradisi NU, yang belakangan ini meski melemah, ternyata menguat kembali dalam suasana pertemuan itu.

KH. Ahmad Basyir AS, Rois Syuriah,  yang memberikan sambutan waktu itu menegaskan bahwa NU tidak dalam posisi mendukung dan menolak rencana eksplorasi migas di Sumenep. Sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat. Tugas NU adalah mendukung apa yang menurut  masyarakat  baik. Jika masyarakat menolak, NU akan menolak. Demikianpun sebaliknya.

Acara inti dimulai. Ketua PCNU, HA. Pandji Taufik, yang menjadi pemandu. Ketua NU yang suka goyun ini bisa memandu dengan santai tanpa kehilangan substansi masalah yang sedang diurun-rembukkan. Pandji menegaskan bahwa pertemuan kali ini hanya ingin meminta informasi dan klarifikasi terkait dengan kasus pembakaran alat uji siesmik SPE-Petroleum. Menurutnya, bukan hanya pembakarannya, tetapi konteks kenapa alat uji siesmik itu dibakar, sangat penting dikuak.

Dari hasil sharing dalam pertemuan multi-stakeholder itu nampak sekali bahwa SPE-Petroleum terpojok. Secara prosedural meski SPE Petroleum benar telah mengantongi ijin dari pemerintah pusat soal uji siesmik, tetapi SPE Petroleum telah gagal melakukan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar lokasi. Gagalnya sosialisasi menyebabkan masyarakat melakukan “perlawanan”, karena banyak hal gelap yang masih menghantui masyarakat. Misalnya, soal kehawatiran seperti Lapindo. Adakah pihak yang bisa meyakinkan masyarakat untuk memberikan jaminan dan mengambil tanggungjawab jika benar-benar terjadi? Ini bukan semata soal ilmu pengetahuan, tetapi soal psikologis.

Bahkan dalam pertemuan itu terungkap, seorang pemilik tanah bersaksi belum pernah dihubungi oleh SPE Petroleum yang tengah mengadakan uji siesmik di tanah yang menjadi haknya. Meski SPE Petroleum menyatakan sudah mengadakan sosialisasi melalui jalur birokrasi kecamatan dan pemerintah desa, ternyata yang hadir tidak cukup representatif karena hanya melibatkan aparat birokrasi dan orang-orang kepala desa yang pro.

Darul, anggota komisi B DPRD Sumenep, secara kritis mengatakan bahwa persoalan tanah bukan sekedar menyangkut kerugian secara materi tetapi yang tak kalah penting menyangkut kerugian sosial-budaya. Ada persoalan-persoalan besar yang tidak melulu bisa diselesaikan melalui cara-cara prosedural. Apalagi menyangkut “tanah sangkolan” yang tidak saja menghubungkan pemilik dengan tanahnya, tetapi juga dengan leluhur yang mewariskannya. Jadi benar, jika dalam tanah juga ada harga diri. Maka kesalahan besar bagi SPE-Petroleum “mengacak-acak” tanah rakyat dengan alasan prosedural untuk melakukan uji siesmik.
Forkim –Forum Kiai Muda yang garang menyikapi rencana ekspolarasi migas—membedahnya dari sudut jejaring kapitalisme migas, yang ujung-ujungnya pasti akan merugikan masyarakat Madura. Ini adalah bentuk usaha untuk “membangun di Madura” bukan “membangun Madura”.

Tetapi semua yang hadir juga menolak cara-cara “anarkhis” seperti dilakukan oleh forkim. Seorang tokoh masyarakat dengan tegas bilang, “ saya sangat tidak setuju dengan Forkim yang mengadakan anarkhis itu”, katanya diiringi tawa yang hadir.

Meski demikian, anarkhisme yang dilakukan Forkim dan sebagian warga itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Ada proses dan ada sebab-sebab kenapa tindakan anarkhis itu terjadi. Sosialisasi dan komunikasi SPE Petroleum yang buruk dengan masyarakat sekitar lokasi migas menjadi the main factor kenapa masyarakat melakukan perlawanan.

Pengalaman berulang-ulang di banyak tempat, ternyata tidak menjadi pelajaran bagi penguasa dan pemodal. Selalu saja pembangunan dilihat dari fungsi ekonominya. Sama sekali dilepaskan dari fungsi sosial-budayanya. Pada hal pembangunan yang melulu berbasis kepital dan abai terhadap persoalan sosial-budaya, gagal memartabatkan rakyat,  lebih-lebih di sekitar lokasi migas.

Maka di akhir pertemuan itu, NU merekomendasikan perlunya uji siesmik sementara DIHENTIKAN hingga sosialisasi dan komunikasi yang melibatkan masyarakat di lokasi migas betul-betul dilakukan. Jika ada dampak lingkungan, lebih-lebih dampak yang bersifat sosial budaya, masyarakat yang pertama kali akan  menjadi korban. Sementara SPE Petroleum atau korporasi yang memenangkan tender untuk eksplorasinya, pasti menggunakan strategi kick and rush.

Apa yang dilakukan NU di atas tentu hanya sumbangan kecil. Tapi sekecil apa pun melawan kapitalisasi migas yang seringkali tidak memartabatkan manusia dan kemanusiaan, toh tetap harus dilakukan. Dan NU sudah memulai dan akan terus dilakukan. PCNU Sumenep sudah sepakat memfasilitasi pertemuan warga di sekitar lokasi untuk mendorong mereka bersuara.