Posted by rampak naong - -

Kekalahan telak timnas 3-0 atas Malaysia terasa menyesakkan. Sampai saat ini saya sendiri tidak percaya. Dengan materi yang semuanya baik di posisinya, ternyata tak cukup untuk membungkam Malaysia. Malah Malaysia dengan mudahnya bisa melesakkan 3 gol tanpa balas.
Saya tidak akan menganalisis faktor kekalahan dari sudut strategi yang dijalankan. Pun juga tidak akan mengungkit mental timnas yang begitu mudah jatuh paska protes sinar laser yang dilakukan supporter Malaysia. Semua saya rasa manusiawi. Sangat manusiawi. Strategi yang dijalankannya Riedl juga sudah benar.
Saya justru lebih suka menganalisis atmosfer yang kita cipta di luar sepak bola. Jika sudut pandang ini yang dipakai, bukan timnas yang salah, tapi kitalah yang salah. Kesalahan-kesalahan itu saya coba daftar di sini

  1. Kita berlebihan merespon kemenangan timnas pada babak penyisihan dan semifinal. Malah secara sembrono dihubung-hubungkan dengan kebangkitan nasionalisme. Akibatnya kita memberi beban berat pada timnas. Coba bayangkan, urusan tiket saja sudah bikin ribut. Tentu ringan atau berat, sikap kita yang berlebih merespon timnas pasti berpengaruh bagi mental pemain timnas sendiri.
  2. Media meliput timnas terjebak pada hyper-reality. Melampaui realitas yangsebenarnya. Setiap saat masyarakat Indonesia disuguhi berita tentang timnas yang gemesin. Dalam bentuknya yang hyper-real, realitas menjadi terdistorsi. Realitas dicairkan, dilelehkan, ditarik-tarik seperti gelang karet, dan ahirnya sibengkokkan. Coba bayangkan, aspek kehidupan pribadi pemain timnas dipertontonkan kepada halayak. Tokoh spiritual salah satu pemain, misalnya, juga diwawancarai. Tak jelas mana realitas yang sejatinya ditulis untuk kepentingan timnas, dan mana berita yang justru mendistorsinya. Sungguh campur aduk.
  3.  kesimpulan saya  kemudian adalah,  media bukan sekedar memberitakan realitas. Tetapi juga membentuknya. Opini masyarakat  tergiring. Respon masyarakat Indonesia yang berlebih bukan saja karena kemenangan timnas ketika berlaga di GBK Senayan, tetapi juga karena dibentuk media. Efek pemberitaan media terhadap timnas sejajar dengan infotainment. Penonton betul-betul dibuat termehek-mehek.
  4.  Kita sudah memosikan timnas sebagai  juara sebelum melangsungkan pertandingan final.  Perasaan ini dipelihara dalam kesadaran kita karena kita menyaksikan timnas bagitu perkasa selama babak penyisihan dan semifinal. Terus terang dalam derajat tertentu kita sombong dan pongah. Seakan kita mendahului takdir Tuhan.
  5.  Timnas ditempatkan oleh elit sebagai komoditi politik. Yang paling parah ketika timnas diundang ke rumah pak Aburizal Bakri dan disiarkan secara ekslusif oleh tvOne. Reidl saat itu diwawancari secara tele bersama Rajagopal, meski saya melihat Reidl seperti kurang senang. Terbukti dia saat itu ingin segera menyudahi wawancaranya. Satu lagi, penurunan tiket final leg kedua di Senayan yang diakui secara telanjang oleh Nordin Halid sebagai “perintah” Aburizal Bakri, juga bentuk lain dari politisasi timnas
Ahirnya secara terbuka kita harus meminta maaf pada Reidl dan Timnas. Anda sudah benar. Kamilah yang salah. Nasionalisme yang memuncah secara berlebih dan bahkan liar, akibat nasionalisme sudah mati di ranah lain, justru menjadikan kami lepas kontrol. Kami terlalu banyak menuntut. Kami terlalu banyak meminta. Tetapi bagaimanapun kami bangga. Meski kalah, Anda telah membangunkan nasionalisme kami yang telah lama tidur. Semoga masih ada terang di Senayan.