Posted by rampak naong - -

 
Beberapa minggu yang lalu istri saya sakit. Badannya sangat panas. Tenggorakannya sakit jika menelan. Memang sebelumnya dia kurang istirahat. Biasanya kalau kurang istirahat tekanan darahnya drop.
Meski sudah berobat, sampai tiga hari kemudian panas istri saya tetap tidak turun-turun. Kemungkinan ini disebabkan dua hal.
Pertama, dia jarang tidur karena harus mengikuti si bungsu yang jadwal tidurnya memang tidak teratur. Di saat waktu tidur, si kecil malah bangun. Di saat mestinya bangun, si kecil malah tidur. Dalam kondisi apapun, si ibu harus menyesuaikan dengan jadwal tidur si kecil, bukan?
Kedua, dalam keadaan sakit tentu makanan apapun terasa tidak enak. Kurangnya asupan makanan menyebabkan tanaga lemas. Apalagi istri saya masih harus meyusui anak nomer dua yang baru berusia 5 bulan. Jadi, asupan makanannya digunakan untuk menyehatkan dua orang. Di samping untuk dirinya juga untuk si bayi.
Saya sebagai seorang suami masih bisa makan enak. Ngerokok (maaf bagi yang anti). Ngopi. Atau masih sempat menulis untuk kompasiana. Dalam hal ini, kompasiana kayaknya ikut menanggung dosa saya. He..he..
Kadang ada orang bilang, “coba geser perspektif kamu. Posisikan kamu seolah istri. Biar kamu bisa merasakan”. Ah dasar lelaki. Gampang banget berkhotbah. Kalau pun saya sudah merasukkan empati ke dalam kesadaran saya, tetap saja tak bisa mengalami tersiksanya istri.
Bukankah saya tidak bisa menggantikan perannya memberi ASI ekslusif? Dalam kondisi sakit lagi. Mending saya jujur, saya sulit berempati sama (peran) istri.
Kami (lebih tepatnya istri)sangat hawatir. Biasanya jika ibu sakit dan sedang menyusui, si bayi gampang tertular. Benar juga. Setelah 5 hari istri sakit,  si bungsu sakit juga. Malam hari tiba-tiba badannya sangat panas. Pada hal sore hari masih belum. Cuma sore sudah ada perubahan. Yang biasanya ceria, suka tersenyum, dan kadang-kadang masih ngoceh, sore itu tidak nampak lagi.
Panasnya merata seluruh badan. Yang paling panas di bagian kepala. Kami (lebih tepatnya istri) hanya bisa merasakan, pasti kepalanya pusing. Tekadang istri atau saya menaruh tangan di dahinya. Dengan sedikit menekan tangan, sepertinya membuat sakit kepala si bayi lumayan ringan. Karena terlalu malam, yang bisa kami lakukan hanya mengompresnya di bagian kepalanya.
Lagi-lagi saya malu sebagai seorang suami. Istri dalam keadaan sakit masih sibuk merawat anak sakit. Malah pengorbanannya yang lebih besar muncul. Agar si bungsu  cepat turun panasnya, istri saya masih meminum “jamu kunir”. Pada hal dia sendiri tensi darahnya kurang normal. Artinya, jika ia minum jamu kunir, tensi darah terus akan turun. Meski diperingatkan, tetap saja tak mempan.
Saya hanya geleng-geleng kepala. Begitu besar pengorbanan seorang  ibu. Alasan ini pula, mungkin, yang menjadikan ibu begitu terhormat dalam pandangan agama. Alasan ini pula guru saya bilang kalau ibu itu jimat.  La.. bapaknya gak bisa apa-apa kok?
Sungguh, jika saya sedikit saja–jika tidak bisa seluruhnya— mengurangi perasaan superioritas saya sebagai seorang laki-laki dan suami, sebenarnya betapa malunya saya. Superior? Apanya yang superior?
Jadi, perkenanlah saya –mungkin juga mewakili seluruh atau sebagian suami—mengucapkan permohonan maaf kepada para istri. Istri bukan sekedar ibu anak-anak, tapi juga ibu kehidupan. Seharusnya saya banyak belajar dari ketabahan, keuletan, dan pengorbanan mereka. Yang tepat superioritas itu punyamu. Bukan punya saya.