Harian Kompas (26/10/2009) memuat hasil jajak pendapat pemuda di 10 kota di Indonesia. Dari jajak pendapat ini ditemukan gambaran pemuda Indonesia saat ini yang digambarkan sebagai apolitis, pingin cepat kaya, cenderung rendah kepedulian sosialnya, cenderung pragmatis, tetapi sangat optimistis(?) menyambut masa depan.
Rata-rata mereka sangat akrab dengan alat tehnologi informasi dan komunikasi terkini sekalipun. Ke sana-sini membawa laptop atau smart phone yang memungkinkan dengan mudah mengakses internet atau sekedar curhat ke jejaring sosialnya seperti facebook, twitter, dll.
Setahun kemudian (2010), gambaran pemuda masih sama. Mungkin tambah tragis. Tentu, gambaran di atas tidak bermaksud melakukan generalisasi. Hanya gambaran di atas mau disangkal sepenuhnya juga tidak benar. Seandainya respondennya juga pemuda desa, gambarannya tidak akan jauh berbeda. Permasalahannya mungkin pemuda desa mobilitasnya tidak setinggi pemuda kota. Yang lain ”setali tiga uang”.
Satu hal yang perlu ”disumpah(serapah)i” di sini adalah rendahnya kepedulian sosialnya. Meski kita harus adil, rendahnya kepedulian sosial ini bukan salah kaum muda sepenuhnya. Tetapi harus diletakkan dalam konteks sosial-budaya secara lebih luas. Cuma masalahnya, sikap kritis yang sebenarnya bisa menjadi alat analisis untuk melakukan anti-thesa terhadap konteks sosial budaya yang mengungkung pemuda, yang biasanya menjadi cirinya, sudah habis juga. Maka wajar jika sikap kritis ini tergantikan oleh sikap pragmatis. Suatu sikap yang menuntun pemuda untuk ”berdamai” dengan lingkungannya, meski memuakkan.
Tak perlu terperanjat. Perguruan Tinggi yang saat ini menjadi tempat mengasah kaum muda juga kelimpungan. Mahasiswa sudah tidak mau ruwet mengembangkan tradisi kajian, diskusi, dan berorganisasi. Hampir seluruhnya sudah dikungkung untuk memenuhi selera ”gaya hidup”.
Jika gambarannya seperti ini, 10-20 tahun ke depan ketika pemuda memimpin bangsa ini akan menuai badainya. Akan muncul pemimpin yang tidak mampu membangun solidaritas sosial yang dipimpinnya. Akan muncul pemimpin tanpa karakter, tidak memiliki ideologi kerakyatan yang kuat, tidak mau capek-capek mikir rakyat banyak, serba instant menyelesaikan masalah sosial, atau lebih ruwet lagi, jika bangsa ini dijual demi pragmatisme.
Mari...di hari Sumpah Pemuda kita sumpah(serapah)i pemuda
One Response so far.
Sedih memang. makin hari, kepedulian itu makin tipis. Termasuk kepedulian kita terhadap bahasa Indonesia.
kami, berbahasa satu, Bahasa Indonenglish
Posting Komentar