Posted by rampak naong - -

foto: nu.or.id
Sebagai pulau yang dekat dengan Jawa, wajar jika Madura menjadi wilayah sasaran dakwah Wali Songo. Tentu ini by design. Dengan demikian teks-teks, terutama teks keagamaan,  yang jadi sumber pengetahuan orang Madura merupakan jaringan teks yang bertebaran di wilayah lain di Nusantara ini. Inilah pula yang membentuk pandangan keaswajahan  dan imagi kebangsaan orang Madura.

Teks ini disampaikan dengan strategi dakwah yang arif. Jalur kebudayaan ditempuh terutama untuk menghindari benturan antara pesan agama dan kebudayaan lokal. Agama dihadirkan tidak dalam hubungan vis a vis dengan budaya, malah menggunakan instrumen budaya itu sendiri yang isinya diroh-i nilai-nilai Islam. Atau mengkreasi model sendiri sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah yang menjadi sasaran dakwah.

Salah satu contoh yang bisa disebut di sini adalah model dakwah yang dilakukan Syekh Ahmad Baidlawi atau dikenal sebagai Syekh Katandur, cicit dari Sunan Kudus, yang hidup sekitar akhir abad 15 atau awal abad 16. Beliau sambil berdakwah juga mengenalkan ilmu bertani (nandur). Makanya beliau lebih dikenal sebagai Pangeran Katandur. Maqbarahnya yang keramat dan banyak dikunjungi peziarah berada desa Bangkal (desa bangkal dulu masuk desa Parsanga, kemudian dipecah) Sumenep, sebuah desa yang berdekatan dengan desa Paberrasan, desa yang dulu dikenal wilayah penghasil beras,  dan desa Kebunan yang dulu dikenal karena pertanian kebunnya yang subur.

Strategi dakwah yang dilakukan Pangeran Katandur menurut saya sangat kreatif. Pesan keagamaan Islam diterima, orang Madura juga memiliki keterampilan mendayagunakan lingkungan alamnya, dan yang lebih penting bagaimana dakwah mampu mengharmonikan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan sekaligus alam.

Asal-usul desa Parsanga ada hubungannya dengan instruksi pangeran Katandur yang menyuruh pengikutnya menanam bibit pohon kelapa di sembilan sumur di daerah itu. "Parsanga" adalah akronim "parse sasanga'" (bibit pohon kelapa berjumlah 9) yang satu persatu ditanam dekat sumur yang juga berjumlah sembilan. Lepas dari misteri angka 9 (Wali songo, bintang sembilan), apa yang dilakukan Pangeran Katandur adalah dakwah yang membangun harmoni hubungan manusia dan Tuhan sekaligus alam lingkungannya. Sumur bisa dimaknai begitu strtegisnya air. Bandingkan dengan saat ini sumber-sumber air diprivatisasi untuk kemudian dijual ke khalayak.

Jadi makna agama dihadirkan dalam ketulusannya menjaga ruang hidup, lingkungan, dan alam sebagai siasat untuk menopang keberagamaan masyarakat sendiri. Strategi ini menarik digali lebih dalam untuk dikontekstualisasikam dengan kondisi saat ini  ketika Madura menjadi sasaran korporasi dan para pemodal yang dengan semena-mena merampas ruang hidup dan mengalihfungsikan lahan.

Kearifan dakwah lainnya yang bisa disebut di sini, dakwah yang dilakukan Sunan Paddusan pada abad 17. Ulama ini sangat penting perannya  sehingga diulas cukup panjang oleh Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2b. Menurut Baso, Sunan Paddusan penulis cerita Jaka Karawet (Baso, 2012).

Wilayah dakwah Sunan Paddusan di samping Jawa juga Madura (Sumenep). Di Madura Sunan Paddusan berdakwah di desa paddusan (sekarang Pamolo'an, sebuah desa di lingkungan kota). Saya meyakini wilayahnya pasti melampaui desa, tapi desa Paddusan semacam base camp yang menjadi pusat dakwah sang Sunan.

Menurut cerita, apabila santri telah melakukan rukun Islam ia dimandikan dengan air yang dicampuri aneka ragam bunga. Memandikan itu disebut "edudus", kampung warga disebut paddusan, dan Guru yang mengajarkan agama itu disebut Sunan Paddusan (Abdurrahman, 1988).

Sekali lagi bisa dilihat di sini media yang digunakan sebagai simbol penguasaan seseorang terhadap rukun Islam adalah air disertai aneka ragam bunga. Bandingkan juga dengan thema "Thaharah" dalam kitab fiqh yang berhubungan dangan air. Satu hal yang ingin saya ungkap, keberagamaan membutuhkan keselarasan yang padu; Tuhan, manusia, dan alam.

Kalau mau disebut masih banyak para wali dan ulama di Madura yang dalam dakwahnya menggunakan strategi kebudayaan, senafas dengan model yang digunakan oleh para wali dan ulama di belahan lain di nusantara ini. Inilah kearifan dakwah yang pada akhirnya melahirkan kearifan dalam beragama, sebagainana nanti akan saya jelaskan.

Kearifan adalah sikap yang tahu kapan harus santun, kapan bersikap keras, tegas, dan tanpa kompromi. Terhadap kolonialisme atau kerajaan bonekanya yang menjadi musuh agama dan rakyat Nusantara, orang Madura tegas dan keras. Contohnya Tronojoyo, santri Sunan Giri dan Kyai Kajoran, tanpa kompromi dan kooperarif dengan Amangkurat dan Amangkurat II, raja Mataram yang dibantu VOC.

Termasuk juga ketika Perang Diponogoro 1825-1830, santri dan orang Madura terlibat penuh. Bahkan sebelum perang, Pangeran Diponogoro melakukan konsolidasi dan merapikan barisan  dengan berkunjung ke banyak pesantren di Jawa, termasuk ke Madura tepatnya ke Pesantren Banyuanyar Pamekasan pada tahun 1787 (Zainul Milal, 2016).

Dalam buku Pesantren Studies 4a (2013), Baso melukiskan, perang Diponogoro yang sangat heroik itu tak lepas dari peran tentara pangeran Diponogoro dari Madura. Sayang sekali, peran tentara asal Madura dalam perang Diponogoro tenggelam. Justru yang diketahui banyak orang soal Barisan, korp tentara yang menjadi centeng Belanda, dan sengaja dibentuk belanda sebagai barter terhadap penguasa Madura yang mengininkan pemerintah kerajannya dikelola secara swapraja.

Nah, melihat ilustrasi di atas kearifan juga bermakna tegas dan keras terhadap musuh, VOC dan kemudian terhadap penjajah Belanda. Bukan seperti sekarang, kelompok keras di Madura justru menjadikan sebangsa sebagai "musuh". Sementara kelompok moderat asyik dengan kearifan dalam makna santun melulu sehingga dua-duanya kurang peduli terhadap kolonialisme dalam wajah baru yang saat ini menggurita di Madura melalui keruk habis SDA dan penguasaan lahan yang tak terkendali.

Meski begitu saya melihat, kelompok keras lebih sulit diajak peduli untuk keras terhadap neo-kolonialisme kecuali dibngkus sentimen agama. Sementara kelompok moderat lebih mungkin mengambil sikap tegas dan keras terhadap neokolonialisme jika mampu menggeser makna kearifan ke posisi sebagaimana Pangeran Trunojoyo dan Diponogoro melakukannya. Wallahu A'lam.

Matorsakalangkong







4 Responses so far.

Anonim mengatakan...

Alhamdulillah bagus artikelnya

rampak naong mengatakan...

Makasih...semoga bermanfaat

Unknown mengatakan...

Amalan apa yang di baca selama menjalankan puasa Dauud. Terima kasih

Unknown mengatakan...

Amalan apa yang di baca selama melakukan puasa Dau.
Terima kasih