Seorang teman saya cerita, “teller di lembaga keuangan mikro itu ramahnya bukan main. Tiap saya melakukan transaksi di sana, ia selalu tersenyum. Tapi ketemu di luar kantor, jangankan menyapa, senyum saja juga tidak.”
Mendengar ceritanya saya tertawa. Meski dalam hati sebenarnya sedih. Maaf bukan membenarkan, jika di kota saya masih maklum.Tapi ini di desa. Dimana senyum begitu mudah dilihat. Bertebaran menghiasi wajah hampir semua orang.
Urusan senyum ternyata makin tidak sederhana. Makin pelik dan rumit. Akhir-akhir ini orang tiba-tiba semakin malas tersenyum. Seolah senyum barang mahal, karena itu dimahalkan juga untuk sembarang diumbar. Akibatnya bisa kita saksikan. Orang-orang seperti berada dalam dunia yang kaku. Kering. Tak bergairah.
Tentu kita bisa lebih jauh mempertanyakan, kenapa senyum makin mahal? Kenapa orang kehilangan gariah untuk tersenyum? Jawabannya saya rasa karena kehidupan kita saat ini telah menyingkirkan yang personal dan emosional. Formalisme yang mencederainya. Wajar jika senyum tidak lagi menebar. Karena basisnya untuk tumbuh sudah dijungkalkan.
Akibatnya manusia modern ringkih dalam kesendirian. Ringkih dalam keterasingan. Orang-orang yang bertemu dalam sebuah lokus, entah di angkot, jalan, pasar, dsb semua menampilkan wajah yang pucat. Kehilangan gairah untuk intim dan berinteraksi. Saling enggan bertegur sapa, baik verbal maupun simbolik.
Sial memang. Setiap orang yang berpapasan sepertinya diposisikan sebagai “the others”. Orang lain. Asing. Atau dalam derajat yang lebih menghawatirkan dianggap sebagai “musuh” dan “pesaing”. Dalam kesadaran dan kondisi bathin seperti ini saya pikir sulit mengharapkan senyum menebar. Karena senyum butuh spirit, keikhlasan berbagi.
Nah dalam kekosongan senyum yang ikhlas dan apa adanya, dengan cerdas kepitalisme justru merebutnya. Tidak dalam rangka menggairahkannya, tetapi malah menjualnya. Maka bisa kita saksikan senyum-senyum tak menggetarkan muncul dimana-mana. Di bank, hotel, atau pusat bisnis senyum terus didaur ulang dan direproduksi lepas dari sesuatu yang bersifat personal dan emosional. Ya kira-kira, menyusupkan senyum dalam rangka mengakomulasi modal.
Mungkin kita perlu belajar senyum pada anak-anak. Senyum tulus. Karena jauh dari pamrih dan kepentingan.
Mendengar ceritanya saya tertawa. Meski dalam hati sebenarnya sedih. Maaf bukan membenarkan, jika di kota saya masih maklum.Tapi ini di desa. Dimana senyum begitu mudah dilihat. Bertebaran menghiasi wajah hampir semua orang.
Urusan senyum ternyata makin tidak sederhana. Makin pelik dan rumit. Akhir-akhir ini orang tiba-tiba semakin malas tersenyum. Seolah senyum barang mahal, karena itu dimahalkan juga untuk sembarang diumbar. Akibatnya bisa kita saksikan. Orang-orang seperti berada dalam dunia yang kaku. Kering. Tak bergairah.
Tentu kita bisa lebih jauh mempertanyakan, kenapa senyum makin mahal? Kenapa orang kehilangan gariah untuk tersenyum? Jawabannya saya rasa karena kehidupan kita saat ini telah menyingkirkan yang personal dan emosional. Formalisme yang mencederainya. Wajar jika senyum tidak lagi menebar. Karena basisnya untuk tumbuh sudah dijungkalkan.
Akibatnya manusia modern ringkih dalam kesendirian. Ringkih dalam keterasingan. Orang-orang yang bertemu dalam sebuah lokus, entah di angkot, jalan, pasar, dsb semua menampilkan wajah yang pucat. Kehilangan gairah untuk intim dan berinteraksi. Saling enggan bertegur sapa, baik verbal maupun simbolik.
Sial memang. Setiap orang yang berpapasan sepertinya diposisikan sebagai “the others”. Orang lain. Asing. Atau dalam derajat yang lebih menghawatirkan dianggap sebagai “musuh” dan “pesaing”. Dalam kesadaran dan kondisi bathin seperti ini saya pikir sulit mengharapkan senyum menebar. Karena senyum butuh spirit, keikhlasan berbagi.
Nah dalam kekosongan senyum yang ikhlas dan apa adanya, dengan cerdas kepitalisme justru merebutnya. Tidak dalam rangka menggairahkannya, tetapi malah menjualnya. Maka bisa kita saksikan senyum-senyum tak menggetarkan muncul dimana-mana. Di bank, hotel, atau pusat bisnis senyum terus didaur ulang dan direproduksi lepas dari sesuatu yang bersifat personal dan emosional. Ya kira-kira, menyusupkan senyum dalam rangka mengakomulasi modal.
Mungkin kita perlu belajar senyum pada anak-anak. Senyum tulus. Karena jauh dari pamrih dan kepentingan.
Posting Komentar