Di tengah keterbatasan dalam persoalan finansial serta mayoritas siswa berasal dari kalangan tidak mampu, sekolah-sekolah pinggiran yang berada di pedesaan tidak berhenti berkreasi. Salah satunya dengan berhimpun diri membentuk jaringan untuk bergerak bersama membangun pendidikan yang lebih baik. Itulah yang dilakukan 12 Madrasah Aliyah (MA) di daerah saya yang berjejaring dalam sebuah forum, “Majelis Silaturrahim Madrasah Aliyah se-Timur Daya”. Keanggotaannya meliputi 12 MA di empat kecamatan (Gapura, Dungkek, Batang-Batang, dan Batu Putih), di wilayah timur kabupaten Sumenep.
Hari ini (28/3) Majelis Silaturrahim baru saja membuat perencaan program tahunan. Banyak perencanaan yang dihasilkan mulai sejak pengembangan kelembagaan, SDM kepala dan guru, serta peningkatan kompetensi siswa yang bersifat akademis maupun non-akademis. Tapi ada salah satu yang kegiatan yang paling menarik, menurut saya, yaitu, “Arisan Buku”.
Arisan buku didasarkan atas pertimbangan beberapa hal. Pertama, sekolah-sekolah pinggiran belum semua memiliki perpustakaan. Meskipun ada, koleksi buku jumlahnya tidak seberapa. Sementara untuk menganggarkan buku dalam RAPBS-nya seringkali terbentur pada kendala finansial. Maklum, kebanyakan sekolah pinggiran tidak memungut SPP dari siswa. Meski untuk SLTA didanai APBD, tetapi jumlahnya tidak seberapa dibanding kebutuhan sekolah. Akhirnya di sekolah-sekolah tertentu, anggaran untuk beli buku tidak dialokasikan.
Kedua, di tengah keterbatasan sarana penunjang proses pembelajaran, buku adalah pilihan yang masuk akal. Bagi siswa-siswa di sekolah pinggiran, tak ada yang lebih baik untuk membangun mimpi-mimpinya kecuali melalui buku. Melalui buku pula mereka akan terbentuk sebagai pembelajar mandiri. Siswa akan memasuki labirin ilmu pengetahuan yang menyediakan kebajikan, hikmah, pengetahuan, dan segenap informasi apapun yang akan menjadi bekalnya sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Ketiga, di tengah arus informasi yang berseleweran setiap detik dan terkadang membuat kita kelimpungan, kecakapan literasi dengan menjadi pembaca aktif mutlak diperlukan. Dengan demikian, siswa tidak selalu dalam posisi objek tetapi tampil percaya diri sebagai subjek. Membaca buku bukan aktifitas passif. Membaca buku melibatkan segenap potensi yang ada pada diri misalnya, emosi, pikiran, dan rasa. Potensi itu kemudian didialogkan dengan buku yang dibaca. Terkadang pembacan aktif akan melahirkan sesuatu yang baru. Yang kreatif. Melalui kecintaan terhadap buku diharapkan siswa kritis menyaring informasi yang saat ini berseleweran, yang tidak seluruhnya bermanfaat bagi kemanusiaan. Atas dasar inilah gagasan “Arisan Buku” ini menjadi penting maknanya bagi sekolah-sekolah di pedesaan.
Kecil Tapi Besar
“Arisan Buku” ini diikuti oleh madrasah yang bergabung, saat ini jumlahnya 12 madrasah, seluruhnya swasta. Bukan tidak mungkin nanti SMA dan SMK Swasta di wilayah timur Kabupaten Sumenep juga bergabung. Yang mewakili madrasah untuk terlibat dalam kegiatan Majelis ini langsung kepala sekolah dan wakil kepala.
Pagi hingga siang tadi, semua madrasah sepakat “Arisan Buku” akan dimulai dua bulan yang akan datang, yang memang disepakati sebagai waktu pertemuan rutinnya. “Arisan Buku” juga semacam pengikat agar majelis ini tidak berumur pendek.
Sebagaimana layaknya arisan, setiap lembaga harus menyetor uang Rp. 100 ribu/madrasah. Berarti uang yang terkumpul sebanyak 12 lembaga yang bergabung yaiitu, 1 juta 200 ribu. Nah, nama madrasah yang keluar dari (biasanya) botol ketika diloteri, itulah yang menerima uang “Arisan Buku”. Sesuai maksudnya, setiap lembaga yang menang arisan, seluruh uang yang diperoleh harus dibelanjakan buku untuk menambah koleksi perpustakaan madrasah. Begitulah seterusnya, hingga semua madrasah menang arisan.
Mungkin kegiatan ini kecil. Jumlah uang yang terkumpul juga kecil. Tetapi bagi madrasah di pedesaan yang seringkali terbatas dalam masalah finansial, cara ini adalah terobosan besar. Ini juga langkah riil yang dilakukan madrasah pedesaan, betapapun kecilnya, ketimbang selalu mengharap bantuan dari pemerintah yang seringkali abai terhadap sekolah di pinggiran.
Kegiatan “Arisan Buku” yang digagas “Majelis Silaturrahim Madrasah Aliyah” ini juga merupakan sindiran bagi KKM (bentukan Kemenag) atau MKKS (bentukan Kemendiknas) yang di daerah saya seringkali membicarakan tehnis-administratif ketimbang membicarakan hal-hal yang strategis. Semoga kegiatan ini terus berkelanjutan dan memberikan harapan di tengah kesulitan.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 28 Maret 2013
6 Responses so far.
Alhamdulillah akhirnya terlaksana. Oya, kita bisa membantu memberi rekomendasi buku yg menarik utk dikoleksi.
Terus ttg yg disinggung di paragraf akhir, persis seperti yg saya rasakan. Diskusi yg lebih mendalam nyaris sulit mendapatkan ruang. Makanya kita harus berikhtiyar sendiri buat kegiatan alternatif.
saya serius perlu masukan buku-buku bagus dan inspiratiif yang cocok untuk para siswa ra...
ya, ra. mari kita perkuat jaringan.
salam
semoga berlanjut ke arah yang lebih bagus. arisan yang biasanya dipenuhi desas desus kini akan berganti suasana penuh ilmu. semoga
amien keh...semoga berlanjut
Kalau skolah negeri tak perlu ada arisan buku karena udah dimanjakan dengan Bos Buku atau bantuan dana untuk melengkapi literatur yg tentu dinilai proyek hehhe. cuma yg perlu ditingkatkan adalah tradisi membaca dan menulis.
he..he...sepakat. okey trims masukannya. betul setelah ada buku, kita perlu meningkatkan budaya baca dan menulis. tentu ini masalah yang lebih berat lagi
Posting Komentar