republika.co.id |
Kasus tabrakan maut yang melibatkan anak musisi Ahmad Dhani, Dul, telah membuka banyak hal terhadap kehidupan anak-anak di sekitar kita saat ini. Banyak anak-anak sekarang tumbuh menjadi sosok yang “bengal”, susah diatur, dan sedikit sembrono.
Di kampung saya, seringkali saya menyaksikan anak SD dan SMP naik motor. Bahkan beberapa kali anak seusia itu menabrak pengendara lain. Ketika mengendarai motor banyak yang cenderung ugal-ugalan dan tidak mengindahkan etika di jalan. Seringkali berjejer ke samping sehingga mempersempit jalan. Atau saling kebut di jalan raya.
Belum lagi rata-rata mereka tidak pakai helm. Dipastikan juga mereka tidak memiliki SIM. Pengetahuan tehnis mereka naik motor (termasuk mobil) mungkin tidak diragukan. Rata-rata mereka jago. Masalahnya, berkendaraan bukan melulu urusan tehnis tapi juga melibatkan emosi. Soal etika di jalan tidak bisa diserahkan sama pengetahuan tehnis tetapi harus dialami. Nah di sinilah kecukupan umur serta didikan dan pendampingan orang tua menjadi penting.
Secara budaya tentu tidak bijak membebankan kesalahan sepenuhnya pada anak. Keluarga sekali lagi sangat berperan besar dalam membangun karakter anak, baik atau jelek. Saya jadi ingat kearifan lokal masyarakat Madura, “tada’ pancoran agili ka attas” ( tidak ada air dari pancuran yang mengalir ke atas). Kearifan lokal ini semakna dengan pepatah kita, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”.
Pendidikan karakter dalam keluarga saya rasa tak ada duanya. Tak bisa sepenuhnya kita menyerahkan urusan ini pada sekolah. Belum lagi sekolah kita saat ini dijajah regim angka. Karena itu, menyemai pendidikan karakter dalam keluarga tak bisa ditawar. Membangun landasan etik yang kuat pada anak dengan memberikan ketauladanan langsung tak bisa ditunda.
Hal yang tak bisa kurang dalam membesarkan anak adalah kasih sayang. Soal ini tak bisa ditukar dengan materi. Karena materi tak mungkin bisa membathin atau menelusup dalam jiwa anak seperti kasih sayang. Jika kita membelikan sesuatu kepada anak yang secara emosi dan umur belum siap, ini juga bukan refleksi kasih sayang. Sialnya, dalam soal ini kadang orang tua takluk. Makanya, di jalan kita menyaksikan anak yang belum cukup umur sudah bisa seleweran menggunakan motor dan mobil. Lebih sialnya lagi, orang tua malah bangga karena sudah memenuhi tuntutan anak atas dasar kasih sayang.
Kasus Dul ini semoga membuka mata hati kita untuk merespon fenomena “Dul” di sekitar kita dengan bijak.
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 8 September 2013
2 Responses so far.
iya, banyak sekali orang yang seperti Dul di sekitar kita, dan sebagian dari mereka masih beruntung tidak mengalami kecelakaan seperti dia
itulah ra..orang tua dengan mudah membelikan motor untuk anaknya yang belum cukup umur. alasannya "malle padhe ben anakna orang laen". sederhana sekali ya?? tanpa mikir bahayanya.
salam. teriimakasih ra
Posting Komentar