Posted by rampak naong - -

kompas.com
Hari ini (18/4) serentak UN untuk tingkat SMA/MA/SMK  dan SMALB dilangsungkan di seluruh Indonesia. Secara nasional peserta yang  ikut UN berjumlah  2.442.599  dari 25.656  SMA/MA, SMK dan SMALB (baca di sini ). Pelaksanaan UN menghabiskan anggaran Rp. 587 miliar, termasuk didalamnya anggaran untuk pelaksanaan UN SMP/MTs/SMPLB yang akan diadakan akhir bulan ini (baca di sini)

UN yang dilangsungkan hari ini merupakan bentuk penyempurnaan dari UN tahun sebelumnya. Kemendiknas menyebut UN formula baru. Formulanya 60 % UN dan 40% mengambil dari nilai rapor dan hasil UAS (nilai sekolah). Kelulusan ditentukan oleh akumulasi dari hasil UN dan nilai sekolah, yang saat ini ditetapkan 5,5 dengan ketentuan nilai per bidang study minimal 4,00 (baca di sini)


Yang berbeda juga pada jumlah paket soalnya. Jika tahun sebelumnya hanya 2 paket soal, A dan B. Saat ini jumlahnya 5 paket soal plus 1 paket cadangan. Pembagian soal kepada siswa  dilakukan secara random. Cara ini dimaksudkan untuk menekan angka kecurangan. Diyakini, formula baru ini akan menghasilkan UN yang lebih jujur.

Meski tidak yakin, saya tidak akan mendiskusikan apakah formula baru ini bisa menghasilkan UN yang lebih jujur. Tetapi akan mendiskusikan konteks dan latar kenapa UN selalu saja dirayakan dengan kecurangan.

Secara pribadi, saya berpandangan kecurangan atau ketidakjujuran adalah tindakan yang melukai missi pendidikan itu sendiri. Karena itu  dari sudut pandang etis tidak bisa dibenarkan.  Tetapi, melihat praktek  pendidikan yang dikendalikan secara top-down oleh birokrasi pendidikan, saya sangat ‘memahami’ kenapa tindakan kecurangan itu dilakukan. Sekali lagi memahami bukan membenarkan.

Saya pernah berdiskusi dengan banyak kepala dan guru sekolah/madrasah –terutama yang swasta—di daerah pedesaan. Sekolah yang tidak memiliki fasilitas seperti sekolah di kota. Jangankan lab, mungkin tape recorder untuk mengajari listening saja tidak punya. Sekolah yang murid-muridnya kebanyakan dari keluarga tidak mampu. Sekolah yang gurunya mendidik dan mengajar penuh keikhlasan dan sepenuh hati, meski sering dianggap tidak professional oleh birokrasi pendidikan hanya karena ijazahnya mismatch.

Apa suara mereka? Mereka bilang bahwa tindakan kecurangan yang mereka lakukan terpaksa. Mereka melakukannya bukan tanpa konflik bathin. “Bayangkan pak, sejak masuk ke sekolah ini kita sudah menanamkan kepada siswa sikap kejujuran, tetapi ketika UN malah sekolah yang menikamnya. Seolah-olah nilai kejujuran yang kita tanam selama 3 tahun, tiba-tiba habis karena praktik kecurangan UN. Tapi kalau dibiarkan, siswa pasti ada yang tidak lulus”, kata seorang kepala sekolah ketika saya berdiskusi dengannya.

Belum lagi sekolah memiliki standar sendiri untuk meluluskan siswanya. Yang banyak di pedesaan, standar kelulusan tidak semata diukur dari prestasi akademisnya, tetapi juga dari prilaku akhlaknya. Prilaku akhlak ini bukan sepihak ditetapkan oleh sekolah, tetapi digali dari nilai, pandangan, dan budaya komunitas dimana sekolah itu didirikan dan dari mana siswa berasal. Bukankah sekolah didirikan salah satunya untuk menjawab kebutuhan komunitas? Bukankah komunitas adalah  main stakeholder pendidikan?

Ketika penentu kelulusan dilakukan secara top-down oleh birokrasi pendidikan, dimana kemudian hak sekolah untuk meluluskan? Formula baru UN dengan memberikan konsesi 40% terhadap sekolah tetap tidak menjawab pertanyaan di atas. Penentu kelulusan UN tetap di tangan birokrasi pendidikan. Yang lebih parah lagi penentu kelulusan tetap ‘tirani angka’. Di sinilah kesulitannya, karena UN tidak sanggup merekam jejak di luar angka seperti keperibadian dan prilaku akhlak siswa. Lha..dimana gagasan pendidikan karakter yang akhir-akhir ini santer digaungkan kemendiknas sendiri?

Di bawah tekanan konflik bathin, antara mempertahankan kejujuran sebagaimana yang ditanamkan kepada siswa dan keharusan siswanya untuk lulus, maka tindakan kecurangan dengan sangat terpaksa dilakukan. Di sinilah saya melihat, kecurangan yang dilakukan oleh sekolah/madrasah lebih merupakan akibat, ketimbang sebab. Sebabnya, karena standar kelulusan sangat sentralistik di tangan birokrasi pendidikan, meski dengan alasan penjamin mutu sekalipun.

Tentang UN yang ditentang, mereka punya analogi sendiri. Ibarat mau menjahit baju, masa baju yang akan kita  kenakan, diukur dan dijahit oleh orang di Jakarta yang gemuk dan kurusnya belum tentu sama?  

Memang ada sekolah/madrasah yang memiliki rencana, tidak mau memberikan ijazah kepada siswanya yang lulus UN, jika tidak memenuhi standar kelulusan sekolah itu sendiri. Tetapi itu juga urung dilakukan, karena jika lulus UN dalam pandangan siswa dan orang tuanya, juga lulus sekolah. Pernah ada kepala sekolah di daerah saya yang berurusan dengan polisi, gara-gara menahan ijazah siswa yang bermasalah. Saya berpandangan, dari sinilah hancurnya ligitimasi sekolah di hadapan komunitasnya dimulai. 

Belum lagi santer desas-desus bahwa sekolah/madrasah negeri yang fasilitasnya lengkap karena sepenuhnya dibeayai APBN/APBD juga melakukan kecurangan. Bahkan kabarnya RSBI dan RSBN juga sama. Nah, jika sekolah/madrasah swasta yang selama ini masih memperoleh perlakuan diskriminatif dari negara tidak melakukan kecurangan yang sama, ketika siswanya tidak lulus gampang distigma sebagai sekolah/madrasah yang tidak layak, gurunya tidak professional, dsb. Bukankah stigma ini menjadi beban bagi sekolah/madrasah swasta? Sementara sekolah yang kadung dicitrakan favorit, aman-aman saja, pada hal sama curangnya.

Iijinkan saya mengahiri tulisan ini dengan mengulangi pandangan saya di atas, bahwa ketidakjujuran/kecurangan yang dilakukan sekolah/madrasah dalam UN lebih merupakan akibat ketimbang sebab. Persoalannya jauh lebih rumit ketimbang sekedar niat untuk curang alias tidak jujur. Makanya meski tidak membenarkan, saya cukup memahami praktek kecurangan itu dilakukan. Walaupun idealnya, sekolah/madrasah tetap harus menempatkan kejujuran di atas segalanya.

2 Responses so far.

Anonim mengatakan...

100% yakin bahwa impian semua guru Indonesia saat ini adalah menghantarkan siswanya untuk lulus dan meraih prestasi dengan jujur dan adil, perbaikan UN yang selama ini dilakukan dapat dikata belum mencapai esensi permasalahan kenapa guru yang begitu arif tega2nya berbuat jahat yaitu ujian yang mampu menghargai kompetensi, skill dan perjuangan masing-masing pribadi siswa, menunggu guru bergerak melawan UN? cari mati namanya! memang begitulah nasib guru hingga kini, anak berhasil gak dipuji, anak gagal dicaci maki, guru jujur gak ada yang peduli, guru tak jujur masa depan bangsa yang dikebiri

rampak naong mengatakan...

substansi tulisan jelas, saya tidak menyetujui ketidakjujuran UN, tapi cukup memahami di sekolah-sekolah pedesaan yang fasilitasnya tidak sama harus diperlakukan seragam oleh negara dala soal UN. saya lebih setuju jika soal kelulusan dikembalikan kepada sekolah dan guru. pasti dijamin jujur.

terimakasih masukannya