Tanggal 18 Juni ini, 3 tahun sudah usiamu nak. Begitu cepatnya waktu bergulir. Begitu cepatnya usiamu bertambah. Sementara aku, ayahmu, belum mampu mendidikmu dengan baik, lahir maupun bathin. Belum mampu mengimbangi laju usiamu dengan kasih sayang melimpah laksana Lukmanul Hakim kepada anaknya.
Sebelum kamu lahir, ayah dan ibumu mencari nama yang cocok untukmu. Ayah dan ibumu ingat seorang intelektual Muslim asal Maroko, Muhammad Abid Al-Jabiry. Seorang tokoh yang meski melakukan pengembaraan intelektual hingga perancis dan banyak melahirkan karya monumental, ia tetap menjadi penganut madzhab. Tepatnya madzhab Maliki. Intelektual ini betul-betul wajah dari adagium pesantren, “Almukhafadzatu alal qadimisshalih, wal akkhdzu bil jadedil ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Jadilah itu namamu. Dan ayah ibumu memanggilmu, Abed.
Orang tuamu sadar, kamu akan hidup di zaman yang berbeda dengan zaman orang tuamu. Meminjam Kahlil Gibran, ibarat anak panah kamu akan melesat dari busurnya menembus masa depanmu. Tapi kamu sendiri sebenarnya bukan panah yang pasti akan melupakan busurnya. Kamu punya sejarah. Kamu punya identitas nak. Orang tuamu berharap, kau tetap tak kehilangan sejarah, identitas, dan tradisimu. Meski mungkin di zamanmu harus direvitalisasi. Bagaimanapun kamu anak desa di sebuah pedalaman di Madura, besar dalam tradisi madrasah, lahir dan dibesarkan dalam lingkungan nelayan dan petani. Itulah akarmu nak.
Kau lahir sebagai seorang laki-laki. Melengkapi kehadiran kakak perempuanmu, Najmi Al-adiliyah, yang 5 tahun lebih tua darimu. Tapi ingat, orang tuamu tak akan memberi keistimewaan karena kamu laki-laki. Perempuan dan laki-laki hanya soal jenis kelamin. “Perbedaan” itu tidak boleh menjadi “pembedaan”. Anak –apapun jenis kelaminnya—adalah titipan Gusti Allah. Dan inilah sebenarnya yang berat, orang tuamu harus mendidikmu dengan adil. Ini bukan karena orang tuamu didesak oleh isu gender atau feminisme nak. Bukan.
Orang tuamu sadar bahwa anak lahir dalam keadaan unik. Kata orang Madura, “pete’ se lahir dari tellor sapatarangan, tak kera padha bernana” (anak ayam yang lahir dari telur di tempat eraman yang sama, tidak mungkin sama warnanya). Jika diamati, memang sifatmu berbeda dengan kakakmu.
Kakakmu lebih tangguh. Lebih percaya diri. Ekspresif. Meski seringkali tidak disiplin. Sementara kamu terkadang sensitif, kurang PD, meski aku melihatmu lebih tenang dan sabar ketimbang kakakmu. Satu hal yang aku suka, kamu disiplin dan suka kerapian.
Ayah ingat jika kamu dalam usia 3 tahun sudah bisa membuang sampah ke tempatnya, ngompol di kamar mandi dan tak mau sembarangan, dan mainan dirapikan meski dalam soal ini kamu serig lupa. Kamu juga suka bersih. Buktinya lebih rajin mandi ketimbang kakaknya bahkan ayahnya.
Belakangan ini, karena ibumu dalam masa recovery dari penyakitnya, kamu begitu dekat sama aku. Seringkali kamu menirukan ucapan ayah, “mandi sama baba, pipis sama baba, pakai baju sama baba, pake minyak lambut sama baba…” Dan kita pun tertawa bersama-sama.
Kamu sekarang sebagaimana lazimnya anak-anak sudah meniru orang tuamu shalat. Hari jum’at pasti kamu menangis jika dilarang ikut ke Masjid untuk jum’atan. Melihatmu cara kamu shalat yang seperti orang memainkan jurus silat, membuat aku ingin tertawa. Ya… sudah tidak khusyu’ shalat, malah makin tidak khusyu’ karenamu nak.
Tapi jika menerawang ke masa depanmu, taruhlah 15 tahun lagi, kadang aku khawatir nak. Dunia dengan segala perkembangannya saat ini sudah tidak ramah pada perkembangan kpribadian anak. Free sex, drugs, bullying untuk menyebut beberapa contoh sudah demikian mengerikan.
Belum lagi pertarungan ideology untuk mencerabut keislaman dan keindonesiaanmu. Ideology ini akan mengintai dan akan menjadikanmu sebagai martir yang kadang atas alasan sumir, jihad dan mati syahid. Ngeri nak. Juga neo-liberalisme yang mengakibatkan bangsa ini bangkrut tidak saja secara ekonomi, tetapi juga kebudayaan. Inilah kondisinya saat ini, apalagi 15 tahun yang akan datang? Dan satu hal, usiamu yang hari ini genap 3 tahun ditandai oleh kengototan pemerintah menaikkan harga BBM.
Soal ini ayah sempat curhat sama guru ayah. Untungnya beliau membuka jalan optimisme. Dengan lembut beliau bilang, “ kalau dipikirkan semua, ya tak akan mampu. Serahkan kepada Allah,” katanya suatu hari. Ya, ayah sudah sombong. Seolah dengan didikan sendiri, anak pasti akan baik. Pada hal, tanpa pertolongan Gusti Allah, ayah bisa apa?
Di usia yang ke-3 ini, ayah mohon maaf. Ayah belum mendidikmu dengan bijak, kasih sayang yang cukup, waktu yang cukup, komunikasi yang intens dan hangat. Belum. Mendidik lahirmu saja belum mampu, apalagi bathinmu. Tapi Ijinkan nak, ayah belajar darimu. Suatu saat, semoga ayah menjadi orang tua yang mengingatkanmu, meski bisa jadi ketika kamu membaca tulisan ini, ayah sudah mendahuluimu. Jika sudah wafat, tak ada lagi yang aku harap kecuali do’a dari anak –yang semoga menjadi—shaleh. Bacakan ayah surah al-fatihah nak.
Tapi –semoga Allah meridlai—ayah masih ingin melihatmu. Selamat hari ulang ke-3 nak. Maaf, ayah tak mengadakan perayaan apapun; potong kue dan tiup lilin. Semoga Abed selalu dalam ridla-Nya, berbakti kepada orang tua, dan bermanfaat bagi orang lain. Berarti sudah 3 tahun ayah belajar darimu nak, dan ayah akan terus belajar menjadi orang tua yang baik.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 18 Juni 2013
2 Responses so far.
Luar biasa. Saya pikir, tulisan ini telah mengajari hal penting bagi kehidupan saya di masa mendatang: menjadi orang tua yang bersahaja dan penuh perhatian pada anaknya. Amien.
Terimkasih. Terimakasih banyak, Pak..
he..he...semoga cepat dapet jodoh. amien.
salam. terimakasih yudi
Posting Komentar