Capek? Lelah? Kenapa kita tetap di(mem)buru keinginan (yang diam-diam kita samarkan maknanya menjadi kebutuhan)? Kenapa kita tetap di(mem)buru ketidakpuasan? Kenapa ketangguhan mental kita –lebih tepatnya saya— me(di)leleh(kan) oleh rasa ingin memiliki? Setelah memiliki, puaskah? Bahagiakah? Jika ia, kenapa kita berjibaku lagi dengan ketidakpuasan? Dan ketidakpuasan melahirkan rasa baru untuk memiliki? Harta, jabatan, tanah, istri/suami baru, mobil baru, motor baru, rumah baru, pakaian baru, atau kalau perlu memiliki pulau? Kenapa keinginan dan keserakahan kita kembali menggeliat setiap kali mendengar celoteh iklan justru ketika kita baru pulang dari hyper market, supermal, atau swalayan?
Betulkah jika rasa tidak puas dan keinginan untuk memiliki kita kendalikan atau kita babat habis sama sekali, sejarah akan berhenti berputar? Kebudayaan mandeg? Kemajuan macet? Perubahan terhenti? Apa sebenarnya diam-diam kita sudah mengaburkan makna tidak puas, kemajuan, dan perubahan dengan rakus? Bukankah bedanya tipis? Dan sejarah yang kita cipta dengan mengejar progress kita nyatakan sebagai kebutuhan? Kebutuhan siapa?
Tapi kenapa tiba-tiba kita rakus semua? Kenapa kita seakan tidak mau berbagi dengan sesama? Kenapa kita—seperti kata iklan—tidak senang melihat orang senang? Tidak susah melihat orang susah? Dan tiba-tiba saja kita terperangkap dalam mesin kerakusan? Setiap kali kita mencoba keluar, kita makin digiling dalam pusaran mesin kerakusan? Cepat...semakin cepat...tapi ternyata kita tidak ”muntah”, tidak ”pening”? Malah kita have fun, enjoy, dan gaul? Tanya, kenapa?
Kenapa kita tidak lagi peduli, berapa juta orang yang tidak makan hari ini? Berapa juta petani yang kekurangan air, seperti di daerah saya, sementara pada saat bersamaan perusahan air kemasan tidak habis-habisnya menjajakan produknya? Berapa ratus ribu ibu meninggal ketika melahirkan? Berapa ratus ribu bayi yang mengalami gizi buruk? Berapa juta anak-anak harus putus sekolah?
Apakah hakikat manusia memang rakus? Atau ada kekuatan besar di luar kita yang mendorong kita rakus? Apakah itu? Kapitalisme globalkah? Neo-liberalkah? Lalu kemana la(ka)wannya, sosialisme? Atau dimana kita posisikan agama?
Atau kita akan benarkan agama (di)tampil(kan) garang, dan ahirnya masuk dalam siklus kerakusan juga? Atas nama jihad, ngebom sana-sini? Atas nama Islam, menjadi bala tentara Tuhan, menghajar orang yang berbeda? Atas nama ideologinya, tidak toleran terhadap ideologi dan keyakinan yang berbeda? Atas nama dakwah, semua orang mau diseragamkan? Meski mereka haqq al yaqien, klaimnya untuk membahagiakan umat manusia? Dan mengikuti ideologi mereka, adalah solusinya?
Atau seperti kecenderungan masyarakat modern, datang ke spa untuk melakukan relaksasi? Ikut klub yoga? Wisata Kuliner? Atau melancong ke tempat-tempat eksotik, menikmati hiburan tradisional? Sehingga di tangan pebisnis dan penguasa, yang tradisional perlu diawetkan kemudian ditawan untuk kepentingan memenuhi selera pelancong? Begitukah memperlakukan tradisi?
Atau yang marak ahir-ahir ini, wisata spiritual? Atau dzikir bareng sambil disiarkan secara live di televisi? Atau tinggal mengetik REG kirim ke bla-bla-bla-bla? Dan sim sala bim, kebahagian jatuh, seperti durian runtuh?
Capek? Lelah? Bukankah kita harus tetap memburu kebahagian? Bukankah yang kita buru bukan hanya bahagia di ”sini” saja, tetapi juga di ”sana”? Tetapi bagaimana caranya? Lho...saya juga nanya kok?
Posted by rampak naong
-
-
Posting Komentar