Secara berkala sekola di semua jenjang harus diakreditasi. Akreditasi dilakukan oleh sebuah lembaga independen yang Badan Akreditasi Nasional (BAN). Untuk memudahkan proses kerjanya, BAN dibatu oleh Badan Akreditasi Propensi (BAP).
Akreditasi dilakukan untuk menjamin dan mengendalikan mutu sekolah sesuai dengan 8 standar pendidikan nasional yaitu, standar isi, standar proses, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, standar penilaian pendidikan, dan standar kompttensi lulusan.
Dalam praktiknya, akeditasi sekolah tak seindah yang dibayangkan. Tak jarang proses akreditasi sekolah dibarengi bayaran kepada asesor. Soal 8 standar pendidikan nasional yang menjadi acuan dalam penilaian oleh asesor bisa dikesampingkan.
Pernah suatu ketika seorang kepala sekolah bercerita kepada saya. Sekolahnya bersama 4 sekolah lain saat itu akan diakreditasi. Dua assessor dari propinsi sudah datang dan menginap di hotel. Pengawas menghubunginya agar datang ke rumahnya. Ia juga dititipi pesan agar menyampaikan kepada 4 sekolah lainnya untuk bersama-sama menghadap pengawas.
Memenuhi panggilan pengawas ia pun datang bersama 4 kepala sekolah lainnya. Di rumah pengawas ia dipertemukan dengan pihak assessor. Assessor menjelaskan maksud kedatangannya. Dari penjelasannya tak ada keganjilan apapun. Semua oke-oke saja.
Tapi pengawas sangat cerdas untuk menyenangkan assessor . Tiba-tiba pengawas bilang bahwa assessor mulai besok harus pindah hotel, karena hotel yang ditempati pertama cuma mereka pesan satu malam. Singkatnya, seorang kepala sekolah diminta oleh pengawas untuk memesankan kamar di hotel lain.
Kepala sekolah juga cerdas menangkap maksud pengawas. Beaya hotel secara tersirat diminta untuk ditanggung bersama oleh 5 sekolah. skor sementara 1-0 untuk pengawas dan assessor.
Belum cukup hotel, pengawas menjelaskan bahwa setiap kali akreditasi dilakukan, seperti biasa ada uang transport kepada assessor. “Maaf ya, ini tidak memaksa. Terserah Anda mau ngasih atau tidak,” kata pengawas . Tentu uang transport ini tidak cukup hanya untuk dua orang assessor, karena biasanya pengawas juga ikut mengantar assessor.
Seorang kepala sekolah ada yang mengajukan pertanyaan, “biasanya berapa pak..?”
“Terserah Anda. Tentu besarnya harus disesuaikan dengan penyakit sekolah Anda. Ibarat ke dokter, kan gak sama bayarnya. Kalau Cuma sakit flu, ya bayar dan obatanya murah. Tapi kalau harus operasi ya… mahal. Begitu, kan? ,“ kata pengawas sambil membuat analogi.
Menurut Kepala sekolah yang cerita kepada saya, sebenarnya ia mau melawan. Tapi kalau dilawan, biasanya sekolah itu akan ditempatkan sebagai “common enemy” oleh birokrasi pendidikan. Ngurus apapun biasanya dipersulit. Apalagi ia tahu, di antara 5 sekolah itu memang ada beberapa yang sepertinya tidak siap diakreditasi.
Keesokan harinya akreditasi dilakukan. Sebelum dilakukan kembali pengawas mengubunginya agar disiapkan uang transport minimal 2 juta untuk dua orang assessor. Jadi tiap assessor 1 juta. Belum untuk jatah pengawas. Seperti layaknya kedatangan orang penting, jamuan juga terkesan mewah. Berbagai macam see food dihidangkan di meja. Termasuk berbagai macam buah.
Begitulah, akreditasi 5 sekolah diselesaikan dalam waktu 3 hari. Menurut kepala sekolah, uang transport untuk assessor dan pengawas bervariasi. Tetapi variasinya mungkin tidak jauh beda. Ya..tinggal hitung saja, dalam waktu 3 saja pasti ngantongin duit berjuta-juta. Belum jatah uang transport, akomudasi,dan konsumsi dari lembaganya. Apalagi hotel dan makan selama di hotel juga dibebankan kepada sekolah. Wah… pasti makin tajir.
Inilah suka duka ngurus sekolah di daerah. Birokrasi pendidikan sangat powerful. Jika ada lembaga kritis, siap-siap dipersulit ketika berurusan dengan birokrasi pendidikan. Termasuk ketika akan diakreditasi oleh lembaga independen seperti BAN pun, birokrasi pendidikan ikut menentukan. Meski assessor, mungkin, tidak berkeingian, tapi birokrasi pendidikan di daerah seakan tak abash jika tidak melayaninya. Apalagi, kalau assesornya tak jauh beda, makin klop lah.
Tak salah jika kemudian ada guyonan, Badan Akreditasi Nasional sekarang ganti menjadi Bayaran Akreditasi Nasional.
4 Responses so far.
Apakah percakapan (petikan langusng) atau dialog dalam tulisan di atas itu nyata? Misalnya bagian yang ini:
“Terserah Anda. Tentu besarnya harus disesuaikan dengan penyakit sekolah Anda. Ibarat ke dokter, kan gak sama bayarnya. Kalau cuma sakit flu, ya bayar dan obatanya murah. Tapi kalau harus operasi ya… mahal. Begitu, kan?“
Kalau betul, maka saya mending tarik komentar ini. Gak tahan dewh:-))
betul keh..seperti itu yang saya dengar. he..he...beginilah buruk muka pendidikan kita
salam
Alangkah menyenangkan Anda bisa mengalami pengalaman itu secara langsung. Pasti Anda semakin dewasa sekarang :-)
Selamat.
Cuma, ya, semoga tidak bertemu dengan mereka lagi di tahun-tahun yang akan datang...
ha...ha....sindiran luar biasa. meski merah telinga, tapi hati saya putih. terimakasih doanya. he..he...
Posting Komentar