Tahun ini merupakan tahun musibah bagi partai demok(a)rat, partai penguasa ini. Deraan datang silih berganti. Bertubi-tubi. Saya melihat demok(a)rat agak babak belur. Belum selesai satu masalah, muncul masalah lain. Dan sepertinya masalah itu saling terajut dan berkaitan.
Tergantung cara pandang kita, dari mana deraan ini bermula. Bagi petinggi pertai ini—misalnya sby sebagai ketua dewan Pembina—dengan gamblang menunjuk “ luar” sebagai asal deraan datang. Ia menyebut pers yang suka mempetacompli, memantik konflik dengan berdasar atas sas-sus BBM atau SMS. Atau bisa juga atmosfer politik di tanah air yang terus menggelegak. Seiring makin mendekatnya pemilu tahun 2014 dimana rotasi kekuasaan akan terjadi lagi.
Kalau saya, sebagai orang yang tinggal di kampung, justru melihat asal mula deraan musibah yang bertubi-tubi justru muncul dari “dalam”. Dari internal partai demok(a)rat sendiri. Tentu saya bilang begini, bukan berarti menutup sama sekali konteks hiruk-pikuk politik di luar yang pasti juga mempengaruhi “jeroannya” partai demok(a)rat.
Saya hanya ingat petuah tetua di kampung, “mon ecapo’ musibah tapet dadana dibi’, ja’ napet dadana pate’, manna esalbak” (kalau kena deraan musibah, usap dada sendiri. Jangan justru mengusap dada anjing, biar tidak disantap olehnya). Kira-kira partai demok(a)rat harus instropeksi ke dalam. Kalkulasi ulang system politik yang dibangun, mekanisme pengambilan keputusan, koordinasi dan konsolidasinya, langkah-langkah dan prilaku politik (kader)-nya, junjung etika, dan seterusnya. Daripada menyalahkan pihak luar, meski pihak luar salah sekalipun.
Inilah awal deraan itu
Partai demok(a)rat adalah partai baru. Tapi kehadirannya mencengangkan karena mampu menjadi the ruling class dalam beberapa tahun terakhir ini. Sayang, kemampuannya menjadi partai besar dan berkuasa menjadikannya banyak melakukan blunder karena alasan sebagaimana berikut :
Pertama, kebesaran partai demok(a)rat sangat instant. Diperolehnya tanpa melalui proses panjang dengan basis yang betul-betul mengakar. Dukungan public pada pemilu tidak dibarengi dengan pelabuhan ideology partai yang menghunjam. Akibat yang paling nyata dari besar secara instant adalah “kepanikan” mengelola basis dukungannya, mengelola partainya, dan mengelola kekuasaan yang diperolehnya. Bagaimana pun juga kemampuan mengelola tiga hal itu membutuhkan pengalaman yang tidak tiba-tiba, tetapi harus belajar secara terus menerus sambil mematangkan ideology partai sebagai roh yang bisa menggerakkan.
Kedua, partai demok(a)rat tertawan pada satu figure yang posisinya sangat powerful, yaitu SBY. Sayangnya SBY dengan wewenangnya yang sangat kuat itu, tidak mampu mendayagunakan untuk melakukan konsolidasi partainya untuk kemudian mentransformasikan pada kekuasaan yang betul-betul memihak rakyat. Alasan saya sederhana, partai penguasa yang tidak terkonsolidasi dengan baik diragukan bisa melakukan transformasi kekuasaan dimana dalam praktiknya harus di share dengan kekuatan-kekuatan politik yang lain.
Ketiga, partai demok(a)rat ibarat pohon pepaya yang berdiri tegak tetapi sekali tebas tumbang karena kropos di dalam. Inilah yang selalu disebut oleh banyak orang sebagai akibat dari politik citra yang begitu menyatu pada partai demok(a)rat dan petinggi-petingginya, termasuk SBY. Citra itu gampang menguap. Karena citra tak menjejak di bumi.
Keempat, ceroboh dalam melakukan rekruitmen kader. Kadang saya maklum, karena partai untuk menopang kebesarannya dengan instant menarik kader yang “sudah jadi” ketimbang melakukan kaderisasi. Di tambah lagi dengan belum menguatnya proses ideologisasi partai, kader yang “sudah jadi” itu tidak bekerja atas dasar ideology, tetapi lebih pada kepentingannya sendiri.
Kelima, kader partai demok(a)rat seperti pemain sinetron. Pernyataan antar kader seperti menampilkan sosok protagonist dan antagonist sekaligus. Lihat bapak kita begitu manis bersuara, atau anas urbaningrum yang lemah lembut berbicara, tetapi lihat juga sang antagonist seperti Ruhut yang berbicara ceplas-ceplos menabrak etika. Layaknya sinetron saya yakin semua ini by design bukan by nature.
Keenam, partai demok(a)rat tidak memiliki kapasitas (sebenarnya lebih tepat komitmen) merealisasikan janji-janjinya. Tiadanya komitmen ini jika dilacak lebih mendalam terletak pada absennya ideologi tadi. Ideology yang menggerakkan. Ideology yang memihak rakyat. Ideology yang memberi arah kemana partai dan kekuasaan harus diarahkan. Saya menyebutnya, partai demok(a)rat bergerak tanpa roh.
Jika partai demok(a)rat tak mampu melakukan refleksi habis-habisan terhadap deraan dan musibah bertubi-tubi, melongok ke dalam, tetapi malah melempar deraan itu ke luar, lambat atau cepat, partai demok(a)rat akan karat. Seperti perabotan istri saya, jika karat dilempar saja ke tempat sampah.
Tergantung cara pandang kita, dari mana deraan ini bermula. Bagi petinggi pertai ini—misalnya sby sebagai ketua dewan Pembina—dengan gamblang menunjuk “ luar” sebagai asal deraan datang. Ia menyebut pers yang suka mempetacompli, memantik konflik dengan berdasar atas sas-sus BBM atau SMS. Atau bisa juga atmosfer politik di tanah air yang terus menggelegak. Seiring makin mendekatnya pemilu tahun 2014 dimana rotasi kekuasaan akan terjadi lagi.
Kalau saya, sebagai orang yang tinggal di kampung, justru melihat asal mula deraan musibah yang bertubi-tubi justru muncul dari “dalam”. Dari internal partai demok(a)rat sendiri. Tentu saya bilang begini, bukan berarti menutup sama sekali konteks hiruk-pikuk politik di luar yang pasti juga mempengaruhi “jeroannya” partai demok(a)rat.
Saya hanya ingat petuah tetua di kampung, “mon ecapo’ musibah tapet dadana dibi’, ja’ napet dadana pate’, manna esalbak” (kalau kena deraan musibah, usap dada sendiri. Jangan justru mengusap dada anjing, biar tidak disantap olehnya). Kira-kira partai demok(a)rat harus instropeksi ke dalam. Kalkulasi ulang system politik yang dibangun, mekanisme pengambilan keputusan, koordinasi dan konsolidasinya, langkah-langkah dan prilaku politik (kader)-nya, junjung etika, dan seterusnya. Daripada menyalahkan pihak luar, meski pihak luar salah sekalipun.
Inilah awal deraan itu
Partai demok(a)rat adalah partai baru. Tapi kehadirannya mencengangkan karena mampu menjadi the ruling class dalam beberapa tahun terakhir ini. Sayang, kemampuannya menjadi partai besar dan berkuasa menjadikannya banyak melakukan blunder karena alasan sebagaimana berikut :
Pertama, kebesaran partai demok(a)rat sangat instant. Diperolehnya tanpa melalui proses panjang dengan basis yang betul-betul mengakar. Dukungan public pada pemilu tidak dibarengi dengan pelabuhan ideology partai yang menghunjam. Akibat yang paling nyata dari besar secara instant adalah “kepanikan” mengelola basis dukungannya, mengelola partainya, dan mengelola kekuasaan yang diperolehnya. Bagaimana pun juga kemampuan mengelola tiga hal itu membutuhkan pengalaman yang tidak tiba-tiba, tetapi harus belajar secara terus menerus sambil mematangkan ideology partai sebagai roh yang bisa menggerakkan.
Kedua, partai demok(a)rat tertawan pada satu figure yang posisinya sangat powerful, yaitu SBY. Sayangnya SBY dengan wewenangnya yang sangat kuat itu, tidak mampu mendayagunakan untuk melakukan konsolidasi partainya untuk kemudian mentransformasikan pada kekuasaan yang betul-betul memihak rakyat. Alasan saya sederhana, partai penguasa yang tidak terkonsolidasi dengan baik diragukan bisa melakukan transformasi kekuasaan dimana dalam praktiknya harus di share dengan kekuatan-kekuatan politik yang lain.
Ketiga, partai demok(a)rat ibarat pohon pepaya yang berdiri tegak tetapi sekali tebas tumbang karena kropos di dalam. Inilah yang selalu disebut oleh banyak orang sebagai akibat dari politik citra yang begitu menyatu pada partai demok(a)rat dan petinggi-petingginya, termasuk SBY. Citra itu gampang menguap. Karena citra tak menjejak di bumi.
Keempat, ceroboh dalam melakukan rekruitmen kader. Kadang saya maklum, karena partai untuk menopang kebesarannya dengan instant menarik kader yang “sudah jadi” ketimbang melakukan kaderisasi. Di tambah lagi dengan belum menguatnya proses ideologisasi partai, kader yang “sudah jadi” itu tidak bekerja atas dasar ideology, tetapi lebih pada kepentingannya sendiri.
Kelima, kader partai demok(a)rat seperti pemain sinetron. Pernyataan antar kader seperti menampilkan sosok protagonist dan antagonist sekaligus. Lihat bapak kita begitu manis bersuara, atau anas urbaningrum yang lemah lembut berbicara, tetapi lihat juga sang antagonist seperti Ruhut yang berbicara ceplas-ceplos menabrak etika. Layaknya sinetron saya yakin semua ini by design bukan by nature.
Keenam, partai demok(a)rat tidak memiliki kapasitas (sebenarnya lebih tepat komitmen) merealisasikan janji-janjinya. Tiadanya komitmen ini jika dilacak lebih mendalam terletak pada absennya ideologi tadi. Ideology yang menggerakkan. Ideology yang memihak rakyat. Ideology yang memberi arah kemana partai dan kekuasaan harus diarahkan. Saya menyebutnya, partai demok(a)rat bergerak tanpa roh.
Jika partai demok(a)rat tak mampu melakukan refleksi habis-habisan terhadap deraan dan musibah bertubi-tubi, melongok ke dalam, tetapi malah melempar deraan itu ke luar, lambat atau cepat, partai demok(a)rat akan karat. Seperti perabotan istri saya, jika karat dilempar saja ke tempat sampah.
Posting Komentar