jepretan M. Mustov |
Setiap kali mengikuti kegiatan resmi NU, pasti akan ada rangkaian acara pendahuluan yang urutannya sebagai berikut : al-fatihah, qiraat, shalawat, dan lagu kebangsaan. Ini adalah khas NU. Setahu saya, hanya di acara-acara NU yang seperti ini ada.
Al-fatihah dibacakan dengan harapan pahalanya disampaikan kepada Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabiit tabi’in, para auliya, syuhadah, para ulama, guru-guru, orang tua, dan seluruh kaum muslimin. Ketika yang mimpin mengucapkan “alfatihah”, hadirin menyambut dengan membaca surah al-fatihah secara bersama-sama. Diyakini, pembacaan al-fatihah ini akan sampai kepada yang dituju.
Setelah itu diteruskan dengan pembacaan ayat alqur’an. Ketika dibacakan suasana seakan senyap. Semua hadirin merapatkan batin kepada Allah, melalui suara qori’ yang membaca ayat al-Qur’an dengan sangat merdu. Bahkan ketika sampai pada kondisi batiniah dan kekhusukan yang dalam, sebagian hadirin ada yang “berteriak” menyebut nama Allah. Kondisi batin yang khusuk meledak, tak mampu membendung bah kerinduan pada yang Ilahi. Biasanya ini terjadi di saat sang qori’ jeda mengatur nafas untuk membaca ayat selanjutnya.
Habis qira’ah, hadirin secara bersama-sama membaca shalawat. Pembacaan ini biasanya dipandu oleh qori’ yang tadi membaca ayat-ayat alqur’an. Tapi kadang oleh orang yang berbeda. Pembacaan shalawat ini adalah ekspresi kecintaan yang begitu dalam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya. Diyakini, ketika membaca shalawat (barzanji), roh Nabi Muhammad hadir (atau dihadirkan?) ke tengah majelis.
Setelah shalawat, baru menyanyikan lagu kebangsaan. Lo... apa hubungannya? Inilah cara NU yang selalu kreatif mempertautkan agama yang diyakininya dengan lokalitas. Lagu kebangsaan yang (pasti) dibacakan di setiap acara resmi NU, seakan membangun imagi (warga) NU untuk tetap mengawal politik kebangsaan. NKRI dengan pancasilanya, bagi NU adalah final. Dan dalam sejarah, politik kebangsaan yang dimainkan NU tak pernah surut. Mungkin NU satu-satunya organisasi yang paling setia mengawal Pancasila dan bangsa ini.
Yang paling krusial, pada tahun 1984. Saat itu ketika organisasi masyarakat yang lain masih “ruwet” menegosiasikan hubungan agama dan negara, NU di muktamar Situbondo yang pertama menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Alasan mudahnya ketika itu seperti ini, “ibarat kita makan sejak dahulu, kok baru sekarang mau dipersoalkan status hukumnya, halal apa haram makanan itu”.
Tentu tidak sesederhana itu jawabannya. Perdebatannya sangat alot. Saya membayangkan, para kiai membongkar seluruh khazanah kitab kuning yang selalu menjadi rujukan, sebelum mengambil keputusan. Hasil keputusannya berahir “happy ending”, NKRI dengan Pancasilanya merupakan harga final dari perjuangan umat Islam.
Inilah dasar lagu kebangsaan “bertemu” dengan Al-fatihah, qira’ah dan shalawat di acara-acara resmi NU.
3 Responses so far.
Betul, Indonesia Raya memang terasa tambah megah kalau dinyanyikan oleh orang-orang bersarung dan berpeci hitam
apalagi jika songkok ukuran tinggi..merk awing cihuy....
ada lagi satu hal yang pasti terjadi dalam acara NU tapi lupa tak diceritakan: acara selalu telat dimulai, meskipun di undangan sudah diingatkan macam2..hihi..
oya, foto jepretan saya kok jadi kecil sekali ya? jadi ga keliatan kalau bagus :-)
Posting Komentar