“Dahulu, kemasan melindungi apa yang di jual.
Sekarang, kemasan menjual apa yang dilindungi”
(wall FB penerbit jala sutera)
Waktu kecil saya sering memanfaatkannya. Habis bermain jauh –apalagi habis main sepakbola—pasti diserang rasa haus. Praktis. Jika ada orangnya cukup minta ijin. Jika tidak, meminumnya juga tidak apa-apa. Halal. Karena gentong yang berisi air itu memang disediakan untuk umum.
Itulah cara masyarakat dahulu memartabatkan air dan memartabatkan sesama. Kelihatannya sangat sepele; hanya dengan sebuah gentong. Tetapi makna besarnya terletak pada kesediannya untuk berbagi. Apalagi air waktu itu sangat melimpah, karena mereka tahu bagaimana cara menggunakan air dengan bijak. Air adalah anugerah Tuhan untuk semua.
Saat ini, gentong peradaban itu sudah musnah. Kapitalisme sudah mengajari penduduk desa pelit untuk berbagi. Apalagi serangan pemodal air kemasan merasuk hingga pelosok desa yang sangat terpencil sekalipun.
Di desa saya, pemodal lokal tak kalah rakusnya. Di hamparan sawah yang luas banyak terdapat sumur bor milik pribadi yang menjual air kepada para petani kecil penggarap sawah. Saya tak habis pikir, begitu susahnya kepemilikan sumur bor itu dipunyai bersama. Dikelola bersama dan untuk kepentingan bersama.
Sungguh sadis. Pemodal saat ini menjual air tidak saja untuk kebutuhan sawah. Di beberapa desa yang relatif sulit air, keperluan mandi, nyuci, masak juga harus beli. Sepertinya, pemodal desa “satu hati” dengan korporasi yang menjual produk air kemasan.
Wajar(?), jika gentong peradaban kini tinggal kenangan. Kiblat pengelolaan air sekarang adalah Aqua.
2 Responses so far.
betul, saya juga sempat berpikir dengan "kesediaan berbagi" itu. rasanya, kesediaan semacam ini sangat mahal untuk saat ini.
1 gelas Air = Rp.500,-
Sungguh terlalu....
Posting Komentar