Posted by rampak naong - -

kompas.com
Pro-kontra Ujian Nasional (UN) kembali muncul. DPR RI mengeluarkan pernyataan tak akan menganggarkan UAN tahun ini jika Kemendiknas tetap bersikukuh UAN sebagai penentu kelulusan. DPR RI minta kemendiknas mengajukan formula baru UAN. Tapi pemerintah belum siap.

Sebenarnya sudah sejak lama penyelenggaraan UN –sebagai penentu kelulusan—menuai kritik dari para ahli  pendidikan, guru, orangtua, dan siswa sendiri. Dasar munculnya kritik ini bukan berangkat dari ruang kosong. Banyak fakta telanjang yang menjadi dasar kuatnya desakan agar UN segera dihapus. Pertama, UN telah mengangkangi UU pendidikan nasional yang memberi otonomi kepada lembaga pendidikan untuk berkreasi. Evaluasi yang didesain secara sentralistik sebenarnya telah menikam semangat UU pendidikan nasional itu sendiri.

Kedua, UN terjebak pada perangkap evaluasi instant. Proses pendidikan yang dengan berdarah-darah dan penuh keringat dijalankan selama 3 tahun, diperpendek menjadi 5 hari. Proses yang demikian panjang dibangun, dalam hitungan hari harus hancur. Fakta ini semakin mengukuhkan pribadi elit yang suka ”nerobos”. Lebih menghargai hasil dari pada proses.

Bayangkan, para siswa yang masih muda sudah diajari oleh para elitnya falsafah ”suka nerobos”, suka ”memerpendek”, dan ”lebih menghargai hasil”. Jadi, tak perlu disalahkan jika siswa juga ”makan buah terlarang”. Nyontek, dapat bocoran dari guru, dan praktik tidak sehat lainnya diaggap biasa. Saya melihatnya fakta ini sebagai ”akibat” ketimbang ”sebab”.

Ketiga, evaluasi yang sentralistik dan seragam telah menyederai keragaman dan keunikan masing-masing lembaga pendidikan. KTSP yang diharapkan bisa mengakomodasi lingkungan sosial-budaya dimana lembaga pendidikan berada, kembali tercerai-berai. Semangat KTSP sebenarnya cukup bagus untuk mengembalikan keragaman dan keunikan pendidikan yang diberangus oleh Orde Baru. Tapi akhirnya rontok juga oleh ”penerus Orde Baru”.

Keempat, sekolah sekarang tak ubahnya seperti lembaga kursus. Setiap hari siswa dilatih menjawab soal. Pengembangan karakter dan kepribadian harus dibuang jauh-jauh. Pendidikan sudah difinalkan menjadi ”transfer of knowledge” dalam pengertian yang paling sumir, MENJAWAB SOAL. inilah fakta yang saya yakini tidak diketahui oleh para birokrat pendidikan. Mereka tidak mengalami. Kebijakan yang mereka pertahankan matian-matian justru menikam jantung pendidikan. Mematikan. 

Kelima, UN betul bikin stress siswa. Pengakuan siswa, baru naik ke kelas XII yang muncul dalam pikiran mereka adalah UN. Akibatnya mereka kurang apresiatif terhadap pelajaran yang tidak di-UN-kan. Guru-guru pun banyak yang mengeluh. Kurang bergairah menunaikan tugas. Stress terus meningkat seiring waktu UN kian dekat. Siswa semakin tidak tertarik terhadap pelajaran yang tidak di-UN-kan.

Keenam, kesenjangan sarana dan prasarana antar sekolah di kota dan di desa. Disparitas sumber daya manusia (guru) antar-daerah, dan seterusnya.

Atas dasar di atas –dan bisa ditambah—banyak orang menginginkan UN dikubur saja. UN diakhiri. Tak ada guna mempertahankan UN yang menghabiskan lebih dari 600 milyar untuk tingkat MA/SMA/SMK saja. Alasan untuk mengendalikan dan meningkatkan mutu sulit dicapai. Masih banyak jalan lain. Saatnya sekarang UN dijadikan alat pemetaan saja. Titik, bukan koma.