adityagodlike.blogspot.com |
Hidup tenang, harmoni, seimbang dan akhirnya bahagia adalah impian semua orang. Tak ada orang yang memimpikan hidup sebaliknya, gelisah, penuh konflik, dan sengsara baik dalam makna lahir maupun bathin .
Keseimbangan hidup ditandai oleh kemauan untuk menyelaraskan kepentingan pribadi dengan kepentingan orang banyak . Menempatkan ego secara tepat dalam belantara ego yang kadang silang-sengkarut, saling intai, dan saling sikat. Menjalani hidup secara tidak seimbang, berat sebelah, atau terperangkap dalam sikap ekstrem hanya akan menjadikan hidup penuh goncangan.
Keseimbangan itu tidak hanya dengan sesama. Tetapi juga relasi dengan Tuhan dan alam raya ini. Makin kuat relasi secara vertikal dengan Tuhan sejatinya makin bagus relasi secara horizontal dengan sesama dan alam raya.
Jadi hidup damai harus dimulai dari berdamai dengan sendiri melalui kuatnya relasi manusia dengan Tuhannya. Relasi dengan Tuhan meniscayakan peleburan sifat-sifat yang menjauhkannya dari Tuhan. Sombong, buruk sangka, suka mencela, iri, dengki, suka pamer, ekstrem dan tidak seimbang dalam hal apapun, terutama “mabuk dunia”, dan sifat tercela lainnya hanya akan mencipta jarak dengan Tuhan.
Ketika sifat-sifat tercela itu dominan dalam diri orang, maka internalisasi sifat-sifat Tuhan, misalnya ar-Rahman dan ar-Rahim—Kasih dan Sayang Tuhan— terpental. Ibarat ada debu dalam cermin untuk melihat wajah secara utuh. Lebih sial lagi, jika buruk muka cermin dibelah.
Berdamai dengan diri sendiri adalah kemampuan mengontrol diri sendiri dari segenap sifat-sifat yang bisa merusak kualitas hidup. Entah kehidupan diri sendiri atau kehidupan orang lain. Sedangkan relasi dengan Tuhan adalah mutlak karena Dialah yang memberikan kekuatan hidup, termasuk kekuatan untuk bisa berdamai dengan diri sendiri. Relasi dengan Tuhan, jangan dimaknai untuk Tuhan. Tuhan tetap Maha Kuasa, meski hambanya ingkar sekalipun.
Salah satu mekanisme mengontrol diri itu, adalah sabar. Sabar selalu dititahkan oleh Tuhan. Bahkan Tuhan selalu bersama orang sabar. Sabar tentu tidak ada batasnya. Kayaknya salah kaprah ketika orang bilang bahwa sabar itu ada batasnya. Sepertinya, tak ada perintah Tuhan agar kita bersabar sampai batas di sini atau di situ. Sabar ya sabar. Tetapi harus dikatakan, bukan berarti kita diam kitika harga diri dan hak terusik. Meski dalam memperjuangkan tetap dalam kerangka kesabaran, sehingga tidak justru memunculkan masalah baru atau merugikan orang lain.
Tentu bukan hanya sabar. Banyak sifat terpuji lain yang akan terlihat elok jika menghiasi diri kita. Ikhlas, rendah hati [bahasa pesantrennya tawadlu’], pemaaf, tolong menolong, bersikap adil, dsb.
Jika sifat-sifat terpuji di atas mampu menjadi penghias diri ada kemungkinan ia bisa berdamai dengan diri sendiri. Ketika mampu berdamai dengan diri sendiri, yang diletakkan dalam kerangka ibadah kepada Tuhan, maka ia akan menjadi pemberi damai bagi sesama dan alam raya ini.
Jadi, hidup damai tak perlu minta sama orang lain. Sebaiknya hidup damai diarahkan ke dalam, ke ruang bathin sendiri atau berdamai dengan diri sendiri. Damai dengan diri sendiri akan memancarkan hidup damai, dimanapun ia berada, kepada sesama maupun kepada alam ini.
Jika di negeri ini banyak konflik, di level Negara maupun di masyarakat, mungkin jawabannya karena kita sebagai penduduk bumi nusantara ini, belum bisa berdamai dengan diri sendiri.
Sekedar catatan harian untuk menertawakan diri sendiri.
2 Responses so far.
terimakasih atas informasainyaa. artikelnya bagus :)
sama-sama mbak ananda
semoga bermanfaat
salam
Posting Komentar