google.com |
Dugaan saya meleset. Justru ia cerita tentang berita dirinya yang katanya sudah menyebar di internet. Kasusnya, pemukulan terhadap menantunya. Ia mendapat informasi dari temannya. Meski ia sendiri belum pernah ngenet. Rupa internet kayak apa, ia juga tidak tahu.
Segera saya ambil laptop. Saya coba telusuri melalui google dengan mengetik kata kunci “poligami sumenep”. Ternyata betul. Beritanya dimuat di detik.com. Judulnya provokatif, Anak Dipoligami, Bapak Di Sumenep Hajar Menantu (ini link-nya http://surabaya.detik.com/comment/2010/12/01/173058/1506977/475/anak-dipoligami-bapak-di-sumenep-hajar-menantu ). Di situ ia ditulis inisialnya, FDL.
“ini beritanya”, kata saya pas ditemukan.
“wah...”, ia terheran-heran melihat kecanggihan internet. Isi berita sementara ia lupakan. Ia malah banyak menanyakan fungsi internet. Berdiskusi tentang manfaat internet. Ia menyuruh saya untuk mencari “cara beternak ayam kampung”. Saya coba masukkan kata kuncinya di google. Hasil penelusuran sekitar 219.000.
Sedikit faham tentang manfaat internet, ia kembali ke soal berita di detik. com. Ia bertanya, apa yang harus ia lakukan. Soalnya, fakta tidak seperti yang diberitakan. Ia tidak pernah memukul.
Ketika di pengadilan seusai sidang, sang menantu menepuk (maaf) pantat anaknya. Melihat itu ia bilang sama menantunya, agar bersikap santun dan sopan. Sang menantu tidak terima. Tetapi saat itu tidak terjadi apa-apa.
Rupanya sang menantu melaporkan kasus itu ke kepolisian. Tuntutannya pemukulan. Sang menantu juga menghubungi wartawan detik. Sayangnya, wartawan detik itu tidak melakukan cover bothside. Yang menjadi sumber berita hanya pihak kepolisian dan sang menantu. Sementara saudara saya ini tidak pernah dihubungi untuk sekedar recheck.
Saya bilang, temui wartawannya. Complain saja. Wartawan detik telah melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik.
///
Bagi saya, kasus di atas sebenarnya gambaran kecil dari problem serius yang dihadapi wartawan –lebih luas lagi media—di era kebebasan informasi saat ini. Di daerah saya, muncul wartawan-wartawan instant. Setidaknya wartawan instant bisa dilihat dalam beberapa hal:
- Kemampuan instant : sebelum menjadi wartawan rata-rata mereka tidak memiliki tradisi menulis. Lumayan jika ketika kuliah sempat mengikuti training jurnalistik dasar. Tetapi banyak wartawan yang saya kenal sepertinya tidak. Menulis surat pembaca di media pun sepertinya belum pernah.
- Rekruitmen instant : anehnya media (cetak atau elektronik) bisa menerimanya. Saya berkesimpulan, sepertinya media tidak menyeleksinya secara ketat. Yang penting mau digaji kecil, bisa menjadi wartawan. Lebih aneh lagi, media belum banyak melakukan inisiasi –semisal workshop, pelatihan, dll— untuk meng-upgrade kapasitas wartawannya.
- Belajar instant : ketika menjadi wartawan, saya melihat tak ada lagi kemauan untuk belajar. Jangankan membaca buku, melakukan refleksi secara informal dengan teman-temannya sendiri saja belum pernah. Dalam benaknya, menjadi wartawan sekedar tahu menulis berita. Biasanya berita yang kering, kaku, dan tidak menggairahkan dibaca. Miskin data dan miskin perspektif.
- Menulis instant : ketergesaan menulis—akibat kebijakan deadline redaksi— menjadikan wartawan ibarat mesin. Menghasilkan jenis tulisan yang sama. Kering. Meski dengan judul berbeda.
- Warta instant : beralasan jika berita yang disajikan ditulis sekenanya. Seenaknya. Sangat sering, wartawan di daerah saya menyajikan berita yang tidak berimbang. Belum lagi jika bicara kedalaman beritanya. Sangat jarang.
- Penghasilan instant : wartawan manusia. Bukan malaikat. Media yang hanya memeras tenaga wartawan dengan imbalan kecil, mendorong sebagian wartawan mencari penghasilan instant. Maklum, wartawan ibarat polisi, sangat ditakuti. Apalagi di daerah. Posisi wartawan yang bisa melakukan eksekusi berita, membentuk opini, mendesiminasi informasi tanpa batas, adalah kekuatan yang tak terbantah. Semacam bargaining position yang menguntungkan.
- Ibarat mie instans : wartawan instant persis mie instant. Enak di lidah, tapi menyemburkan penyakit saat dimakan.
2 Responses so far.
Betul, Mas. Banyak wartawan, bahkan yang tidak instan sekalipun, yang sembrono karena satu tuntutan: "deadline". Celakanya, deadline atau tenggat ini jadi kambing hitam, dan mungkin mereka lupa bahwa berita ini akan segera menyebar ke ranah publik.
Saya juga punya kisah serupa, tetapi lebih "sepele". Ini dia:
http://kormeddal.blogspot.com/2009/03/berita-bernasib-malang.html
langsung ke TKP. kayaknya neng achoe juga punya pengalaman buruk dengan radar. tulisannya dipublish tanpa konfirmasi
Posting Komentar