nadzief.wordpress.com |
Jika kita bertemu orang yang tidak well-educated, bahkan lulus SD pun tidak, bagaimana mata hati kita meresponnya?Jika kita bertemu orang gembel dengan pakaian dekil dan compang-camping, bagaimana nurani melihatnya?
Pengandaian di atas bisa kita luaskan misalnya bertemu dengan orang yang tidak kita sukai; gendut, kurus kerempeng, (mohon maaf) jelek, bloon, miskin, dsb, sombongkah nyayian hati itu atau rendah hatikah?
Beruntunglah orang yang melihatnya dengan rendah hati. Sifat yang di pesantren disebut tawadlu' ini sangat mudah diucapkan, meski butuh kerja keras melakukannya. Soalnya, bisikan hati untuk menarik ke sifat sebaliknya –sombong dan meremehkan—begitu kuatnya. Hati kita selalu berbisik bahwa kita yang paling baik, paling ganteng, paling cantik, paling pinter, paling benar, paling gaul, paling agamis, paling rasional, paling kuasa, dan segepok “paling” lainnya.
Tak sengaja, bisikan hati kita menciptakan oposisi biner pada “yang lain”. Mereka buruk, jelek, bodoh, sesat, norak, abangan, primitif dan kolot, makhluk lemah, dan seterusnya. Inilah kerja hati. Cara kerjanya diam-diam. Dalam bahasa Arab hati disebut qalb, karena memang suka bolak-balik. Selalu ada kecenderungan berubah.
Tetapi hati adalah cermin. Pantulannya merasuk ke dalam cara pikir, ucapan, tindakan, perasaan, dan bahasa tubuh. Ketika sombong dan merasa “paling” menguasai hati kita, sulit ada ruang hati tersisa untuk bersikap rendah hati. Ibarat gelas yang penuh berisi air, dituangi air pasti akan meluap.
Sebaliknya, rendah hati bisa ibaratkan dengan gelas kosong. Jika diisi air, ia bisa menampungnya. Ketika membangun relasi dengan orang lain, orang yang rendah hari selalu menyiapkan diri untuk belajar dan memungut hikmah, bahkan dari hewan dan alam sekalipun. Ia keluar dari jeritan “paling”, karena “paling” ibarat gelas yang berisi air penuh dan tak bisa menampung tuangan air lagi.
Lalu bagaimana cara rendah hati? Saya jadi ingat jawaban KH. Musthafa Bisri ketika ditanyakan cara rendah hati yang dishare teman di FB. Menurut Gus Mus, untuk bisa rendah hati gampang: anggap semua orang lebih baik dari kita.
Jawaban Gus Mus kena. Gampang. Mudah. Jika menganggap orang lain lebih baik, satu sisi akan menghilangkan kesombongan dan kecenderungan meremehkan orang yang selalu membisik di hati, di sisi lain selalu ada kemauan untuk belajar kepada orang lain. Ya, setidaknya cara Gus Mus gampang dan mudah diucap. Bagi saya, mengakui orang lain lebih baik, adalah pekerjaan yang paling sulit. Tapi, bagaimanapun tak ada kata menyerah.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 3 Mei 2013
Pengandaian di atas bisa kita luaskan misalnya bertemu dengan orang yang tidak kita sukai; gendut, kurus kerempeng, (mohon maaf) jelek, bloon, miskin, dsb, sombongkah nyayian hati itu atau rendah hatikah?
Beruntunglah orang yang melihatnya dengan rendah hati. Sifat yang di pesantren disebut tawadlu' ini sangat mudah diucapkan, meski butuh kerja keras melakukannya. Soalnya, bisikan hati untuk menarik ke sifat sebaliknya –sombong dan meremehkan—begitu kuatnya. Hati kita selalu berbisik bahwa kita yang paling baik, paling ganteng, paling cantik, paling pinter, paling benar, paling gaul, paling agamis, paling rasional, paling kuasa, dan segepok “paling” lainnya.
Tak sengaja, bisikan hati kita menciptakan oposisi biner pada “yang lain”. Mereka buruk, jelek, bodoh, sesat, norak, abangan, primitif dan kolot, makhluk lemah, dan seterusnya. Inilah kerja hati. Cara kerjanya diam-diam. Dalam bahasa Arab hati disebut qalb, karena memang suka bolak-balik. Selalu ada kecenderungan berubah.
Tetapi hati adalah cermin. Pantulannya merasuk ke dalam cara pikir, ucapan, tindakan, perasaan, dan bahasa tubuh. Ketika sombong dan merasa “paling” menguasai hati kita, sulit ada ruang hati tersisa untuk bersikap rendah hati. Ibarat gelas yang penuh berisi air, dituangi air pasti akan meluap.
Sebaliknya, rendah hati bisa ibaratkan dengan gelas kosong. Jika diisi air, ia bisa menampungnya. Ketika membangun relasi dengan orang lain, orang yang rendah hari selalu menyiapkan diri untuk belajar dan memungut hikmah, bahkan dari hewan dan alam sekalipun. Ia keluar dari jeritan “paling”, karena “paling” ibarat gelas yang berisi air penuh dan tak bisa menampung tuangan air lagi.
Lalu bagaimana cara rendah hati? Saya jadi ingat jawaban KH. Musthafa Bisri ketika ditanyakan cara rendah hati yang dishare teman di FB. Menurut Gus Mus, untuk bisa rendah hati gampang: anggap semua orang lebih baik dari kita.
Jawaban Gus Mus kena. Gampang. Mudah. Jika menganggap orang lain lebih baik, satu sisi akan menghilangkan kesombongan dan kecenderungan meremehkan orang yang selalu membisik di hati, di sisi lain selalu ada kemauan untuk belajar kepada orang lain. Ya, setidaknya cara Gus Mus gampang dan mudah diucap. Bagi saya, mengakui orang lain lebih baik, adalah pekerjaan yang paling sulit. Tapi, bagaimanapun tak ada kata menyerah.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 3 Mei 2013
Posting Komentar