gusdur.net |
Yang di rumah juga hanyut dalam kedukaan. Tak bergeming menatap liputan live hampir semua TV. Baru kali itu, saya menyaksikan seorang tokoh nasional yang wafat memperoleh penghormatan yang mengharu biru. Perasaan saya yang sedang menonton TV tak kuasa meloncat-loncat mengikuti jenazah Gus Dur dibawa. Hingga perasaan terkubur juga dalam kedukaan yang dalam.
Impas. Gus Dur layak memperoleh penghormatan terahir dari yang menyayanginya. Sepanjang hidupnya, Gus Dur memang mendermakan untuk kepentingan orang banyak. Lintas agama, lintas suku dan lintas ras . Gus Dur dengan ikhlas menikmati tugas itu. Seakan lupa memikirkan dirinya. Bayangkan, dalam kondisi tidak sehat, menggunakan kursi roda, dan memiliki keterbatasan penglihatan –bersama istri tercintanya—keliling Indonesia, bahkan dunia.
Alissa dan Inayah –dua putri Gus Dur yang meneruskan pemikiran kulturalnya— menjadi saksi. Ketika hadir ke komunitas gusdurian di Sumenep Madura Agustus lalu, Alissa mengatakan, urusan keluarga menjadi nomer 4 bagi Gus Dur. Hidupnya dihabiskan untuk mengurusi tiga hal; Islam, NU, dan Indonesia.
Saya mencoba menyederhanakan pandangan Gus Dur tentang Islam, NU, dan Indonesia. Meski ketiganya sebenarnya saling terkait, tapi saya akan mendedahnya secara terpisah.
(Ke)Islam(an)
Pandangan keislaman Gus Dur yang mungkin rumit bagi sebagian orang, sebenarnya sangat “sederhana” jika dijangkarkan pada tradisi Islam Nusantara. Akarnya jelas menimba dari Islam yang dikembangkan wali songo dan para ulama yang ramah tradisi. Meski harus diakui, gagasan keislaman Gus Dur juga sangat eklektik, mengingat pengalaman Gus Dur berdialog dengan tradisi dan ideologi lain pasti turut membentuk pemikirannya. Das Kapital Karl Marx, misalnya, sudah dibaca habis ketika dia masih duduk di SMP.
Gus Dur pernah menggagas pribumisasi Islam. Inti gagasannya adalah menempatkan Islam tidak sebagai ideologi yang berhadapan dengan ideologi lain. Atau menjadikan Islam sebagai alternatif yang lepas dari konteks lokalitasnya. Sebaliknya, Gus Dur memelopori semangat keislaman yang membaur, saling menyerap, saling berdialog di dalam bingkai “Islam sebagai etika sosial”.
Dalam pandangan Gus Dur Islam juga harus mendorong transformasi sosial. Dia berujar :
“Islam tidak lagi cukup menjadi ekspresi keimanan sebagai Muslim untuk menegakkan ajaran formal Islam belaka, tetapi harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat yang tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan dan kepapaan yang menurunkan derajatnya sebagai makhluk yang mulia” (dikutip dari Ahmad Baso, 2006).
Nahdlatul Ulama (NU)
Di atas saya menyinggung, jika gagasan pribumisasi Gus Dur dijangkarkan pada pada tradisi Islam nusantara, semuanya menjadi “sederhana” dipahami. Dan pewaris Islam nusantara adalah NU, dimana Gus Dur dibesarkan dan tiga kali menahkodai, sebagai ketua PBNU.
NU sebagai organisasi keagamaan pewaris Islam Wali Songo memiliki karakter tawassuth (moderat), ta’adul (adil), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran). Karakter ini menjadi roh (pandangan) keagamaan dan kemasyarakatan NU. Karakter ini juga yang menjadikan NU ramah tradisi dan budaya di satu sisi, dan menjadi pengawal NKRI di sisi yang lain. Dalam sejarahnya, harus diakui, tak ada organisasi keagamaan yang setangguh NU dalam mengawal bangsa ini.
Yang paling fenomenal ketika dalam Muktamar di Situbondo 1984 NU memutuskan bahwa Pancasila dan NKRI adalah bentuk final dari perjuangan umat Islam Indonesia. Tak ada niatan bagi NU untuk mendirikan negara Islam. Salah seorang di belakang layar perumus keputusan itu adalah Gus Dur. Kebetulan pada muktamar waktu itu Gus Dur terpilih sebagai Ketua PBNU berduet dengan KH Ahmad Shidiq sebagai Rois Am.
Di tangan Gus Dur, NU menjelma menjadi organisasi keagamaan yang kritis terhadap pemerintah orde baru ketika itu. Yang paling panas pada muktamar NU di Cipasung tahun 1994. Kebetulan saya waktu itu masih kuliah di IAIN Jakarta dan menyempatkan hadir dalam muktamar yang saya rasa paling menegangkan.
Saat itu, Gus Dur langsung berhadap-hadapan dengan pak Harto. Bahkan rezim Orba saat itu berusaha sekuat tenaga agar Gus Dur tidak terpilih lagi. Tetapi toh ahirnya Gus Dur yang terpilih. Terpilihnya Gus Dur waktu itu dipersepsikan oleh banyak pengamat sebagai representasi kemenangan civil society, di saat hampir semua organisasi lain tiarap.
NU dimana Gus Dur dibesarkan turut membentuk pemikirannya. Sebaliknya pemikiran Gus Dur turut mendinamisir pemikiran segar di tubuh NU. Yang paling berhutang budi adalah kaum muda NU, dimana kebangkitan pemikirannya saat ini seperti tak bisa dibendung lagi. Dan hal ini tak bisa lepas dari Gus Dur yang memang menjadi ikon di kalangan kaum muda NU.
(ke)Indonesia(an)
Lokus perjuangan Gus Dur yang ketiga adalah Indonesia. Saya pikir tidak ada yang aneh karena Gus Dur memang seorang muslim Indonesia dan orang NU. Tipikal orang NU dimana-mana ya cinta tanah air.
Yang berbeda dari orang NU biasa, Gus Dur bukan sekedar cinta tanah air, tetapi mengawalnya. Gus Dur bukan sekedar cinta tanah air, tetapi menerjemahkannya dalam laku keseharian. Satu misal, Gus Dur bukan sekedar mengakui pluralitas masyarakat Indonesia, tetapi juga menjadi pelindung bagi kaum minoritas yang didhalimi.
Dalam konteks keindonesiaan inilah semua tema besar perjuangan Gus Dur kita harus tempatkan. Tema besar yang saya maksud adalah pluralisme, demokrasi, dan kemanusian.
Sebagaimana saya sebut di depan, bagi Gus Dur, NKRI dengan Pancasilanya adalah final. tak ada alasan apapun untuk menggantinya dengan ideologi lain. Karena jika dipaksakan maka Indonesia akan bubar.
Dalam menjaga keutuhan NKRI Gus Dur memang tidak main-main. Dalam acara Kick Andy, Gus Dur menjawab bahwa banyaknya kunjungan dia ke luar negeri ketika menjadi presiden tujuannya hanya satu: meloby dunia Internasional untuk keutuhan NKRI.
Penutup
Setahun sudah Gus Dur Wafat. Tetapi kehilangan atas kepergiannya tetap terasa degupnya hingga saat ini. Seorang tokoh yang hampir tak pernah memikirkan dirinya. Bahkan keluarga ia tempatkan di urutan keempat setelah 3 lokus di atas. Wajar jika semua orang lintas agama, suku, ras, dan golongan begitu mencintainya. Dan tentu saja meneruskan perjuangannya.
Rindu kami Gus...
Matorsakalangkong
Sumenep, hari wafat Gus Dur/30 Desember (2010)
Posting Komentar