Bagi orang Madura naik hajia dalah impian. Tanyakan sama orang Madura, jika usahanya sukses, apa impian dia. Jawabnya: NAIK HAJI. Seakan keislaman seseorang tidak lengkap jika belum naik haji.
Orang Madura seringkali mengibaratkan naik haji laksana perang. Di samping butuh beaya besar, naik haji membutuhkan kekuatan fisik dan mental-psikologis, sekaligus. Bayangkan. Satu bulan menjelang pemberangkatan, orang yang mau naik haji sudah harus menerima tamu. Siang-malam, pagi-sore. Para tamu datang untuk memberi dukungan spiritual. Mendoakan agar si calon pulang dengan selamat dan menjadi haji yang mabrur. Atau nitip didoakan, biar tahun berikutnya giliran para tamu yang dipanggil. Tentu saja si calon haji sudah harus terkuras tenaganya jauh sebelum berangkat.
Menjelang keberangkatan para tamu semakin membeludak. Puncaknya ketika mau berangkat. Ibarat orang mau perang, sebelum meninggalkan rumah si calon diadzani. Suasana ketika itu senyap. Hanya isak tangis keluarga, tetangga, dan sanak famili. Semua hanyut dalam kesenyapan sembari mendoakan agar si calon haji pulang dengan “kemenangan”. Menang membawa kemabruran. Menang dalam menaklukkan medan berat, terutama dalam menunaikan rukun dan syarat sah-nya haji.
Berikutnya ketika menuju lokasi pemberangkatan di kabupaten, si calon akan diantar oleh puluhan bahkan ratusan orang dengan iringan mobil. Bisa juga konvoi kendaraan bermotor. Hiruk-pikuk kendaraan roda empat dan dua lebur dalam kesenyapan do’a yang terus dimunajatkan untuk kemabruran dan keselamatan si calon.
Selama di tanah suci, para sanak famili dan tetangga setiap malam akan berkumpul di rumah si calon. Selama 40 hari mereka berdoa untuk keselamatan dan kemabruran si calon haji dengan membaca surah yasiin. Doa seperti hilir mudik antara rumah tinggal si calon-dan makkah. Melampaui batas-batas ruang dan waktu. Si calon haji menjadi dekat dengan sanak familinya di rumah kerena dimediasi dengan doa yang digelar sampai si calon haji tiba kembali di rumah. Tiap malam.
Menjelang datang, rumah sudah dihias. Tulisan “selamat datang dari tanah suci” di tempel di tembok rumah. Ada juga tulisan “semoga menjadi haji mabrur”. Atau kaligrafi yang mengambil ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan haji. Tentu bukan sekedar tulisan, di dalamnya tersirat doa.
Bahkan di rumah calon haji yang kebetulan kaya, suasana lebih meriah lagi. Tidak cukup tulisan, tapi mencoba menghadirkan nuansa makkah di rumah. Gambar ka’bah, onta, padang pasir dihadirkan dalam citra. Dalam dunia imagi. Orang-orang yang terlibat dalam “kesemarakan” penyambutan itu mencoba merasakan suasana makkah meski dalam dunia citra dan imagi.
Ketika datang, orang yang berkunjung ke rumah pak haji semakin banyak. Biasanya, pak haji akan dijemput oleh ratusan orang lengkap dengan mobil dan motor ke kabupaten. Dari kabupaten iring-iringan mobil dan motor itu membentuk konvoi. Paling depan barisan motor yang jumlahnya bisa ratusan—dibelakangnya mobil pak haji, kemudian berurutan mobil penjemput lainnya. Jika pak haji orang berada atau orang terhormat, panjang konvoi motor dan mobil penjemput itu bisa mencapai 1 km.
Saya yakin, hari pertama kedatangannya, pak haji tidak akan bisa tidur nyenyak. Para tamu mengalir sejak dari pagi, siang, atau malam. Tidak cuma lintas desa, tetapi lintas kecamatan. Para tamu datang sembari mendo’akan kemabruran pak haji, juga ingin mendengar perjalanan spiritualnya ke tanah suci. Terahir, giliran para tamu yang minta (di)do’a(kan) kepada pak haji, biar tahun depan giliran tamu yang ke tanah suci. Impas. Setelah 40 hari sejak kadatangannya, baru masa terima tamu ditutup.
Biasanya pak haji akan membagikan oleh-oleh. Setidaknya untuk para tamu tersedia kurma. Untuk keluarga dekat atau para sahabatnya bisa ditambah dengan tasbih, sajadah, siwak, atau kopiah putih.
Inilah cara orang Madura naik haji. Naik haji bagi orang Madura bukan sekedar ritual keagamaan, tetapi juga peristiwa budaya.
Matorsakalangkong
Sumenep, 22 November 2010
One Response so far.
wah, sangat terkejut dengan pernyataan 'peristiwa budaya'. wow...
Posting Komentar