google.com |
“Bu guru…(ibu teman adel memang gurunya ketika TK) tadi zen pamer “burungnya” di kelas bu?”, kata anak saya. Ibu zen kaget. Langsung dia memanggil anaknya untuk ditanyai.
Mendengar cerita istri saya itu terus terang perasaan saya khawatir. Ah..jangan-jangan anak perempuan saya melihat “burung” temannya. Saya bertanya sama istri, “ kok adel mengenal istilah “burung” ya?”
“Mungkin adel mendengar pas saya menyebut “burung” abed, adiknya,” jawab istri saya. Abed, laki-laki, adalah anak kami yang kedua.
Waduh…rupanya istri saya menggunakan istilah kurang bijak. Saya berpikir bisa kacau konsepsi anak tentang burung. Jika ia melihat burung yang asli, pikirannya akan dikacaukan oleh “penampilan burung yang tidak asli”.
Saya tanya lagi, “emang pas teman lakinya di sekolah pamer burung, semua cewek di kelasnya ngeliat?”
“gak tahu ba…,”kata istri saya singkat.
Ketika saya makan bareng sama adel saya mengintrogasi pengalamannya soal “burung” teman laki-lakinya yang dipamerkan di kelas.
“Tadi ada cerita apa di sekolah?”
“gak ada cerita apa-apa ba…”, kata adel
“gak..katanya zen, teman adel…..”
“ ya ba…tadi zen, alif, sama roy saling pamer “burungnya” di kelas”, kata adel memotong pembicaraan saya.
“pamer burung?”
“Ya ba…”
“kok gak tahu malu sih…?”, pancing saya.
“Iya tuh gak tahu malu. Ketawa-ketawa lagi”.
“terus yang lainnya ngeliat ya…?”.
“gak ba…zen, alif, dan roy saling pamer bertiga. Itu ba…celananya dibuka dikit…terus dipamerin sama yang lain”.
Syukur. Itu ucapan saya dalam hati ketika adel menjelaskan kalau anak saya, termasuk temannya yang lain tidak melihat.
“Nak…perbuatan teman adel itu gak bagus. Itu gak boleh dipamerin. Itu harus dirahasikan”.
“gitu ya ba..”
“ ya dong…termasuk adel kalau mau mandi yang bagus baju dibuka di dalam kamar mandi. Malu dong kalau telanjang di luar. Jangankan sama orang lain, sama baba pun harus malu”, kata saya.
Lesson Learned
Meski tidak sampai ke tingkat panik, saya cukup hawatir juga ketika mendengar cerita anak saya. Tapi ketika ia menjelaskan perasaan sedikit tenang. Sebenarnya kehawatiran saya bukan sekedar persoalan ini, tapi menyangkut bagaimana pendidikan seks mau diajarkan sejak dini? Bagaimana metodologinya? Hal-hal apa saja yang penting untuk dikenalkan pada usia anak-anak?
Terus terang karena dipengaruhi kultur masyarakat pedesaan, kadang saya risih menjelaskan masalah seks terhadap anak. Termasuk ketika menjelaskan alat reproduksi. Makanya saya memahami kalau istri saya menggunakan istilah “burung”. Mungkin dia juga risih. Meski saya sadar istilah itu kurang bijak karena akan mengacaukan persepsi anak tentang konsep “burung”.
Melihat perkembangan saat ini dimana masalah seks sudah bukan hal tabu dibicarakan, diberitakan, dipertontonkan dan dengan mudah bisa diakses melalui media informasi tentu harus disikapi secara bijak. Mendidik anak saat ini, saya sadar, sangat berbeda dengan zaman saya masih anak-anak. Tetapi merubah mindset terutama menyangkut pendidikan seks butuh proses, karena pengalaman saya memang tidak mudah.
Saya pernah membaca sebuah tulisan yang menjelaskan hasil penelitian di masyarakat eropa (lupa sumbernya). Menurut hasil penelitian itu, ternyata mendidik anak untuk pantang melakukan seks bebas lebih berhasil ketimbang mengenalkan pendidikan seks. Dalam tulisan itu memang tidak dijelaskan bagaimana metodologi mendidik anak untuk pantang melakukan seks bebas.
Namanya anak-anak ya…sesama burung dipamerkan. Meskipun dalam hati saya berujar, “Nak…kok saling pamer burung sih…”
Posting Komentar