Hadirnya si kecil di rumah pasti memberi nuansa berbeda. Kehadirannya mampu membetot seluruh perhatian penghuni rumah tertumpu kepadanya. Kadang si kecil membawa keajaiban. Meski dilakukan secara pasif, ia mampu memediasi konflik antara suami dengan istri, istri/suami dengan mertua, atau besan dengan besan. Ya dalam kasus-kasus tertentu yang berat sekalipun, si kecil mampu menjadi juru selamat.
Sebagai seroang anak yang lahir dalam keaadaan fitri, si kecil seakan menampar secara halus prilaku orang dewasa. Si kecil seakan menjadi kaca besar yang menjadi cermin prilaku orang dewasa yang berlumuran salah dan dosa. Bahkan dalam derajat tertentu, si kecil menjadi penyedot segala sifat Iri, dengki, dendam, kemauan menang sendiri, dan segala sifat jelek lainnya yang terkadang terserap ketika melihat kepolosan si kecil.
Itulah keajaiban si kecil. Sosok yang belum tercemari kepentingan. Apa yang dia rasa, pikirkan, dan lakukan merupakan suara kepolosan dan kejujuran. Jika bilang ya, itu murni suara batinnya. Jika ia bilang tidak, itu juga murni suara kesuciannya. Makanya, si kecil tak butuh citra hanya untuk membungkus apa yang mau dikatakan, dipikirkan, atau pun yang akan dilakukan.
Orang desa percaya si kecil selalu didampingi Malaikat. Banyak sekali kisah, di tengah bencana –seperti tsunami di Mentawai tahun lalu—keajaiban selalu menemani si kecil. Di tengah orang dewasa tak kuasa menahan hempasan dan amukan bencana, justru si kecil yang lemah dan tak berdaya malah selamat. Banyak juga kejadian, dalam kecelakaan di jalan, orang dewasa meninggal, justru si kecil selamat.
Yang paling sering dialami orang tua, ketika si kecil jatuh dari atas tempat tidur. Secara nalar, si kecil seharusnya remuk, minimal anggota tubuhnya patah. Tetapi ternyata tidak. Malah tak ada sedikitpun memar. Jadi wajar, jika orang desa percaya bahwa ada kekuatan tak tampak yang mendampingi dan melindungi si kecil.
Yang paling sering dialami orang tua, ketika si kecil jatuh dari atas tempat tidur. Secara nalar, si kecil seharusnya remuk, minimal anggota tubuhnya patah. Tetapi ternyata tidak. Malah tak ada sedikitpun memar. Jadi wajar, jika orang desa percaya bahwa ada kekuatan tak tampak yang mendampingi dan melindungi si kecil.
Bagi saya, kejernihan batin dan kebersihan hati manusia bisa diukur dari seberapa jauh dia memedulikan si kecil. Batinnya bergetar saat melihat kepolosan dan kejujuran si kecil. Menangkap keajaiban dan kekuatannya yang tersimbunyi di dalam batinnya yang suci dan tak tercemari oleh kepentingan. Belajar terus-menerus menyingkap makna yang selalu ia ajarkan dalam suara sama: fitrah. Di sinilah sulitnya. Untuk bisa menyingkap dan menangkap makna ini dibutuhkan kesederhanaan dan kerendahatan hati untuk menghilangkan segala ego dan kepentingan yang menghalangi kita masuk dalam fitrahnya.
Silahkan sekali-kali tatap si kecil dengan kepenuhan hati yang ikhlas dan singkirkan segala ego dan kepentingan kita, maka di situlah kita akan menemukan si kecil tidak saja seonggok daging yang mewujud di hadapan kita. Kemanusiaan kita seakan dikuliti. Diiris oleh fitrah si kecil yang pada saat bersamaan balik mengajari kita, bahwa kita sudah terlalu jauh keluar dari fitrah kita sebagai manusia.
Sebaliknya, bandingkan dengan tatapan pada si kecil tanpa kepenuhan hati yang ikhlas, tetapi penuh dengan ego dan kepentingan, si kecil tak lebih dari seonggok daging yang kita klaim “milik” kita. Sejajar dengan benda-benda lain yang juga “milik” kita. Pada tahap inilah, menurut saya, peristiwa seputar kisruh memperebutkan si kecil akibat orangtuanya (akan) bercerai, misalnya, merupakan contoh kegagalan kita belajar dari fitrah si kecil.
Sungguh kita semua tak sepenuhnya memahami, gejala apakah ini ketika bayi dibuang, anak dimutilasi, diperkosa, dan ditelantarkan. Banyaknya peristiwa tragis yang menimpa anak-anak, apakah sebenarnya gambaran dari makin hilangnya fitrah kemanusiaan kita?
Belum lagi perilaku kita sebagai orang tua sama si kecil. Mulai sejak dimanja, tidak dipedulikan, dipaksa menjadi lucu (mulai memilihkan pakaian lucu, gaya rambut lucu, dsb), dididik dengan materi tetapi tidak dengan rohani, dididik tanpa kasih sayang, dididik dalam suasana panas dan penuh konflik, dididik dengan penuh amarah dan kebencian, dididik dengan aneka ragam kursus, sampai dididik menjadi gambaran orang tuanya adalah gambaran kegagalan menyingkap makna fitrah si kecil dan fitrah kita sekaligus.
Silahkan sekali-kali tatap si kecil dengan kepenuhan hati yang ikhlas dan singkirkan segala ego dan kepentingan kita, maka kita akan menyingkap banyak makna, tidak saja makna fitrah si kecil, tetapi fitrah kita juga. Kita seakan berjumpa dengan keajaiban sosok lemah tetapi didampingi oleh beribu malaikat. Terus terang, sampai di sini saya merasa gagal melakukannya.
Posting Komentar