Posted by rampak naong - -

kompas.com
11 pemain timnas yang main bola dengan sangat ngotot setiap pertandingan –termasuk malam ini— bagi saya sungguh mengharubirukan. Selesai melesakkan gol, Gonzales-pun tak tahan mencium lambang burung Garuda. Pada hal “el loco” baru saja memperoleh hak kewarnegaraan dalam hitungan minggu.
Boleh orang mempertanyakan nasionalismenya. Cuma perjuangan dia sejak lima tahun yang lalu untuk menjadi warga negara Indonesia, meyakinkan saya. Ia seorang sangat mencintai Indonesia.
Saya juga terharu melihat octa bermain bola dengan sangat cerdik. Mengecoh pemain lawan hingga terjatuh. Berlari turun-naik. Pasti, nasionalisme ikut menggerakkan kakinya. Kalaupun dia tidak bisa menyumbang gol atau memberi assist tapi pergerakannya sungguh merepotkan lawan.
Dia seakan menjawab keraguan banyak orang tentang papua. Baginya, sampai kapanpun papua tetap NRKI. Meski saya yakin ia akan sedih ketika ditanya tentang freeport.  Dia akan lunglai jika ditanya tentang kekerasan yang berlangsung di sana. Dia akan terenyuh melihat otonomi khusus tak juga menyejahterakan rakyat papua.
Sudahlah. Biarkan octa terus berlari. Dia masih muda. 20 tahun.  Dia perlu mematangkan lagi nasionalisme sepakbolanya. Kita kembali saja ke Gol  el loco yang disambut histeris ribuan penonton di GBK. Bahkan, gemuruh itu menyeruak ke pelosok nusantara. hinggap dalam kesadaran anak bangsa yang sedang mencari kembali arti  “menjadi Indonesia”.
Malam ini sekali lagi timnas sudah menerjemahkan permainan bola yang apik. Mengembalikan lagi kerinduan masyarakat Indonesia akan kejayaan sepakbola. Lebih dari itu, mereka juga sudah menerjemahkan nasionalisme ke dalam sepakbola. Meski masih sebatas nasionalisme yang menghibur. Atau nasionalisme hiburan. Karena tugas mereka memang pemain sepakbola.
Saya justru berpikir, seharusnya penguasa dan elit politik malu sama timnas PSII (maaf bukan PSII lho). Saya belum melihat mereka menerjemahkan nasionalisme  lebih-lebih kebijakan ekonominya, sampai detik ini.
Saya yakin semua tahu kebijakan ekonomi saat ini sangat liberal. Masalah impor pangan saja sungguh mencengangkan. Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun lebih devisa setiap tahun terkuras untuk mengimpor pangan (Kompas, 24 Agustus 2009). Makanya justru para elitlah yang seharusnya ditanyakan nasionalismenya. Seharusnya mereka malu sama tim PSII. Jadi, saran saya, jika penguasa menonton final sepakbola timnas-malaysia, tontonlah dengan melampaui-nya. Ayo bercermin!