Karena malu pinjam, saya pun nitip sama suami ponakan saya yang kebetulan mengambil S3 di Yogyakarta. “Tolong belikan buku Sekolah Manusia dan Gurunya Manusia ya. Uangnya nanti diganti di rumah,” pesan saya melalui sms. Kedua buku yang saya pesan datang bersamaan dengan kepulangan ponakan saya.
Sekolahnya Manusia
Dua buku karya bapak Munif Chatib ini sangat inspiratif. Buku pertama berjudul “Sekolahnya Manusia” dan buku kedua “Gurunya Manusia”. Dua buku ini menawarkan pendekatan yang relative baru di Indonesia, yaitu Multiple Intelligences (MI) atau “kecerdasan majemuk”. Mungkin bagi sebagian guru, istilah MI sudah lama didengar. Tetapi yang membuat beda, di tangan pak Munif, MI Nampak “sederhana” karena Munif tidak cuma kaya teori tapi juga kaya pengalaman.
Dalam buku ‘Sekolahnya Manusia’, pak Munif cemas melihat perkembangan pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah berdiri ibarat mesin yang menjadikan proses pembelajaran, target keberhasilan, hingga system penilaiannya didesain secara kering. Munif mengistilahkan sekolah model begini sebagai sekolahnya robot.
Apa sekolah robot itu? Sekolah yang dijalankan dengan paradigma tunggal. Para siswa disekap dalam satu system yang tidak memungkinkannya berkembang, malah justru sebaliknya, membunuh banyak potensi. Akarnya justru terletak pada cara pandang yang tunggal, bahwa siswa memiliki jenis kecerdasan sama dan menyikapi proses pembelajaran juga secara sama.
Cara pandang ini sebenarnya sudah bisa dilihat ketika sekolah menerima siswa baru. Kebanyakan sekolah menerapkan system rangking yang diperolehnya melalui test seleksi siswa baru. Kira-kira semua sekolah menyeleksi dengan ketat untuk memperoleh input yang baik. sekolah model ini percaya, the best input akan berdampak lurus pada the best out put. Sekolah model ini tidak begitu peduli pada the best process.
Berbeda dengan beberapa sekolah yang berbasis MI, tak ada seleksi masuk. Sekolah hanya tinggal menentukan kouta berapa murid yang akan diterima. Jika sudah sampai target kouta, pendafataran ditutup. Semua calon siswa diterima, termasuk siswa autis sekalipun. Sekolah hanya melakuan MIR (Multiple Intelligences Research) untuk menentukan kira-kira jenis kecerdasan anak termasuk keecerdasan linguistic, kinesthetic , matematis-logis, visual-spasial, musical, interpersonal, intrapersoanal, atau naturalis.
Sekolah yang berbasis MI dalam melakukan proses pembelajaran, target pembelajaran dan system evaluasinya agak berbeda dengan yang banyak dipraktekkan oleh system pendidikan di Indonesia. Yang paling menentukan, di proses pembelajaran dimana sekolah memfasilitasi SDM guru untuk menyusun lesson plan yang sesuai dengan jenis kecerdasan anak didiknya. Dalam buku ini dilukiskan secara menarik pengalaman banyak guru dalam menyusun lesson dan memperaktekkannya di dalam kelas terhadap anak didik yang memiliki jenis kecerdasan berbeda.
Ada seorang guru yang mengajak siswanya berenang untuk belajar matematika karena siswa itu memiliki kecerdasan kenestitis. Ada guru yang harus membawa kelinci dan macam binatang piaraan untuk memuaskan siswa yang memiliki kecerdasan naturalis.
Secara garis besar, dalam buku pertama ini munif menjelaskan bangunan dasarnya kenapa MI sangat penting sebagai jalan untuk menghidupkan sekolah dan semangat belajar siswa yang dalam realitasnya kian redup ini. Buku ini juga menjelaskan teori MI yang digagas Howard Gardner dan infrastruktur apakah yang harus dilakukan sekolah yang akan menerapkan MI.
Posting Komentar