Istri saya tadi sore cerita, anak kami, Najmi al-adiliyah –kami panggil adel— (8 tahun) sepulang sekolah tadi siang tiba-tiba menyerahkan uang 4 ribu rupiah.
“ummi, nih uang dari adel buat beli lauk,” katanya berlagak kaya.
Istri saya tentu saja kaget. Tumben anak kami memberi uang, sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.
“Uang ini dapat dari mana?” istri saya mulai introgasi.
“Itu hasil menggambar adel yang dijual mi,”
“lha..kok laku, siapa yang beli?,” Tanya istri saya lagi.
“Di jual sama anak kelas satu mi,” jawab anak kami polos.
“kok dijual, kenapa gak dikasihkan saja.”
“kata baba gak apa-apa kok dijual.”
“Dijual berapa?”
“ 500 ratus rupiah mi.”
Salah satu kegemaran anak kami memang menggambar. Untuk menyemangatinya, setiap hari minggu saya selalu memberinya kompas minggu yang ada lembaran untuk anak. Melihat gambar yang dimuat di kompas, ia menyuruh saya untuk mengirimkan hasil gambarnya ke Kompas. Tetapi sampai detik ini saya belum mengirimkannya, berhubung gambar yang dihasilkan saya menganggapnya masih belum layak.
Seperti biasanya, Kemarin anak kami menggambar. Ada dua gambar yang dihasilkannya. Ia menyuruh saya untuk mempfotokopikan. Ketika saya tanya untuk apa difotokopi, ia bilang mau dijual sama teman-temannya. Waktu itu sebenarnya saya tidak secara jelas membolehkannya untuk menjual hasil menggambar. Mungkin karena tidak jelas itu, ia berpikir saya menyetujui.
Karena saya tidak sempat memfotokopi, rupanya ia bikin lagi gambar yang banyak. Tanpa bilang lagi sama saya dan istri, hasil menggambarnya ia jual kepada anak kelas satu MI. Ia sendiri kelas dua. Gambar yang ia bikin yang berjumlah empat, ternyata laku semua.
Gagasan menjual hasil menggambar, bukan asli gagasan anak saya. Ia meniru temannya yang lebih dulu menjual gambar. Cuma bedanya, kalau temannya menghargai 250 rupiah, anak saya 500 ratus rupiah.
Tadi sore ketika istri saya cerita sama saya, ia sedang semangat menggambar . Katanya besok mau dijual sama teman-temannya.
Secara santai saya diskusikan masalah ini sama istri. Sambil ketawa karena anak kami berhasil “menipu” adik kelasnya, kami sampai satu pertanyaan, apakah baik jika anak kecil berbisnis?
Terus terang, kami hawatir, anak kami jadi mata duitan. Berbisnis waktu kecil jangan-jangan bisa mengganggu perkembangan psikologisnya, karena bisnis melibatkan uang, sehingga jika ia tidak matang secara psikologis, bisa terperangkap dalam pandangan “uang segalanya”.
Berdasar atas pertimbangan itu, saya dan istri sepakat, sebaiknya uang hasil penjualan gambarnya diberikan kembali kepada temannya besok. Sementara gambar yang ia hasilkan akan kami anjurkan untuk dikasih saja. Dengan begitu, ia bisa belajar berbagi.
Entahlah, mungkin Anda punya pendapat lain, baguskah kecil-kecil berbisnis? Saya sangat berterimakasih jika ada yang bisa berbagi dengan saya.
Posting Komentar